BAB 8

Tepat pukul empat sore, Xellan sudah berada di depan gedung tempat Alvian bekerja, wajahnya sekeras batu, memendam amarah yang siap meledak kapan saja.

Dengan langkah tegas, dia keluar dari mobil dan langsung melangkah masuk. Angin sore yang berhembus tak cukup untuk mendinginkan kobaran emosi di dadanya.

“Nona Xellan,” sapa seorang wanita dari balik meja resepsionis. Suaranya ramah, tetapi jelas ada sedikit getaran saat bertemu tataTanpapan Xellan yang tajam, seperti pisau yang baru diasah.

Xellan melangkah masuk ke lift, jemarinya menekan tombol lantai paling atas dengan gerakan yang tegas. Detik-detik di dalam lift terasa lambat, seolah waktu sengaja mempermainkannya. Dia menghela napas, tetapi amarah di dadanya tak juga surut.

Pintu lift terbuka. Xellan melangkah keluar dengan langkah cepat, langkah-langkahnya menggema di koridor sepi, seperti dentuman drum yang memekakkan telinga. Setiap ketukan sepatu hak tingginya mengirimkan pesan. Aku tidak main-main.

“Lo ngapain ke sini?” tegur Veron dengan nada gugup, berlari kecil mendekati Xellan. Matanya melebar sedikit melihat wanita itu yang datang dengan wajah merah padam.

“Minggir!” bentak Xellan tajam, suaranya memotong udara seperti pedang.

“Eh, tunggu! Lo mau apa? Alvian lagi sibuk!” Veron mencoba menghadang, tangannya terangkat setengah hati, seolah mencari cara untuk menenangkan wanita yang jelas-jelas sedang terbakar emosi.

“Minggir!” ulang Xellan, kali ini lebih dingin, lebih mematikan. Tatapannya menghujam tepat ke mata Veron, membuat pria itu tersentak. Wajahnya pucat, tangan yang tadi terangkat pun turun perlahan.

“Eh, Xel, ada apa? Gue nggak tahu, maksud gue.. gini deh, gue panggilin dia dulu, ya?” Veron mulai berbicara terbata-bata, otaknya mencari alasan untuk menghentikan Xellan, tetapi tubuhnya malah perlahan mundur dengan sendirinya.

“Gue bilang minggir!” ucap Xellan lagi, tak memberi ruang untuk perdebatan. Amarah di wajahnya seakan menjadi peringatan keras yang tak bisa diabaikan.

Veron, yang kini sudah sepenuhnya panik, langsung melangkah ke samping, membiarkan Xellan melewati pintu.

Dalam kepanikan itu, Veron hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal, menatap punggung Xellan yang menghilang di balik pintu. “Gila, gue nggak ngerti urusannya apa, tapi Alvian bakal kena badai gede nih,” gumamnya pelan, masih bingung dengan apa yang baru saja terjadi.

Pintu ruangan terbuka dengan keras, suara dentumannya membuat Alvian, yang tengah duduk di balik meja kerjanya, mengangkat kepala. Tatapan datarnya segera tertuju pada sosok Xellan yang masuk dengan langkah cepat. Tidak ada perubahan emosi di wajah pria itu, tetap sedingin es, seperti tidak terganggu sama sekali.

Xellan tidak berhenti. Dia berjalan lurus menuju meja Alvian, tangannya mengepal erat. Tanpa sepatah kata pun, dia mengayunkan tinjunya, menghantam wajah tampan pria itu dengan kekuatan yang cukup membuat suara pukulan bergema di ruangan.

Alvian sedikit tersentak ke belakang, tapi tetap tidak bereaksi. Dia hanya duduk diam, mengusap sudut bibirnya yang sedikit memerah. Tatapan dinginnya tidak berubah, seolah tidak ada apa-apa. Bahkan alisnya tidak sedikit pun berkerut.

Xellan mundur beberapa langkah, napasnya memburu. Matanya tajam, menyiratkan kemarahan dan kebencian yang memuncak. Namun, semua itu hanya dibalas oleh Alvian dengan tatapan datar yang tidak menggambarkan emosi apa pun.

“Kenapa?” suara Xellan pecah, penuh tuntutan dan emosi.

Alvian mengangkat sebelah alisnya, ekspresinya tetap tenang. “Apa yang kamu maksud dengan kenapa?” tanyanya dengan nada yang sedatar wajahnya.

“Gak usah basa-basi!” bentak Xellan, suaranya meninggi. “Apa maksud lo gak menceraikan Jovicca?!” Suaranya bergema di ruangan, membawa serta kekesalan yang telah dia pendam sejak kemarin.

Alvian hanya menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Xellan dengan ekspresi yang nyaris membuat siapa pun merasa ditertawakan. “Aku tidak tahu kenapa, ini bisa menjadi urusanmu,” jawabnya singkat, nada suaranya tetap tenang, seolah masalah itu tidak memiliki bobot apa pun baginya.

Xellan mengepalkan tangannya lagi, tetapi kali ini dia tidak melayangkan pukulan. “Ini bukan cuma urusan gue, Alvian! Ini tentang prinsip! Lo sadar gak, lo cuma nyakitin dia kalau terus kayak gini?!”

Namun, seperti sebelumnya, wajah Alvian tetap tanpa ekspresi. “Itu prinsipmu, aku tidak punya waktu untuk memperdebatkan ini,” jawabnya datar, kemudian mengalihkan pandangannya ke dokumen di mejanya, seolah kehadiran Xellan tak lebih dari angin yang lewat.

Di luar ruangan, Veron hanya bisa berdiri kaku, wajahnya campuran antara panik dan bingung. Suara pintu yang dibanting, bentakan Xellan, dan dentuman pukulan barusan sudah cukup membuatnya berpikir ulang untuk ikut campur.

‘Gila, dua orang gila ketemu.’ Veron menghela napas berat, menatap pintu dengan ekspresi pasrah. ‘Gue gak mau jadi korban. Xellan ngamuk, terus Alvian ekspresinya kaya gitu lagi. Kalo gak gaji gue dipotong, pasti muka gue yang jadi taruhannya.’

Dia mengusap lehernya, merasa ngeri membayangkan apa yang bisa terjadi kalau dia mencoba masuk. Semoga aja gak ada meja atau kursi yang melayang.

Alvian berdiri dari kursinya, langkahnya tenang namun penuh intensi. Dia berjalan mendekati Xellan, dan dengan gerakan santai, dia menundukkan tubuhnya, mendekatkan bibirnya ke telinga wanita itu.

“Aku sengaja,” bisiknya rendah, suara dinginnya seperti angin malam yang menusuk. “Kalau tidak seperti ini, kamu tidak akan datang dengan sendirinya, Chesy.”

Xellan langsung mendorongnya dengan kasar, cukup kuat untuk membuat Alvian sedikit mundur. “Jauhin Jovicca,” ucapnya dengan nada menggertak, matanya menyala penuh kemarahan.

Alvian tersenyum tipis, dingin, dan sangat mengejek. “Aku tidak mau,” jawabnya pendek, seolah menantang emosi Xellan untuk meledak lebih besar.

Melihat ekspresi pria itu yang begitu santai, Xellan mengepalkan tangannya lagi. Buku-buku jarinya memutih, dan tatapannya semakin tajam, seperti anak panah yang siap ditembakkan.

“Apa mau lo?” tanya Xellan tajam, suaranya penuh tekanan.

Alvian hanya mengangkat bahunya sedikit, ekspresi datarnya tidak berubah. “Aku hanya ingin bersenang-senang,” jawabnya ringan, seolah hal ini adalah lelucon baginya. Dia tahu Xellan sudah di ujung kesabaran, tetapi Ia tak ada niatan untuk mengalah.

“Kenapa harus bawa-bawa Argos?” tanya Xellan lagi, nadanya sedikit bergetar, campuran antara emosi dan ketidakpercayaan.

“Jovicca sama sepertimu. Keras kepala. Kalau tidak begitu, dia akan tetap meminta berpisah,” balas Alvian datar. Tatapan dinginnya tidak berpaling sedikitpun dari mata tajam perempuan berambut pendek itu, seolah sedang menantangnya.

Xellan menarik napas panjang, berusaha menenangkan badai yang berkecamuk dalam dirinya. Ia menunduk sesaat, menutup mata rapat-rapat untuk menahan emosi yang siap meledak kapan saja.

Bagaimanapun, ini bukan hanya tentang dirinya, ini tentang sahabatnya. Sahabat yang telah begitu banyak berkorban untuk pria yang kini berdiri angkuh di depannya.

“Jangan main-main sama perasaan sahabat gue!” serunya lebih keras, menuntut kejujuran yang mungkin tidak akan pernah ia dapatkan dari pria itu.

Alvian tersenyum kecil, sinis, seperti menemukan hiburan dari amarah yang dipancarkan Xellan. “Aku akan melepaskannya,” katanya ringan, seolah yang ia bicarakan bukan seseorang dengan hati dan perasaan. “Jika kamu menuruti perintahku.” Sebelah alisnya terangkat, mencemooh Xellan tanpa rasa bersalah sedikitpun.

Mata Xellan membulat, rahangnya mengeras. Nafasnya kembali memburu, tetapi ia menahan diri agar tidak bertindak gegabah. “Lo ngancam gue dengan manfaatin Jovicca?” tanyanya, nyaris berbisik karena terlalu muak.

“Heum...” Alvian mengangguk kecil dengan ekspresi penuh

Habis kesabaran wanita itu saat melihat wajah Alvian yang mempermainkannya. Satu pukulan dia berikan di ikuti pukulan lainnya. Xellan meluapkan semua emosinya. Alvian hanya diam menerima pukulan Xellan.

“Hehh apa ini? Lan woyy!” Veron masuk ke ruangan Alvian dan langsung menarik Xellan yang gelap mata meninju wajah Alvian dengan sadis.

“Lepasin!!”

Usaha Veron menarik Xellan lepas dari Alvian tidak ada gunanya. Xellan masih meninju wajah tampan itu dengan kuat. Veron kewalahan memisahkan Xellan dari Alvian. Tidak ada cara lain selain mengancamnya.

'Dasar singa betina.'

“Mau gua telfon Jovicca? Lepasin Alvian gak?!” bentak Veron, dia habis akal menghentikan Xellan yang sibuk memukuli Alvian dengan membabi buta.

Tenaga wanita itu sangat kuat, dan sekarang dia sedang marah otomatis kekuatannya juga tidak main-main. Hanya cara ini yang bisa dipikirkan Veron.

Mendengar nama sahabatnya disebut, Xellan berhenti memukul Alvian. Dia bangun dan memandang tajam Veron di belakangnya. Alvian masih setia berbaring di atas karpet. Dia tertawa kecil dan menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya.

“Gue bilang jauhin Jovicca!!” Xellan berteriak, suaranya penuh kemarahan yang membara. Matanya tajam menatap Alvian yang baru saja bangkit, dibantu Veron. Wanita itu masih membakar dengan amarah yang belum padam.

Alvian duduk di atas karpet, memandang datar Xellan yang masih penuh dengan kebencian. Meskipun wajahnya tampak lebam dan darah menetes dari sudut bibirnya, ekspresinya tetap dingin, seolah tak terpengaruh sedikit pun.

“Apakah aku harus mengulang perkataanku, Chesy?” suara Alvian datar, seakan tak terhentikan meski Xellan baru saja melepaskan emosinya.

“Bajingan…!” Xellan menyumpah, tak bisa menahan diri lagi.

“Heiit, telfon Jovicca nih?” Veron tiba-tiba menyela, tangannya dengan cepat menarik ponsel dari saku dan memperlihatkan layar ponsel itu di hadapan wajah Xellan.

Xellan merasa terkekang, namun dia hanya bisa mundur dan membuang muka, melipat kedua tangannya di depan dada dengan rasa jengah. Ia berusaha keras menahan emosi yang masih bergolak di dalam dada, meski hatinya seakan terbelah.

Alvian hanya tertawa pelan melihat interaksi di depannya, menikmati ketegangan yang tercipta.

“Gue mau keluar ambil kotak obat, awas lo apa-apain Alvian lagi, langsung gue telfon Jovi. Mampus lo kena marah sama dia,” Veron mengancam, matanya masih menatap Xellan dengan sinis sebelum akhirnya berbalik dan berjalan keluar.

Xellan tak memberi reaksi, tetap berdiri dengan sikap yang tak peduli, seolah tak terpengaruh oleh kata-kata Veron. Ketika pintu ruangan hampir tertutup, Veron masih sempat menoleh dan memberi tatapan tajam, namun Xellan tetap bergeming, seolah tak menghiraukan apapun yang terjadi.

Alvian melangkah perlahan ke bangkunya, wajahnya masih menunjukkan tanda-tanda perkelahian, namun senyum sinis tetap terukir di bibirnya. “Mau kamu pukul berkali-kali, aku nggak akan menyerah, Chesy. Apa yang aku inginkan, harus aku dapatkan,” ujar Alvian, suaranya tenang, meski ada kebanggaan samar yang mengintip dari balik kata-kata itu.

Xellan menatapnya dengan tajam, tak bergerak. Alvian seakan tak peduli dengan kekerasan yang baru saja dia terima, tetap tenang dan percaya diri.

“Selain itu, untuk apa kamu membangun perusahaan lagi? Itu tidak ada gunanya,” ejek Alvian dengan nada merendahkan, seolah meremehkan semua usaha yang Xellan bangun.

Xellan mengepalkan tangannya dengan geram, tubuhnya menegang. "Itu bukan urusan lo," jawabnya dengan ketegasan, masih berusaha menahan gejolak di dalam dadanya. “Cukup jauhi Jovicca.” Dengan itu, Xellan berbalik dan melangkah keluar dari ruangan Alvian.

Di ambang pintu, dia berpapasan dengan Veron yang ingin masuk ke ruangan. Xellan tak menghiraukannya, langkahnya cepat dan penuh ketegasan, meskipun masih ada amarah yang membara dalam dirinya.

"Aiss singa betina itu, gak ada kerjaan lain apa? Buat masalah mulu, perasaan," omel Veron dengan kesal, saat melihat Xellan menghilang di balik pintu lift.

Lelaki itu segera berjalan mendekati Alvian. Meletakkan kotak obat di atas meja, dia langsung membukanya dengan gerakan terburu-buru.

"Wanita gila, dia cewek apa cowok sih? Tenaganya kuat banget. Gue sampe minder jadi cowok. Muka lo bonyok gitu." ujar Veron panjang lebar, dengan suara yang penuh kekesalan. Tangannya sibuk mengeluarkan obat-obatan dari dalam kotak itu.

Alvian hanya diam. Matanya menatap deretan huruf yang tersusun rapi di atas kertas putih, namun pikirannya terbang jauh, jauh melampaui kata-kata yang ada di depannya.

“Lo ikutan gila apa? Muka bonyok masih lanjut kerja lagi.”

“Gak sakit.”

"Gak sakit? Nih... gak sakit?" Veron berkata sambil memukul luka lebam di wajah Alvian, membuat pria itu meringis kesakitan.

"Buru lo bersihin darahnya, sekalian olesin obat merah ini," Veron melanjutkan dengan nada yang semakin kesal.

Melihat Alvian tetap diam, dia kembali memukul luka itu, kali ini dengan lebih keras dari sebelumnya.

Alvian menatap Veron dengan tatapan tajam yang sudah menjadi ciri khasnya. "Apa?! Mau gue yang bersihin luka lo?"

"Ooo utututu cayang cini-cini aku belcihin ya..." Veron berkata dengan suara cengkok, berlagak seperti pasangan Alvian yang sedang merajuk, membuat suasana semakin tegang, tapi juga konyol.

Pria itu menarik kasar kapas di tangan Veron, lalu tanpa ampun mengusir sahabatnya itu keluar dari ruangan. "Udah, jangan ganggu gue lagi," bentaknya, suaranya penuh kesal.

Veron hanya melongo sejenak, lalu dengan langkah malas keluar, masih menggerutu pelan. Alvian kembali duduk, menahan rasa sakit, namun matanya tetap terfokus pada kertas putih di depannya, mencoba untuk menenangkan pikiran yang nyaris tak terkendali.

***

Xellan sampai di apartemen, tapi yang dia temui hanya kesunyian. Tidak seperti biasanya, Jovi tidak ada di depan televisi, sibuk menonton acara favoritnya. Hening menyelimuti ruangan itu.

“Apa belum pulang ya?” gumam Xellan pelan, seolah mencari jawaban dari udara yang sama sekali tak menjawab.

Perempuan berambut pendek itu melangkah ke kamar, merasakan berat di dadanya. Begitu sampai di kasur, dia langsung terbaring, menatap nanar langit-langit kamar yang terasa semakin menekan.

Nafasnya keluar perlahan, seakan mengusir segala kebingungannya. ‘Cowok apaan maksa kaya gitu?’ pikirnya, kesal, tak bisa memahami keputusan Alvian.

Dia menghabiskan waktu beberapa saat dalam keheningan, seolah berusaha mencari jawaban di setiap celah kamar itu. Namun, saat kebingungannya mulai menguap, Xellan akhirnya bangkit dari tempat tidurnya.

Dia meraih handuk di ujung tempat tidur, lalu melangkah menuju kamar mandi, bertekad untuk menenangkan dirinya. Namun, langkahnya terhenti begitu mendengar suara itu.

“Kamu ngapain ke kantor, Alvian?” suara Jovi tiba-tiba terdengar, dengan nada yang tak bisa Xellan artikan. Lebih dari sekadar pertanyaan biasa. Xellan berhenti, handuk yang hampir dipegangnya kini jatuh begitu saja, dan tanpa sadar, hatinya berdegup lebih kencang.

Terpopuler

Comments

marrydiana

marrydiana

mampir thor, mampir juga di karya aku (Suamiku Preman)

2024-02-07

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!