BAB 4

"Kalau kau melihat matahari, pastikan kau tahu batasmu," ucap Alvian dingin, suaranya rendah namun penuh ancaman, seraya tatapannya berubah tajam, memancarkan aura yang membuat siapa pun merasa terintimidasi.

"Gue bukan jalang apalagi pelacur! Gue gak sehina itu!!" teriak Jovicca penuh amarah, suaranya menggema di ruangan yang kini terasa seperti arena pertempuran dingin antara hati yang terluka dan harga diri yang diinjak.

Tangannya gemetar saat mencoba meraih pakaian yang berserakan di lantai, namun tekadnya jauh lebih kuat daripada rasa takut atau sakit yang mendera tubuhnya. Napasnya terdengar berat, matanya masih basah oleh air mata yang belum sempat mengering.

Dengan sisa tenaga yang ada, Jovicca memaksakan diri mengenakan pakaiannya satu per satu di hadapan Alvian. Rasa nyeri di sekujur tubuhnya tidak mampu menahan kobaran api kemarahan dan kekecewaan dalam hatinya. Meski dengan gerakan yang terhuyung-huyung dan gemetar, dia berdiri tegar, menolak menyerah pada rasa malu atau kekalahan.

"Makan sendiri uang itu! Saya tidak butuh!" Kata-kata itu keluar dengan mudah, seolah-olah racun yang sudah lama terpendam akhirnya menemukan jalannya. Rasa sakit dan amarahnya meledak dalam satu ledakan kalimat. Meski begitu, ada kesedihan yang menyelimuti, perasaan terkhianati yang sulit dia terima.

Dia tidak peduli lagi dengan keinginannya untuk memiliki uang banyak, Jovicca tidak mengharapkan nafkah dari suaminya. Tohh dari awal dia bisa menghidupkan dirinya sendiri. Walaupun sulit, itu jauh lebih baik daripada mendapat penghinaan seperti ini.

Jovicca menyeka air matanya dengan punggung tangan, meski isak tangisnya masih tersisa di setiap tarikan napas. Ia terus memaksakan langkah, menahan rasa sakit di tubuh dan hatinya. Setiap kata yang diucapkan Alvian tadi terngiang di telinganya, seperti duri yang mencabik-cabik harga dirinya. Tapi dia menolak untuk terlihat lemah. Tidak di depan lelaki itu.

Dia berhenti sejenak di depan pintu, menarik napas panjang sebelum membukanya. Tanpa menoleh ke belakang, Jovicca melangkah keluar, meninggalkan Alvian bersama kartu ATM yang kini terasa lebih seperti penghinaan daripada nafkah. Setiap langkah yang ia ambil adalah simbol dari tekadnya untuk tidak lagi terjebak dalam rasa sakit ini.

‘Gue bakal menyetujui permintaan perceraian itu, Al,’ ia berjanji dalam hati, matanya yang masih basah dengan air mata berubah dingin. Jika ini akhir dari semuanya, biarlah dia yang memutuskan kapan dan bagaimana semuanya berakhir.

Di kamar yang kini sunyi, Alvian berdiri dengan wajah datar, memandangi tempat tidur di depannya. Dia meraih ponselnya dan menghubungi Veron, sahabat sekaligus sekretarisnya.

“Cari tahu seluruh informasi tentang cewek yang tidur dengan saya kemarin,” ujarnya dingin begitu telepon diangkat.

“Cewek? Lo main wanita lagi? Astaga, Al! Gonta-ganti cewek mulu, gak takut kena sa–”

Alvian memutus panggilan tanpa ragu, tak ingin mendengar lebih lanjut ocehan Veron. Dia kembali menatap kasur yang kini menjadi pusat pikirannya. Pandangannya tertuju pada noda merah di atas sprei putih itu. Jejak yang berbicara lebih dari ribuan kata.

'Dia perawan?' batinnya, dia merasa ada hal yang aneh.

Alvian menarik napas dalam, tapi tidak ada ekspresi berarti di wajahnya. Selain noda itu, dia juga mengingat dengan jelas bagaimana Jovicca menangis sebelum meninggalkan kamar tadi.

Meski pikirannya mencoba mengabaikan, adegan itu terus berputar di kepalanya, membuat hatinya sedikit terusik, walau dia tidak ingin mengakuinya.

***

Jovicca membuka pintu apartemennya dengan langkah berat. Wajahnya datar tanpa ekspresi, tetapi sorot matanya berbicara lebih jujur, ada luka dan kehancuran yang tidak mampu dia sembunyikan. Dia meletakkan tasnya sembarangan dan langsung berjalan pincang ke sofa tanpa sepatah kata pun.

"Kenapa?" tanya Xellan yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit rambutnya. Suara sahabatnya begitu lembut, tapi cukup untuk membuat Jovicca berhenti sejenak.

“Cowok bajingan,” gumam Jovicca pelan, suaranya penuh amarah yang bercampur getir. Dia tidak menjawab langsung pertanyaan Xellan, hanya memaki seseorang yang jelas telah menyakitinya.

Xellan mengerutkan dahi, namun tidak berkata apa-apa. Melihat Jovicca yang terlihat begitu hancur, wanita itu langsung berjalan mendekat. Tidak ada pertanyaan, tidak ada paksaan untuk bicara, hanya sepasang lengan yang melingkar erat di tubuh sahabatnya.

Xellan menarik Jovicca ke dalam pelukannya dengan lembut, menahan tubuh sahabatnya yang hampir kehilangan keseimbangan.

"Sini," bisiknya lirih. Sesekali tangannya terulur untuk mengelus lembut rambut panjang Jovicca, memberikan kenyamanan yang dia tahu sangat dibutuhkan sahabatnya saat ini.

Jovicca awalnya hanya diam, tetapi perlahan tubuhnya mulai bergetar. Tanpa disadari, air mata yang dia tahan sejak tadi akhirnya jatuh. Bahunya terguncang, dan isakannya mulai terdengar samar. Xellan tidak mengatakan apa-apa, hanya mempererat pelukannya, mencoba menjadi tempat perlindungan yang aman untuk sahabatnya.

“Lo aman di sini,” ucap Xellan dengan suara yang nyaris berbisik, tetapi penuh dengan ketulusan. “Gue ada buat lo, Jov. Jangan simpan semuanya sendiri.”

Tangisan Jovicca semakin pecah, seolah semua rasa sakit yang dia pendam selama ini akhirnya menemukan jalan keluar. Xellan tetap diam, membiarkan Jovicca melepaskan semua beban yang ada di dadanya.

Dia tahu, yang dibutuhkan sahabat bukanlah solusi, melainkan seseorang yang bersedia mendengarkan dan tetap ada di sisinya.

Ketika tangisan Jovicca akhirnya mulai mereda, Xellan masih memeluknya, tanpa berniat melepaskan. “Lo nggak sendiri, oke? Kalau dunia ini nggak berpihak sama lo, gue bakal selalu nemenin lo," ucapnya pelan, tapi penuh keyakinan.

Jovicca mengangguk kecil, masih terisak. Dia tahu, dalam pelukan sahabatnya ini, dia tidak hanya merasa didukung, tetapi juga dicintai tanpa syarat.

***

Veron mendorong pintu ruangan Alvian dengan setumpuk berkas di tangannya. “Permisi, Pak. Ada beberapa dokumen yang perlu Bapak tanda tangani. Saya juga mau menyampaikan jadwal Bapak untuk hari ini,” ucapnya sambil melangkah masuk.

Namun, bukannya membahas pekerjaan, Alvian malah menatapnya dengan ekspresi datar dan langsung melontarkan pertanyaan, “Informasi cewek itu?” Nada suaranya rendah, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa topik itu masih menghantuinya sejak tiga hari lalu.

Veron mendesah panjang, meletakkan berkas di meja sebelum melipat tangannya dengan santai. “Kerjaan gue udah numpuk banget, bos. Yang lo kasih ke gue aja belum selesai-selesai, sekarang lo nambahin tugas lagi? Lagian, buat apaan sih informasi tentang cewek itu? Sampai sekarang juga nggak ada masalah apa-apa, kan? Abaikan aja udah.”

Alvian menatap Veron dengan sorot mata tajam, tetapi Veron tetap santai, seperti biasa. Dia tahu batasannya dalam berbicara dengan Alvian—bos sekaligus temannya. Meski terkadang bersikap seenaknya, Veron selalu tahu kapan dia harus profesional.

“Gue nggak suruh lo ngejawab pakai alasan,” balas Alvian dingin. Tangannya menyandarkan dagu di jari-jarinya sambil menatap Veron seperti sedang menilai. “Cari tahu. Gue nggak suka urusan yang belum selesai.”

Veron mendengus pelan sambil mengangkat bahu. “Iya, iya, nanti gue urus. Tapi kalo ternyata nggak penting, jangan salahin gue kalau gue komplain lagi.” Dia memungut salah satu dokumen di meja dan meletakkannya tepat di hadapan Alvian. “Sekarang, tolong tanda tangan ini dulu, Bos. Lo tetep punya kerjaan yang nggak bisa gue ambil alih.”

Alvian hanya mengangguk pelan, mengambil pena dan mulai membubuhkan tanda tangannya. Namun, pikirannya jelas masih terpaku pada wanita yang meninggalkan bekas di kasurnya tiga hari lalu.

Ponsel di meja Alvian bergetar lagi, memotong fokusnya yang sedang sibuk membaca dokumen penting. Dengan gerakan malas, dia meraih ponsel itu dan mengangkat panggilan dari ibunya. Suaranya terdengar berat, menunjukkan betapa jenuhnya dia menerima panggilan semacam ini.

“Alvian, nanti kamu pulang ya, Nak,” suara Renata, ibunya, langsung terdengar begitu dia mengangkat telepon.

Alvian memijit pelipisnya, menghela napas panjang sebelum menjawab. “Hari Minggu, Ma. Aku sibuk,” jawabnya datar, jelas tidak tertarik melanjutkan percakapan. Setiap hari ibunya meminta hal yang sama, dan setiap kali dia memberikan jawaban yang sama.

Namun, ucapan berikutnya dari Renata membuat Alvian tiba-tiba duduk tegak di kursinya. “Kamu nggak mau lihat istrimu? Dia ada di sini loh sama Mama.”

Kalimat itu seperti bom yang meledak di kepala Alvian. Matanya menyipit, otaknya berputar cepat, mencoba memahami maksud ucapan ibunya. Wanita itu? Ada di sana?

“Aku pulang sekarang,” ucapnya singkat, tanpa menunggu jawaban ibunya. Dia langsung memutuskan sambungan telepon, meraih jasnya, dan berjalan keluar kantor dengan langkah cepat.

Bukan karena penasaran dengan wajah wanita yang disebut-sebut sebagai istrinya. Tidak, tujuan Alvian hanya satu. Menyelesaikan semua ini secepat mungkin. Perceraian. Hubungan tanpa arti ini harus berakhir.

Dia menoleh sebentar ke arah Veron yang berdiri di depan pintu ruangannya. “Nanti malam, kirim informasi tentang cewek itu! Jangan ada alasan,” perintahnya tegas sebelum menghilang di balik pintu, meninggalkan meja kerjanya yang masih dipenuhi dokumen.

“Al! Lo mau ke mana? Nanti sore ada meeting penting!” seru Veron, setengah frustrasi melihat bosnya yang bertingkah seenaknya. Tapi Alvian sudah terlalu jauh untuk mendengar.

Di perjalanan menuju rumah orang tuanya, pikiran Alvian terus terfokus pada satu hal, wanita yang disebut istrinya itu. Hampir dua tahun mereka menikah, namun dia tidak pernah melihat wajahnya, bahkan tidak tahu namanya. Semua ini hanyalah kesepakatan keluarga yang tidak pernah dia setujui sepenuhnya. Dan sekarang, saatnya mengakhiri.

Begitu sampai di depan rumah keluarganya, Alvian turun dari mobilnya dengan langkah mantap. Dia disambut oleh seorang pelayan yang membukakan pintu. “Selamat sore, Tuan,” sapanya sopan.

Alvian hanya mengangguk singkat dan melangkah masuk. Namun, langkahnya terhenti seketika saat matanya tertuju pada sosok wanita yang duduk bersama ibunya di ruang tamu. Mata Alvian membelalak, rahangnya mengeras.

Itu dia. Wanita yang menghabiskan malam bersamanya beberapa hari lalu.

Wanita itu… adalah istrinya?

Terpopuler

Comments

Rey

Rey

Alvian jujur aja alasanmu gak mau cerai, karena terlanjur cinta sama Jovicca 😁

2024-02-06

1

marrydiana

marrydiana

mampir thor, mampir juga di karya aku (Suamiku Preman)😅

2024-02-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!