Bar di pusat Jakarta itu menyajikan suasana yang khas, temaram dengan lampu neon biru dan ungu yang memantul di meja kaca, menciptakan siluet di wajah para pengunjung. Musik elektronik berdentum lembut, cukup untuk mengisi ruang tanpa mendominasi percakapan.
Aroma campuran alkohol, kayu tua, dan sedikit asap rokok menyatu dengan udara yang sejuk karena pendingin ruangan. Meja-meja berderet di sepanjang sisi ruangan, sementara di tengah terdapat sofa melingkar yang dipesan Jordan dan Veron.
Jordan duduk dengan santai di sudut sofa, mengenakan jaket kulit hitam yang menggantung longgar di tubuhnya. Sedangkan rambut gelapnya disisir rapi ke belakang, memamerkan rahang yang tegas dan sorot mata tajam seakan ia sering menyelidik.
Di sebelahnya, Veron sibuk memainkan tutup botol minuman, memutar-mutar benda kecil itu di antara jarinya. Veron yang lebih pendek dengan tubuh ramping dan postur santai, memiliki rambut cokelat acak-acakan yang sering menjadi ciri khasnya. Tatapan matanya penuh kelakar, seperti ada lelucon yang tak pernah selesai dipikirkannya. Senyum tipis itu penuh kenakalan, menegaskan sifat jahil yang membuat Jordan sering kali ingin mengacak-acak rambutnya.
Alvian memasuki ruangan tanpa ekspresi berarti. Langkahnya tenang dan percaya diri, tetapi tidak mengundang perhatian. Jaket hitamnya yang sederhana serasi dengan tatapannya yang datar, menyiratkan aura dingin yang tidak berusaha ramah. Dia melirik sekilas ke arah Jordan dan Veron sebelum berjalan mendekati mereka.
"Widih, bos gua udah dateng nih," kata Veron, mencairkan sedikit suasana dengan nada yang lebih kepada pernyataan daripada sapaan.
“Kapan pulang?" tanya Alvian sambil berjalan masuk lebih dalam ke ruangan itu.
"Tadi siang. Baru sampai," jawab Jordan dengan nada datar namun tegas. Dia menyodok kepala Veron dengan tangan kirinya. "Ini manusia satu langsung maksa gue buat nongkrong di sini."
"Aduh, sakit woy!" Veron meringis berlebihan yang membuat Jordan semakin mendengus kesal.
"Lagian lo juga di luar negeri lama banget," tukas Veron sambil duduk lebih tegak setelah berhasil lolos dari Jordan. "Nggak kasihan apa sama gue yang harus hadapin manusia kulkas ini sendirian? Mana ekspresinya mahal banget lagi!"
Jordan hanya mendesah panjang, tangannya mengacak rambut yang sebelumnya rapi. Sementara Alvian menatap mereka berdua tanpa perubahan ekspresi di wajahnya, seperti biasa, acuh tak acuh.
Dia tidak merespons ucapan Veron, tetapi mengambil kursi kosong di dekat mereka. Dengan sikap tenang, dia membuka botol minumannya.
"Lama gue di luar negeri, lo tetep nggak berubah, Vin."
Veron memutar bola matanya, sementara Jordan hanya menggeleng pelan, menyesap minumannya sambil memperhatikan Alvian yang terlihat betul-betul tidak terganggu oleh drama kecil mereka.
"Ehh iya, kalian gak ada niatan buat rayain gitu? Mumpung sekarang lagi di bar ini. Jor, bayarin. Itung-itung perayaan kepulangannya lo dari Amrik."
"Aji mumpung, najis."
"Lo tuh jadi sahabat baik dikit ama gua. Anggap aja sedekah."
"Mana ada sedekah sampai jutaan, anjir. Mana sedekahnya minuman haram lagi. Emang kalau gobloknya udah mendarah daging, bakal susah," ucap Jordan sambil memukul pelan belakang kepala Veron.
"Ribet lo ah. Udah, gue mau pesen dulu. Anggap sedekah sama gue." Veron langsung bangkit dan pergi keluar ruangan dengan langkah santai, tak peduli dengan tatapan Jordan.
Jordan mendengus kecil, lalu beralih menatap Alvian yang duduk diam di sudut sofa. Wajahnya yang biasa penuh candaan kini tampak serius.
"Diem baik dari tadi, Om. Ada apa?" tanyanya sambil mendekat, sorot matanya penuh tanda tanya.
Memang sudah biasa Alvian akan selalu menjadi pendengar. Tetapi Jordan tahu, diamnya Alvian kali ini karena pria itu memiliki masalah. Di antara mereka bertiga, Jordan lah yang lebih dewasa dari pada yang lain. Mungkin karena dia adalah dokter, jadi pria itu bisa membaca dan mengetahui kalau sahabatnya sedang ada masalah.
"Tadi gue ketemu sama Xellan, dia tetap gak bisa nerima gue, walaupun gue udah nahan Jovicca."
"Al, gue tau lo sayang banget sama Xellan karena dia udah bantu dan nemenin lo. Tapi lo juga harus ngerti, perasaan itu gak bisa dipaksakan. Lo gak bisa memaksa dia untuk mencintai lo, itu akan terbangun sendirinya dan itu gak bisa lo kendalikan,” ucap Jordan mencoba memberi pengertian.
“Coba untuk menerimanya. Sudah 19 tahun, apakah lo lihat dia tertarik? Buka lembaran baru. Gue dengar lo batalin perceraian sama wanita itu. Buka hati lo untuknya, mungkin kalian berjodoh," lanjut Jordan panjang lebar.
Ini sudah kesekia kalinya Jordan berusaha untuk menyadarkan Alvian dari perasaannya. Sudah bertahun-tahun pria itu bersikap egois.
“Gue datang! Banyak minuman!! Minum ... Minum, anggap punya sendiri, jangan malu malu. Jordan yang bayar," ucap Veron antusias, dia datang membawa nampan di kedua tangannya.
"Percuma kaya kalo maunya gratisan doang."
"Bodoamat, yang penting gak bayar." Dengan santainya Veron menuangkan wine ke gelasnya.
"Ah iya, Al.”
“Di Aussie gue ketemu sama orang yang mirip banget sama lo. Kayak kembaran lo, Al," ucap Jordan, pria itu sedang menuangkan wine ke gelas kosong, dan ikut minum bersama Veron.
"Ternyata dia juga orang Indonesia, tapi terpaksa harus pindah ke Aussie," lanjut Jordan santai, menatap Alvian dengan wine di tangannya.
Sementara itu, Alvian tetap diam. Tapi bukan karena tidak tertarik, justru sebaliknya. Pikiran Alvian terasa sesak, bergulat dengan perasaan yang terus-menerus menghantuinya.
Kata-kata Xellan di apartemen tadi masih menggema di kepalanya, tentang perasaan yang tak seharusnya ada. Tatapan matanya kosong, namun ada riak kecil di dalamnya, seperti ombak yang sedang mencari cara untuk pecah.
"Lah? Lo bukannya pergi ke Amrik? Kok nyasar ke Aussie?" Veron memecah keheningan Alvian.
Dia bingung dengan cerita Jordan. Sepengetahuannya, Jordan pergi ke Amerika untuk mengejar pendidikan. Kenapa sekarang dia baru pulang dari Aussie?
"Ada kerjaan ke sana waktu itu," jawab Jordan santai sambil menyesap sedikit wine di tangannya.
Veron memicingkan mata, menatap curiga pada Jordan. Ekspresi wajahnya jelas menunjukkan ketidakpercayaan.
"Matanya gak usah lihat kayak gitu," ujar Jordan sambil mengusap wajah Veron dengan telapak tangannya.
"Awas! Tangan lo bau," keluh Veron sambil menepis tangan Jordan.
"Bilang aja lo nyari cewek ke sono," sindir Veron, senyumnya melebar. "Kan selera lo cewek Aussie."
Jordan tertawa kecil, tapi tatapannya sempat mencuri lihat ke arah Alvian. Dia tahu, sahabatnya sedang memikirkan sesuatu yang berat, meski Alvian berusaha menyembunyikannya di balik diamnya.
“Makanya jangan jomblo," ejek Veron, dari wajahnya terlihat pria itu menyindir Jordan.
"Mending jomlo daripada LDR-an, antar negara lagi. Kasian, punya pacar tapi berasa jomlo," cibir Jordan tidak mau kalah.
Veron tidak terima, lelaki itu langsung memelintir leher sahabatnya dengan gerakan main-main, tapi cukup membuat Jordan mengaduh.
"Yang pnting gak jomblo karatan? Sirik lo, mentang-mentang cewek gue cantik."
"Argh! Lepas!!" Jordan berusaha melepaskan tangan Veron dari lehernya, meskipun senyum kesal terpampang jelas di wajahnya.
"Rese lo."
“Lo duluan, kutil onta," balas Jordan, mendorong bahu Veron.
Di sisi lain, Alvian hanya duduk diam. Berbeda dengan Jordan dan Veron yang sibuk berdebat seperti anak kecil, dia masih terjebak dalam pusaran pikirannya sendiri. Perkataan Xellan tadi kembali menghantam hatinya. Perasaan macam apa ini? Haruskah dia bertahan, atau justru melepaskan? Alvian menarik napas dalam-dalam, tapi pikirannya tetap tak tenang.
Veron akhirnya melepaskan tangannya dari leher Jordan ketika suara ponsel sahabatnya berbunyi. "Jiahh, pesan siapa tuh? Udah dapet doi lo?" tanyanya dengan nada kepo.
"Kepo lo, sana jauh-jauh!" serunya, memutar tubuh agar Veron tidak bisa melihat lebih jauh.
Tak kehilangan akal, Veron justru berseru dengan suara lantang, "Al! Sahabat lo udah punya pacar tuh!" Nada antusias Veron membuat ruangan bergema, tapi hanya suara tawa kecil yang menyusul setelahnya.
Pria berambut coklat itu menyenggol lengan Alvian dengan semangat. "Al, lo gak penasaran apa? Sahabat lo nih—" ucapnya setengah berteriak. Namun, kalimatnya terputus begitu saja saat tatapan dingin dan tajam dari Alvian menghantamnya tanpa ampun.
Mata lelaki itu seperti bilah pisau, menusuk langsung ke nyali Veron yang semula begitu percaya diri. Seolah hanya dengan pandangan itu, Alvian sedang berkata, “Jangan ganggu gue.”
Veron langsung mundur, gerakannya kikuk seperti anak kecil yang baru dimarahi guru. Antusiasme di wajahnya memudar, tergantikan oleh senyum canggung.
Ia menggaruk tengkuknya dengan salah tingkah, mencoba menyembunyikan rasa takut yang tiba-tiba menyerangnya.
[Gak ada hal yang aneh. Semuanya terlihat biasa aja.]
Setelah membalas pesan itu dengan cepat, Jordan menyimpan ponselnya kembali ke saku celananya. Ia menoleh ke Veron, yang masih mematung beberapa langkah dari Alvian.
"Lihat temen lo noh, mukanya serem amat," bisik Veron kepada Jordan, suaranya pelan tapi penuh protes.
"Lagian lo juga. Udah tau temennya kayak gitu, masih aja diganggu," balas Jordan seadanya.
Ia hanya menggelengkan kepala sambil meneguk winenya, menikmati momen kecil ini. Dalam hati, ia lega karena fokus Veron beralih dari dirinya. Pesan rahasia di ponselnya tetap aman, jauh dari pandangan dua lelaki itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Rey
hahaha 😆
2024-02-20
0