BAB 11

Mau tak mau, Xellan menghantamkan pukulan ke perut Alvian dengan kasar. Pelukan mereka seketika terlepas. Raut wajah lelaki itu mengeras, matanya memancarkan kilatan amarah yang tertahan. Namun, Xellan memilih untuk mengabaikannya, meskipun ada percikan rasa bersalah yang ia tekan dalam hatinya.

Dari balik pintu, Jovicca sedikit memiringkan kepala, mengintip dengan raut penasaran sekaligus jengkel. "Lo ngapain ke sini?" tanyanya, suaranya terdengar tajam, seperti belati yang baru diasah.

Alvian tidak menjawab. Tanpa permisi, pria itu melangkah masuk, seakan tempat itu adalah miliknya. Tatapannya dingin seperti es yang menyusup ke ruangan sempit.

Ia memindai setiap sudut apartemen dengan sorot mata tajam, seolah mencari sesuatu. Langkahnya terhenti di depan sofa. Dengan santai, ia menjatuhkan tubuhnya di sana, seperti tak peduli pada keributan kecil yang ditimbulkannya.

“Mau apa lo ke sini? Keluar!” seru Xellan, suaranya penuh kemarahan. Dengan cepat, ia menarik dokumen di atas meja, lelaki itu tampaknya sudah mulai membaca berkas yang sengaja ia letakkan waktu pulang kerja tadi.

Namun, Alvian tetap diam. Alih-alih menjawab, pria itu malah mengeluarkan ponselnya. Jemari panjang itu bergerak santai di atas layar, seolah dunia di sekitarnya tidak lebih dari bayang-bayang. Xellan yang terus memprotes dengan suara lantang pun ia abaikan. Wajahnya tetap datar, tanpa setitik emosi pun yang tersirat.

“Heh, bocah! Lo udah gila? Main nyelonong masuk rumah orang seenaknya, mana gak lepas sepatu lagi!” Jovicca mendadak mengomel, matanya melirik jejak kotor yang ditinggalkan di lantai.

“Gue lagi males marah-marah. Tolong keluar, Alvian!” Ada nada lelah dalam ucapannya, campuran antara amarah yang terkikis dan penat akibat tumpukan pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan malam itu.

Melihat suasana yang mulai tidak nyaman, Jovicca memilih untuk pergi meninggalkan mereka. Langkahnya cepat menuju dapur, dia lebih memilih menyelamatkan masakannya yang hampir gosong daripada terjebak dalam pusaran ketegangan.

“Lo punya telinga gak sih? Gue bilang keluar!” Xellan membentak dengan nada frustasi.

Matanya menatap tajam, emosinya mendidih. Sama seperti Jovicca, ia sebenarnya enggan berurusan lebih lama dengan pria dingin di depannya. Namun, situasi memaksanya untuk tetap bertahan.

Alvian tak bergeming. Jarinya terus bergerak di atas layar ponsel, seolah omelan Xellan hanyalah angin lalu. Diamnya membuat suasana semakin membara, menambah ketegangan yang menggantung di udara.

Akhirnya, pria itu mengangkat wajahnya. Tatapannya tajam dan datar, langsung menusuk balik mata Xellan yang masih menatapnya dengan penuh emosi. Diamnya seakan menantang, namun juga penuh arti, membuat Xellan merasa seperti berbicara pada dinding yang dingin dan tak bernyawa.

“Mau ikut aku tinggal bareng?” Kalimat pertama yang diucapkan Alvian membuat wanita di depannya membulatkan mata tidak percaya.

‘Apa maksud pria ini? Di peringatkan, kok malah semakin bertingkah? Apa perlu gue bonyokin lagi kayak kemarin?’

“Gak usah bercanda. Mending lo keluar.” Xellan mengibaskan tangannya, mengusir pria dingin itu.

Alvian akhirnya mengangkat kepalanya, mata mereka saling bertatapan. “Aku gak lagi bercanda.”

Sudah cukup pria dingin ini menguji kesabarannya. Xellan mendekat, siap untuk memukul lelaki itu lagi, namun tiba-tiba Jovicca muncul dari arah dapur, dan dengan cepat dia menarik tangan sahabatnya.

“Lo mau ngapain?” tanya Jovicca dengan panik, dia sudah bisa menebak apa yang akan terjadi. Maka itu, dia buru-buru menyelesaikan masakannya.

Xellan melipat tangannya di dada, lalu membuang muka. 'Cowok aneh, gak jelas, sombong.’

Dahi Jovicca mengkerut, bingung dengan masalah yang terjadi di antara mereka berdua. Apakah mereka saling mengenal? Sejak kapan? Jovicca semakin bingung dengan sikap sahabatnya.

“Lo ngapain datang ke rumah gue sih?” tanya Jovicca, kesal dengan tingkah Alvian.

“Jemput lo.” Mendengar jawaban itu bukan hanya Jovicca yang terkejut, tapi Xellan juga.

Wajah Jovicca terlihat membulat karena kaget, matanya terbuka lebar, sementara Xellan menatap dengan alis terangkat, mulut terkatup rapat, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengar.

“Maksud lo apa?”

Alvian mengangkat alisnya, menatap Jovicca dengan pandangan datar. “Gue gak mau ulangi perkataan dua kali.”

“Kenapa sekarang lo ajak gue tinggal bareng? Bukannya selama ini kita hidup masing-masing?” tanya Jovicca tidak ingin pindah.

“Perintah mama gue,” jawab Alvian singkat. Dia terlihat sangat malas menanggapi.

“Kalo urusan tante, nanti gue yang bakal ngomong. Lo pulang dulu sono,” ucap Jovicca mengusir lelaki itu.

Jujur dia tidak ingin tinggal dengan pria dingin dan kasar seperti Alvian. dia lebih nyaman tinggal bersama Xellan. Bagaimanapun juga, mereka sudah bersama sejak SMP, Jovicca tidak ingin berpisah dengan sahabatnya.

“Gue bakal pergi, kalo lo ikut.”

Tanpa melepas sepatu, pria itu menaikkan kakinya ke atas sofa, dan tiduran di sana mengabaikan dua wanita yang emosinya sudah diambang batas.

“Banjingan!!”

Kali ini Xellan yang turun tangan. Cukup sedari tadi dia sabar melihat tingkah pria ini. Sekarang Xellan tidak bisa menahannya lagi. Wanita itu menarik kerah kemeja Alvian dengan kasar, membuat lelaki itu terduduk.

Sayangnya sebelum Alvian berdiri, tangan Xellan sudah di tarik oleh pria berwajah datar itu, membuat perempuan berambut pendek jatuh di atasnya.

Wajah mereka hampir bbersentuhan. Senyum datar Alvian yang penuh ejekan muncul di wajahnya, begitu dekat dengan wajah Xellan, seakan ingin menantang.

“Jangan memaksaku untuk melakukan hal yang tidak aku sukai,” bisik Alvian, suaranya rendah dan menusuk langsung di telinga Xellan.

Sementara itu, Jovicca yang melihat malah merasa kebingungan yang menggelayuti pikirannya. Jantungnya berdebar tak karuan saat melihat Xellan dipeluk oleh Alvian. Ada perasaan aneh yang mengalir. Terkejut, tak percaya, dan sedikit cemas.

Hal itu membuatnya bertanya-tanya dalam hati, ‘Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka?’ Namun, alih-alih merasa marah atau terluka, dia malah tterdia merasa bingung, dan penasaran akan hubungan yang tidak ia pahami ini.

Xellan akhirnya bangkit, matanya tajam menatap Alvian dengan penuh rasa kesal. Wajahnya tampak garang, sementara alisnya terangkat tinggi, memberi kesan bahwa dia tidak suka dengan perlakuan itu.

“Kau berani sekali, Alvian,” ucapnya dengan suara yang tegas dan penuh kewibawaan, namun ada nada kemarahan yang terselip di sana.

Tersadar dari lamunan, Jovicca akhirnya berucap, “gue gak bisa, Al. Gue udah nyaman tinggal sama Xellan. Lagian, selama ini lo gak peduli gue ada atau enggak, kenapa sekarang lo nurutin kemauan tante?”

“Gue gak suka ulangin perkataan dua kali,”

Wajah Xellan sudah memerah, menahan amarah, sedangkan Jovicca menatap jengkel ke arah Alvian yang kini sibuk dengan ponselnya, seolah tak peduli dengan situasi yang ada.

‘Bagaimana bisa ada orang seperti Alvian?’ batinnya kesal.

“Gue udah bilang, gue gak mau tinggal sama lo. Udah pergi sana,” usir Jovicca, namun Alvian tetap diam, tidak bergerak sedikit pun dari sofa. Seolah tak mendengar ocehan istrinya sama sekali.

“Panggil satpam lah, Jov. Muak gue liat nih anak,” Xellan akhirnya berbicara, nada suaranya penuh keputusasaan.

Jovicca tak habis pikir dengan sikap keras kepala Alvian. Bagaimana bisa dia begitu tegar, tidak peduli apapun yang dikatakan? Mau berdebat berapa kalipun, seorang Alvian tetap tidak akan berubah.

Dengan napas berat, Jovicca akhirnya menyerah. “Yaudah, habis makan malam, gue bakal siap-siap.”

Xellan yang mendengar perkataan sahabatnya langsung menatap Jovicca dengan tatapan penuh tanya.

“Gak baik suami istri tinggal beda atap, Lan. Nanti gue bakal sering-sering datang ke sini kok,” jawab Jovicca, mencoba menjelaskan dengan lembut.

Namun tatapan tidak terima dari sahabatnya membuat Jovicca sadar, bahwa Xellan masih belum sepenuhnya menerima keputusan itu.

“Tapi kenapa harus mendadak, Jov?” tanya Xellan dengan nada sedikit kecewa.

“Kalau mau, sahabat lo bisa ikut,” cetus Alvian tiba-tiba, suaranya terdengar santai meski matanya tetap fokus pada ponselnya.

Tawaran itu membuat kedua wanita bersahabat menatapnya bingung, tidak menyangka akan kalimat yang keluar dari mulut Alvian.

Wajah Jovicca langsung berbinar, senang karena suaminya memperbolehkan Xellan tinggal bersama mereka. Namun, reaksi Xellan sangat berbeda. Perempuan itu hanya terlihat tidak tertarik, wajahnya datar dan tidak menunjukkan minat sedikit pun pada tawaran Alvian.

“Cowok gila.”

“Ayo, Lan. Kita bisa tinggal bareng,” ajak Jovicca dengan antusias, berharap Xellan mau menerima tawaran itu.

Namun, Xellan hanya menggelengkan kepala. “Lo ikutan gila? Mana ada istri yang ijinin cewek lain tinggal satu atap sama suaminya,” ujar Xellan dengan nada cemas, tak bisa membayangkan situasi itu.

“Yah, itu kan kalau si istri cinta sama suaminya. Kalo gue kan berbeda,” jawab Jovicca santai, tanpa beban.

Memang, dalam kasus mereka, semuanya terasa berbeda. Jovicca tidak tertarik sedikitpun pada Alvian. Ada banyak alasan yang membuatnya tidak bisa mencintai pria itu.

Bagi Jovicca, Alvian terlalu jauh dari sosok yang bisa membuatnya jatuh cinta. Kasar, dingin, egois, dan tidak menghargai orang lain, itulah yang selalu dia rasakan dari sikap Alvian.

“Yok, ikut. Jadi gak usah bayar sewa apartemen lagi,” ajak Jovicca dengan antusias, mencoba meyakinkan sahabatnya.

Namun, Xellan malah menolak mentah-mentah ajakan itu. “Gak perlu, gue masih sanggup biayain hidup gue sendiri,” jawabnya tegas.

Jovicca hanya mengangkat bahu, menerima penolakan itu. “Yaudah, yuk makan dulu,” ajaknya, berusaha mengalihkan perhatian.

Xellan hanya membalas dengan helaan napas panjang, seakan masih berpikir keras tentang situasi yang terjadi.

Berat rasanya mengizinkan Jovicca pergi, tapi mau bagaimana lagi? Alvian adalah lelaki paling keras kepala yang pernah Xellan kenal. Jadi, mau menahan Jovicca berapa kali pun, Alvian tidak akan membiarkannya.

Xellan tahu betul, meski dia mencoba untuk membujuk, pria itu tetap tak akan berubah. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah menerima kenyataan dan berharap sahabatnya baik-baik saja di bawah atap yang sama dengan lelaki itu.

***

Selesai makan, Jovicca mulai mengemasi barang-barangnya di kamar, sementara Xellan dan Alvian sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing.

"Sampai kapan kamu bakal kayak gini?" tanya Alvian, membuka obrolan dengan nada datar.

Pria itu menyimpan ponselnya ke saku celana dan menatap Xellan yang duduk cukup jauh darinya. Namun, Xellan hanya diam, fokus pada layar laptopnya, jarinya sibuk mengetik tanpa menoleh sedikit pun.

“Apakah 19 tahun belum cukup?”

“Gue gak pernah suka ama lo, dan gak bakal pernah bisa suka ama lo. Gue mohon mengertilah, jangan maksa gue terus,” Xellan mengalihkan pandangannya ke Alvian, wajahnya menunjukkan rasa kesal yang tak bisa lagi ia sembunyikan.

“Apa yang kamu inginkan? Aku bisa kasih semuanya,” jawabnya dengan nada tajam, merasa terus diganggu tanpa henti.

Alvian mendekat, tetap teguh dengan sikapnya, namun Xellan tetap tidak bergeming.

“Tidak semuanya bisa lo kasih, Alvian. Jangan bersikap egois. Semua orang berhak memilih, dan gue nggak mau pilih lo. Gak selamanya apa yang lo inginin bisa lo dapetin. Belajar untuk menerima kenyataan.” Sebisa mungkin, Xellan menahan emosinya, meskipun suara di hatinya terus bergemuruh.

“Kenapa? Karna Jovicca?” tanya Alvian, nada suaranya berubah menuntut jawaban, ingin tahu apa alasan di balik penolakan itu.

Xellan menarik napas panjang, menatap Alvian dengan mata penuh kebingungan. “Kamu dengar sendiri kan tadi? Dia nggak peduli sama pernikahan ini. Kami nggak saling mencintai. Malah sebaliknya, kita yang saling mencintai,” lanjut Alvian, mencoba meyakinkan Xellan, berharap ada celah bagi dirinya untuk bisa mendapatkan kesempatan.

Namun, Xellan tidak bisa lagi menahan diri. Suaranya meninggi, penuh amarah yang sulit dibendung. “Gue udah bilang. Gue nggak suka sama lo, apalagi cinta, Alvian!!”

Untung saja, tidak lama setelah perdebatan itu, Jovicca keluar dari kamar dengan koper di tangannya.

"Gue udah siap. Lan, gue tinggalin beberapa baju gue di lemari ya, mungkin gue bakal sering nginep nanti," katanya sambil tersenyum.

Xellan membalas dengan senyuman ringan, meski ada kesedihan yang terpendam di balik kata-katanya, "Harus dong, masa gue dibiarin tinggal sendiri."

Kalau boleh, Xellan tidak ingin berpisah dari Jovicca. Sepertinya, kesepian sudah mulai menyelimuti hati wanita itu. Tak ada lagi orang yang akan menemaninya berbicara, bercanda, atau sekadar mendengarkan. Semua terasa begitu hampa. Namun, meski hatinya berat, Xellan tahu dia tak bisa memaksa Jovicca untuk tetap tinggal. Itu sudah menjadi pilihan sahabatnya.

Jovicca sibuk berpamitan dengan Xellan, berbicara seolah-olah sahabatnya akan pergi ke luar negeri dalam waktu lama. Sementara itu, Alvian yang mulai bosan dengan situasi itu memilih untuk keluar lebih dulu, membawa koper berisi barang-barang Jovicca.

Setelah memastikan Alvian dan sahabatnya menghilang di balik tembok, Xellan berdiri di tengah ruang kosong yang kini terasa begitu sepi. Dia merogoh saku celana dan mengeluarkan ponselnya. Tanpa ragu, dia mengirim pesan singkat pada orang di sebrang sana.

[Aku ingin bertemu, datang ke apartemenku sekarang.]

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!