BAB 7

“Terus lo tau? Dia ngancem gue lagi. Cowo apaan ngancem-ngancem cewe,” gerutu Jovicca, wajahnya merah padam, menahan kekesalan yang rasanya sudah meledak.

“Ngancem?” tanya Xellan, matanya melebar karena terkejut. Ia mendekat, mencoba mencari tahu lebih lanjut tentang apa yang sedang terjadi.

Jovicca menganggukkan kepalanya dengan ekspresi yang lebih gelap, kedua tangannya terlipat di depan dada, tanda ketidakpuasan yang jelas. "Iya, dia ngungkit nama Argos. Gue bingung deh, dia tau tuh orang dari mana sih? Setau gue, semua masa lalu itu udah ditutup rapet sama Argos, masa Alvian bisa tau?"

Xellan terdiam sejenak, matanya menajamkan pandangan kepada Jovicca, lalu dia tersenyum tipis, meskipun ada kekhawatiran yang menyelinap di matanya. "Lo lupa, suami lo kan bukan orang sembarangan," jawabnya, sedikit bercanda namun tetap penuh arti.

Jovicca mendengus, matanya berputar sejenak sebelum memandang Xellan dengan tatapan penuh kebingungan. "Gue ngerti. Alvian emang bukan orang sembarangan, gue tau itu. Tapi... ngapain dia mesti ngungkit-ngungkit Argos ke gue? Dia pasti tau gue nggak akan bisa nahan emosi kalau itu tentang masa lalu," katanya dengan suara datar, tapi ada nada kesal yang tak bisa disembunyikan.

Xellan tertawa pelan, meski itu hanya untuk meredakan ketegangan di udara. "Gue pikir, dia tahu cara mainin lo," katanya, duduk kembali di dekat Jovicca. "Maksud gue, Alvian itu licik. Dia nggak akan main kasar kalau nggak ada tujuannya."

Jovicca menghela napas panjang, merasakan beratnya masalah yang menghadapinya. Namun, saat matanya bertemu dengan tatapan Xellan, ia merasa sedikit lebih tenang. Xellan selalu punya cara untuk membuatnya merasa sedikit lebih baik, meskipun tak ada jawaban pasti yang bisa diberikan.

"Argos... apa mungkin dia masih punya hubungan sama Alvian?" tanya Jovicca, mencoba memikirkan kemungkinan yang semakin membuatnya bingung. “Gue rasa nggak, kan semua itu udah lama banget. Tapi kenapa Alvian bisa tau?"

"Lo tau kan, masa lalu itu selalu punya cara buat kembali," jawab Xellan dengan santai, mencoba mengalihkan perhatian Jovicca dari kecemasan yang terus menghantui. “Tapi tenang aja, gue ada buat lo. Kalau lo butuh bantuin, lo tau gue selalu ada."

Jovicca tersenyum sejenak, meskipun masih diliputi oleh kebingungannya. "Gue nggak tahu harus gimana lagi. Alvian itu bukan tipe orang yang bisa ditebak," ujarnya, lalu menatap sahabatnya dengan rasa terima kasih yang tulus. "Tapi gue bersyukur banget punya lo, Lann."

Xellan tersenyum lebar, dan dengan konyol mengedipkan mata. "Gue tahu kok, Lo nggak akan bisa hidup tanpa gue," candanya, membuat Jovicca terkekeh meskipun masalahnya belum selesai.

Sahabat sejati, seperti Xellan, selalu tahu cara membuat Jovicca merasa sedikit lebih ringan, meskipun beban yang ada tetap sama.

***

Hari sudah berganti, kini dua wanita itu sudah bersiap dengan penampilan mereka. Xellan terlihat mengenakan baju kantor yang rapi, dengan setelan jas berwarna gelap, dipadukan dengan celana panjang yang pas. Di sisi lain, Jovi tampil anggun dalam gaun biru yang menawan, dengan desain yang lembut dan flowing. Wajah manis Jovi berseri, mengingatkan pada janji yang telah dia buat dengan Renata.

“Ayo, gue antar,” kata Xellan, setelah mereka keluar dari lift.

“Ayayy, Kapten,” jawab Jovi sambil menggandeng tangan Xellan.

Mereka berjalan menuju Range Rover Evoque yang terparkir. Mobil mewah berwarna putih itu memancarkan kesan elegan dengan desain ramping dan grille depan yang tajam, siap membawa mereka ke tempat tujuan.

Jovicca masih terdiam, sulit untuk percaya dengan penjelasan Xellan yang mengatakan bahwa mobil itu adalah hadiah dari saudara jauhnya. Jovicca tahu betul bahwa Xellan tumbuh tanpa keluarga, sama sepertinya. Jadi, dari mana tiba-tiba ada saudara yang memberi hadiah semahal itu?

Ada banyak hal yang terasa janggal, terutama tentang bagaimana Xellan bisa begitu mahir mengendarai mobil. Bukankah dulu, di desa, mereka tidak pernah merasa perlu naik mobil? Semua terasa misterius, seperti ada banyak rahasia yang disembunyikan oleh sahabatnya itu.

Namun, Jovicca tidak ingin memaksa. Dia tahu, sahabatnya butuh waktu. Xellan akan terbuka ketika dia siap, dan Jovicca tidak ingin mempercepat proses itu. Bagi Jovicca, sahabat sejati adalah yang bisa menghargai ruang dan waktu. Dia akan menunggu, sambil berharap Xellan suatu hari akan menceritakan kisah yang belum sempat diungkapkan.

‘Ada waktunya lo bakal jujur dengan sendirinya, Lan.’

Perjalanan mereka semakin lama karena kemacetan yang tak kunjung reda dan lampu merah yang terus menyala. Tapi meski demikian, Jovicca tak berhenti berbicara, ocehannya mengalir seperti biasa, penuh canda dan cerita yang membuat perjalanan terasa lebih ringan.

Dia tahu, sahabatnya butuh teman, dan Jovicca akan selalu ada, menemani setiap langkah dengan sabar, seiring waktu yang berjalan.

Tepat saat pintu mobil tertutup, kaca pintunya terbuka sedikit, memperlihatkan wajah Xellan yang menatap Jovicca dengan tatapan lembut. “Telepon kalau mau dijemput, Jov,” katanya, dengan suara terdengar penuh perhatian.

“Iya. Lo hati-hati,” jawab Jovicca, tersenyum.

“Kirim salam buat Tante Renata. Gue pergi dulu,” Xellan melambaikan tangan dan mulai menggerakkan mobilnya, meninggalkan Jovicca yang membalas dengan anggukan.

Setelah mobil Xellan mulai menjauh, Jovicca berbalik, melangkah menuju gerbang rumah mewah yang kini tampak semakin dekat.

Rumah itu berdiri megah dengan nuansa putih yang elegan, dikelilingi taman dengan bunga-bunga berwarna cerah yang menambah kesan anggun. Dinding rumah yang terbuat dari marmer putih bersih berkilau di bawah sinar matahari, sementara desain minimalis namun mewah terlihat pada setiap detail arsitekturnya. Pintu depan rumah besar dengan ukiran halus, memberikan kesan pertama yang tak bisa diabaikan, rumah ini penuh dengan kesempurnaan dan kemewahan.

Jovicca membunyikan bel, dan tak lama kemudian, pintu terbuka perlahan. Seorang wanita paruh baya muncul di baliknya.

Wajahnya cantik, meski usianya telah mencapai lima puluh lebih. Rambutnya yang masih hitam, meski ada sedikit uban di sisi pelipis, terurai rapi, memberi kesan anggun. Wajahnya yang tirus dan dihiasi garis halus di sekitar mata dan bibir tetap memancarkan pesona muda. Matanya yang cerah dan ekspresif, memancarkan kehangatan dan kecerdasan. Meski usianya bertambah, kecantikannya tetap abadi, seakan waktu tak pernah mengubahnya.

"Ah, Jovicca! Senang melihatmu," katanya dengan senyum ramah, membuka pintu lebih lebar untuk menyambut tamunya.

“Sama siapa tadi ke sini?” tanya Renata yang dibalas anggukan oleh Jovicca.

“Jovi sama Xellan, Tante.”

“Xellan mana?” tanya Renata mencari wanita itu di belakang Jovi.

“Dia langsung pergi ke kantor Tan, soalnya macet. Kata Xellan kapan-kapan dia bakal mampir.” Renata mengganggu dan mempersilahkan Jovi masuk.

“Yaudah kamu duduk di sini ya, mau sarapan dulu?” tawar Renata yang di tolak halus oleh Jovi.

"Yaudah, kalau begitu, Tante ganti baju dulu ya," kata Renata, sambil tersenyum. Jovi hanya mengangguk pelan, matanya mengikuti gerak tubuh Tante yang langsung melesat menuju lantai dua.

Mendengar bunyi notifikasi dari ponselnya, Jovicca segera merogoh tas dan mengeluarkan benda berbentuk persegi panjang itu. Sebuah senyum tipis muncul di wajahnya saat membaca pesan dari Xellan.

^^^[Aku sudah sampai. Kalau pulangnya mau di jemput, telepon aku ya.]^^^

[Cepet banget kamu sampainya. Nanti aku telepon kalau minta di jemput. Tapi kayanya aku bakal di anter sama Tante deh. Kamu semangat ya kerjanya.]

Cukup lama Jovicca sibuk dengan ponselnya, dia mulai merasa jenuh. Dia pun bangkit dan berjalan keliling ruangan sebentar, berusaha mengusir rasa bosan yang mulai menguasainya.

Ketika melewati ruang tamu, matanya tertuju pada beberapa foto yang terpajang di dinding. Perhatian Jovicca yang terfokus pada satu gambar. Foto itu menunjukkan empat anak, dua laki-laki dan dua perempuan. Jovi yakin salah satu anak laki-laki itu adalah Alvian.

Jovicca pun terdiam sejenak, mencerna gambar itu. Dia tahu suaminya memiliki satu abang dan satu adik perempuan. Lalu, siapa gadis manis yang berdiri di tengah foto itu? Apakah dia juga bagian dari keluarga?

Karena terlalu fokus melihat foto di tangannya, Jovi sama sekali tidak menyadari Renata sudah turun mengenakan gaun hijau muda yang elegan.

Renata melangkah dengan tenang mendekati Jovi, tas hitam di tangan kanannya, dan berdiri di sampingnya.

"Itu foto Alvian sama saudaranya," ujar Renata dengan suara lembut, memecah konsentrasi Jovi.

Jovi tersentak, baru sadar kalau Renata sudah ada di sampingnya. "Eh… Tante udah siap? Kapan turunannya? Jovi nggak sadar."

Renata tersenyum ringan. "Baru aja."

"Yuk berangkat, udah jam 8, nanti malah macet di jalan," ajak Renata, sambil menatap mata Jovi dengan senyuman yang menenangkan.

“Tante… Jovi mau tanya, setahu Jovi Tante punya tiga anak, terus anak perempuan ini siapa?” tanya Jovi ragu, perasaan ingin tahunya sangat kuat.

Jovi merasa ada sesuatu yang belum ia ketahui, dan keinginan untuk memahami foto itu menguat di hatinya.

Renata mengelus rambut Jovi dengan lembut, mencoba menenangkan kekhawatiran yang mulai muncul di wajah menantunya.

Matanya kembali tertuju pada foto di tangan Jovi, dan dengan suara yang sedikit bergetar, ia mulai menjelaskan, "Paling kanan itu Alvian, di sampingnya Harmony, anak perempuan Tante. Sedangkan ini Joccasta, sahabat Harmony yang sudah diangap saudara sama mereka. Ini Zean, anak laki-laki Tante yang paling tua."

Ketika Renata mengelus pipi Zean yang ada di dalam foto, matanya mulai berkaca-kaca. Tetesan air mata perlahan turun melewati pipinya, menandakan kesedihan yang dalam dan kenangan yang tak terlupakan. Jovi yang melihat itu, merasa hatinya ikut tergerak.

Tanpa berpikir panjang, ia merangkul Renata dengan satu tangan, sementara tangan kanannya tetap menggenggam erat bingkai foto. Jovi merasakan campuran antara rasa iba dan kebingungan, mencoba memberikan kenyamanan bagi mertuanya yang sedang merasakan kesedihan mendalam.

Jovi mengetahui perihal hilangnya anak tertua mereka, juga kejadian silam yang membuat hubungan Alvian dengan kedua orang tuanya menjadi rusak.

Tidak ingin larut dalam kesedihan, Renata melepas tangannya dari foto itu dan memilih melihat wajah manis menantunya. “Ayo pergi sekarang, udah siang.”

Jovi mengangguk dan meletakkan kembali bingkai foto itu. Tanpa berkata apa-apa, ia menggandeng tangan Renata layaknya anak yang tengah bersikap manja pada ibunya, dan mereka berjalan beriringan menuju teras depan rumah.

Renata yang rindu dengan anak-anaknya, dan Jovicca yang merindukan kasih sayang seorang ibu. Keduanya saling membutuhkan, meski tak selalu diungkapkan dengan kata-kata.

Terpopuler

Comments

Rey

Rey

Veron milih amannya aja😁

2024-02-07

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!