BAB 10

Selesai dengan urusan kotak bekal, Jordan juga Jovicca duduk bersama untuk makan malam sambil berbincang ringan. Dan di sinilah mereka sekarang, di sebuah kafe yang memiliki desain estetik, memadukan gaya modern dengan sentuhan vintage yang memikat.

“Kenapa Anya gak jujur aja? Kalau dia jujur, kan misinya bakal selesai lebih cepat,” ucap Jovicca, memulai obrolan mereka sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.

Ternyata, mereka punya hobi yang sama, menyukai anime. Saat ini, mereka sedang membahas salah satu anime tentang seorang anak kecil berusia 6 tahun yang memiliki kemampuan telepati untuk membaca pikiran orang lain.

“Kalau Yor atau Loid tahu, mungkin mereka bakal merasa dikhianati atau bingung. Hal ini bisa bikin hubungan mereka tegang, karena dunia mereka terlalu berbeda, dan mereka bergantung pada rahasia masing-masing untuk melindungi identitas mereka,” jawab Jordan dengan santai. Wajahnya tetap tenang, dengan tatapan matanya yang lembut namun penuh keyakinan.

Sebuah senyum kecil menghiasi bibirnya, seolah dia menikmati diskusi ini sekaligus ingin menggoda pikiran Jovicca. “Mungkin Anya udah ngerti soal itu, makanya dia memilih untuk gak jujur.”

“Tapi kalo mer—”

“Jov.”

Jovicca berhenti berbicara saat mendengar namanya dipanggil. Suara itu terdengar lebih dalam dan tegas, membuat Jovicca secara refleks mengalihkan pandangannya.

Senyum manis menghiasi bibir Jovicca. “Lan, lo udah balik? Tumben cepet baliknya,” ucapnya dengan nada ceria, seolah tak menyadari perubahan suasana.

Xellan berdiri tak jauh dari mereka, namun raut wajahnya terlihat tidak menyenangkan. Rahangnya mengeras, kedua alisnya bertaut tajam, dan tatapannya menyiratkan amarah yang mendidih. Matanya tak lepas dari Jordan, penuh dengan kekecewaan dan rasa tidak suka yang jelas terbaca. Bibirnya menipis, seakan menahan diri untuk tidak meluapkan emosinya di tempat itu.

Sementara itu, Jordan hanya menanggapinya dengan senyuman kecil yang begitu santai, namun sarat dengan rasa meremehkan. Senyum itu terangkat sedikit di salah satu sudut bibirnya, memberikan kesan bahwa dia sengaja memancing emosi Xellan. Tatapannya tajam, namun tetap tenang, seperti menantang Xellan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Xellan yang tak bisa lagi menahan diri akhirnya melangkah cepat mendekati Jovicca. Dengan gerakan tegas, dia menarik tangan Jovicca. “Kita pergi sekarang,” katanya dingin, mencoba menyembunyikan perasaannya yang campur aduk antara kesal, marah, dan takut.

Tanpa menunggu jawaban Jovicca, dia menariknya menjauh dari Jordan, sementara senyuman Jordan tetap bertahan, seperti sebuah kemenangan kecil dalam diam.

“Loh, mau ke mana, Lan? Gue udah pesen makanan. Kita makan malam di sini aja,” ucap Jovicca sambil mencoba menahan tarikan tangan Xellan. Ekspresinya menunjukkan kebingungan sekaligus keengganan untuk meninggalkan tempat itu.

“Vicca benar, Nona. Kenapa kita tidak makan bersama?” Suara berat Jordan menyela, terdengar santai, namun cukup untuk memancing emosi Xellan. Nada bicaranya terdengar seperti sebuah tantangan terselubung.

Xellan mendengus pelan, berusaha menahan diri. “Gue mau makan di apartemen, Jov,” ujarnya dingin, tatapannya tak beralih sedikit pun dari Jordan.

“Tapi…,” Jovicca mencoba membantah, namun berhenti ketika melihat wajah Xellan yang sama sekali tidak bersahabat. Dia menarik napas dalam, memilih untuk mengalah. “Baiklah,” jawab Jovicca, suaranya terdengar lemah dan sedikit kecewa.

Dengan malas, Jovicca berjalan mengambil paper bag yang ada di atas meja, lalu menoleh ke arah Jordan. Senyum itu kembali menghiasi wajahnya, meski terlihat lebih formal kali ini. “Mungkin kita bisa makan malam lain kali. Terima kasih ya untuk hari ini,” katanya dengan nada tulus.

Jordan tersenyum tipis dan menganggukkan kepala sebagai balasan, gesturnya tenang seolah tidak terpengaruh oleh situasi.

Di depan, Xellan berdiri mematung, tatapannya tajam menusuk langsung ke mata Jordan, penuh dengan emosi yang bergejolak. Namun, Jordan tidak menunjukkan reaksi apa pun selain ketenangan yang hampir menyebalkan.

Mata Jordan kemudian kembali mengikuti punggung Jovicca yang berjalan keluar dari kafe bersama Xellan. Sosoknya tampak kecil di bawah sorotan lampu redup kafe, meninggalkan dirinya sendirian di tengah keheningan yang aneh.

Senyum miring perlahan terlukis di bibirnya, menciptakan aura misterius yang memancing tanya. “Menarik,” gumamnya pelan, suara itu terdengar seperti sebuah janji akan babak baru yang lebih rumit.

***

Sepanjang perjalanan, Jovicca hanya diam, sibuk memikirkan apa yang sebenarnya terjadi antara Xellan dan Jordan. Tatapannya tertuju pada pintu lift, namun pikiran wanita itu melayang pada kejadian di kafe tadi.

Dia menyadari ketidaksukaan Xellan terhadap Jordan, tapi tidak mengerti alasannya. Bukankah ini adalah pertemuan pertama mereka? Apa yang membuat Xellan terlihat begitu marah dan tidak nyaman?

“Lo kenapa? Mukanya ditekuk mulu, awas cepet keriput, loh,” ucap Jovicca sambil melirik Xellan, mencoba mencairkan suasana yang kaku di antara mereka.

“Jauhin cowok itu, Jov,” jawab Xellan tegas, tanpa menoleh.

Jovicca mengerutkan dahinya, bingung dengan peringatan yang terdengar begitu serius itu. Apa masalah Xellan dengan Jordan sebesar itu? Kenapa Xellan terlihat begitu membenci Jordan? Apakah mereka sudah saling kenal sebelumnya? Atau ada sesuatu yang Jovicca tidak tahu?

Banyak pertanyaan berkecamuk di kepala Jovicca, mencoba mencari alasan atas sikap aneh sahabatnya. Namun, dari sekian banyak pertanyaan itu, hanya satu yang akhirnya keluar dari bibir Jovicca. “Kenapa?”

Tidak ada jawaban. Xellan hanya diam, langkahnya tetap tegap menuju apartemen mereka, seolah pertanyaan itu tak pernah ada.

“Lan, jawab gue elah,” desak Jovicca, kali ini dengan nada lebih serius.

Namun, sahabatnya tetap bungkam. Wajahnya datar, tapi sorot matanya tajam, seperti memberi peringatan tanpa kata. Keheningan ini membuat Jovicca semakin frustrasi, tapi dia tahu bahwa memaksa Xellan hanya akan membuat wanita itu semakin menutup diri.

Sampai mereka akhirnya masuk ke dalam apartemen, Xellan berhenti. “Nanti gue kasih tau, tapi bukan sekarang,” ucapnya dingin dengan nada tegas namun menyiratkan sesuatu yang lebih berat. “Intinya lo harus jauhin dia.”

Jovicca mengerutkan keningnya, bingung sekaligus kesal dengan jawaban yang terasa menggantung. Namun, dari sorot mata Xellan, dia tahu bahwa peringatan itu bukan sekadar omong kosong. Ada sesuatu yang tidak dia mengerti, sesuatu yang membuat Xellan begitu bersikeras melindunginya dari Jordan.

Bukan itu jawaban yang diinginkan Jovicca, tapi dia memilih untuk tetap diam. Tatapannya tertuju pada punggung Xellan yang mulai menjauh ke arah kamar. Rasa tidak nyaman merayap di dadanya. Makin ke sini, Jovicca merasa sahabatnya itu semakin berubah.

Dia menyadari, sebenarnya dia tidak tahu banyak tentang Xellan. Yang dia tahu, mereka berdua sama-sama anak yatim piatu, dan itulah yang membuat mereka dekat sejak awal. Tapi, sejak mereka pindah ke kota ini, Xellan menjadi sosok yang berbeda. Semakin banyak rahasia yang disimpan wanita itu, semakin sulit pula bagi Jovicca untuk benar-benar memahami siapa Xellan sebenarnya.

Lama-lama, Xellan terasa seperti orang asing. Dingin, penuh rahasia, dan sulit untuk didekati. Bukan lagi sahabat yang dulu selalu terbuka padanya.

“Lan, lo kenapa?” gumam Jovicca pelan, seolah berharap Xellan mendengar dan menjawab, meski tahu itu tidak akan terjadi.

Dia menghela napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya. Bagaimanapun, Jovicca tahu, memaksa atau menekan Xellan hanya akan membuat semuanya lebih rumit. Dia percaya, suatu saat Xellan pasti akan terbuka padanya. Dia hanya perlu bersabar. Tapi, semakin lama, rasa penasaran itu semakin sulit untuk diredam.

“Gue mau masak dulu ahh,” gumam Jovicca sambil berjalan ke dapur, meraba bahan-bahan yang ada dengan kesal.

Sudah tiga puluh menit dia berkutat dengan peralatan dapur, Laper nih, Xellan juga ngajak pulang sebelum makan. Padahal lumayan tadi bisa makan gratis,” ucapnya.

Jovicca menggerutu kesal, tangan itu sibuk memotong bawang dengan cepat, seakan setiap irisan adalah pelampiasan emosinya. Pisau yang ia pegang terkadang terjauh sedikit dari arah yang seharusnya, membuat bawang yang dipotong tak rata. Bibirnya komat-kamit, matanya memicing seakan mengutuk suara bell yang mengganggu. Sesekali, ia mendengus, memiringkan kepala, dan melanjutkan tugasnya dengan cepat, berusaha mengalihkan perhatian dari kekesalan yang semakin menumpuk.

Jovicca dikejutkan dengan uara bell apartemen yang cukup nyaring. “Siapa yang datengin sih?” ujarnya, terkejut.

Namun, belum cukup dengan bunyi bell, orang di luar malah menggedor-gedor pintu tanpa henti. Suara itu membuat emosi Jovicca mulai terpancing. “Sabar kek, jadi orang kaga sabaran banget,” keluhnya, kesal.

“Udah, gue aja yang buka, lo lanjut masak sana,” ucap Xellan, yang baru keluar dari kamar dengan rambut basah, menandakan dia baru selesai mandi.

Begitu pintu terbuka, Xellan langsung terhenti. Wajahnya seketika berubah, ekspresi datarnya mendadak pecah. Matanya membelalak lebar, seakan dunia sekitarnya tiba-tiba berhenti berputar. Napasnya sesak, seolah ada beban berat yang menjatuhkan dada.

Alvian berdiri tegak di depan pintu apartemen mereka. Wajahnya tidak memperlihatkan emosi, tapi bagi Xellan, tatapan itu terasa seperti kilat yang menyambar. Tubuhnya kaku, seperti tak mampu bergerak, meski seluruh tubuhnya bergetar hebat.

Sesaat Xellan hanya bisa menatap lelaki itu, terjebak dalam kebingungannya. Semua kata-kata yang ingin keluar dari mulutnya terasa tertahan di tenggorokan, seolah ia ingin mengakui kehadiran Alvian yang begitu mengganggu.

Tiba-tiba, lelaki dengan wajah dingin itu memeluknya dengan erat, seperti cengkraman maut yang tak memberi ruang untuk kabur. Xellan benar-benar terkejut, bahkan karena panik detak jantungnya terasa seperti berhenti sejenak.

‘Bagaimana bisa cowok dingin ini, dengan santai memeluknya? Apakah dia gila? Dia tahu betul, Jovicca ada di dalam, dan situasi ini bisa menjadi bencana.’

“I miss you,” bisik Alvian dengan suara serak tepat di depan telinga Xellan, suara itu seperti gurauan beracun yang menyusup ke dalam pikirannya.

Tubuh Xellan terasa kaku, dan udara yang masuk ke paru-parunya terasa semakin sesak, seperti terjebak dalam ruang yang tak bisa dia keluarkan.

Xellan berusaha melepaskan diri, namun pelukan itu seperti terbuat dari besi, tak memberi sedikit pun kesempatan untuknya bergerak. Panik semakin mencengkeram hatinya, seperti cengkraman yang lebih kuat dari apapun yang pernah dia rasakan. Apakah ini awal dari petaka yang tak bisa dia hindari?

Terdengar suara Jovicca dari dalam apartemen, “Lan, siapa yang datang?”

Xellan merasa dunia di sekelilingnya terbalik. Suara itu seperti petir yang mengguncang jantungnya. Setiap detik terasa lebih lama, seperti waktu yang melambat, dan ketakutan yang menyelubungi dirinya semakin membekap seluruh tubuhnya.

Terpopuler

Comments

Anyelir

Anyelir

ceritanya gk jelas, pemrn utama xallen at alvian🤮🤮🤮ang ang

2024-12-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!