Pecah sudah tangisan Tari, bahkan suaranya cukup keras, ia sudah tidak menghiraukan tatapan tatapan tetangganya, ia terus meraung dalam pelukan hangat sang Ibu. Hanya sang Ibu yang ia butuhkan saat ini, ketika ia hancur seperti ini.
Sang Ibu terus mengelus elus punggung putrinya sambil sesekali mengusap kasar air mata yang kembali jatuh, luka itu masih menganga lebar, kehilangan teman hidup, teman yang menemaninya lebih dari dua puluh tahun, kini wujudnya sudah tidak bisa ia gapai lagi.
Berharap Ibu Ambar kuat memikul beban tanggung jawabnya sekarang menjadi seorang Ibu sekaligus Ayah untuk ketiga putri mereka yang hingga kini belum ada yang menikah.
" Sudah sudah, minum dulu." Ujar Ibu Tari seraya mengambil segelas air yang baru saja di sodorkan oleh salah satu Ibu tetangga mereka.
Keadaan duka masih menyelimuti keluarga Tari, para tetangga juga masih banyak yang berkumpul di belakang. Sementara di depan sana sedang di adakan acara tahlilan oleh para santri.
" Kenapa tidak ada yang mau nunggu Tari pulang dulu sebelum Ayah di kubur Bu.." Cecarnya sesenggukan, dadanya terasa sesak sekali karena tidak sempat melihat jenazah sang Ayah untuk terkahir kalinya.
" Kenapa tidak ada yang kasihan dengan Mbak, Mbak hanya ingin melihat untuk yang terakhir kalinya.." Decak Tari lagi menahan rasa sesak juga sesal di dada.
" Sudah yang tenang, sabar." Sang Ibu mencoba menenangkan putri sulungnya yang nampak emosi.
" Pak Poh Mbak yang nyuruh segera di kubur saja, katanya kasihan kalau lama lama." Sungut Mira yang sudah duduk di belakang mereka.
" Iya, padahal Bulan juga ingin mengambil foto Ayah untuk yang terakhir kalinya, tapi aku malah di marah marahin, dasar!" Timpal Adik Tari bernama Bulan yang paling kecil.
" Sudah sudah, doakan saja Ayah kalian supaya tenang disana." Masih lembut suara sang Ibu menasehati anak anak juga keponakannya, antara marah juga sedih secara bersamaan.
Tak lama para tetangga pamit pulang, para santri yang Tahlil juga sudah pulang setengah jam yang lalu. Kini tinggal para inti keluarga saja yang masih berkumpul.
Tari tidak sengaja melihat Neneknya masih duduk meringkuk di kursi dapur, ia pun mencoba melangkah kesana untuk memastikan.
" Nek, ayo tidur." Ajaknya dengan suara lembut, seraya memegang bahu sang Nenek yang sudah ringkih itu.
Lama membujuk akhirnya sang Nenek pun bangkit, ternyata wajahnya sudah sembab, matanya bengkak pasti sedari pagi sudah menangis terus.
Tak ayal Tari pun kembali menangis melihat itu. Kepergian sang Ayah meninggalkan banyak luka semua anggota keluarganya. Termasuk sang Nenek yang ternyata menyayangi sang Ayah yang hanya memiliki perbedaan usia hanya beberapa tahun saja.
Ya Ibu Tari menikah di usia yang sangat belia belum genap dua puluh tahun, sedangkan Ayahnya waktu itu sudah kepala tiga.
" Kenapa bukan Nenek saja yang di panggil lebih dulu, kalian belum ada yang menikah. Lalu bagaimana Ibumu nanti bisa menikahkan kalian bertiga, kasihan sekali putriku Ambar.." Lirih sang Nenek menatap iba ke arah putri keduanya Ambarwati yang baru saja melewati mereka dan pergi ke kamar mandi.
" Nek ini sudah takdir dari yang di atas, mau bagaimana lagi, Nenek harus ikhlas juga." Ujar Tari yang diri sendiri belum bisa menerima kepergian sang Ayah.
Malam ini Tari tidur bersama Neneknya di kamar, sementara sang Kakek tidur di karpet depan televisi. Kedua Adik sepupunya sepertinya tidur di kamar Adik Adiknya entah sudah tidur atau belum, sebab Tari sendiri masih terjaga walau sudah di peluk sang Nenek.
Pagi menjelang, terdengar kesibukan di area dapur, karena malam ini adalah tiga harinya sang Ayah. Tari sibuk berbenah pakaian yang ada di koper karena tidak ingin berlarut larut, tak lama Adiknya yang besar masuk dan duduk di sebelahnya.
" Padahal semalam pukul sembilan Ayah masih sangat sehat, bahkan aku meminta nama untuk anak temanku yang baru saja melahirkan. Namun siapa yang sangka kalau akhirnya Ayah pergi secepat ini, tidak ada tanda tanda akan ada perpisahan sama sekali." Lirih Aya membuat pergerakan Tati terhenti.
" Apa hanya aku saja yang di datangi lewat mimpi? Hari kamis malam aku mimpiin Ayah, dan untuk kedua kalinya aku mimpi Ayah sedang tidur. Yang pertama dulu Ayah tidur di depan perapian, yang kedua kemarin Ayah tidur di bangku panjang namun banyak sekali orang orang entah siapa saja, aku ceritakan ke temanku, katanya Ayahmu panjang umur, namun ternyata.." Dua kristal bening kembali menetes di pipi saat Tari bercerita.
" Sudah acara sedihnya, Aya tolong bantuin Ibu di belakang ya." Sang Ibu tiba tiba sudah berdiri saja di depan pintu kamar, setelahnya kembali berlalu.
" Mbak Ibu kemarin pagi itu pingsan saat sebelum memandikan Ayah." Ujar Aya sebelum beranjak keluar.
Ucapan Aya sebelum pergi tentunya membuat Tari terkejut, memang selama ini Aya dan Ibu Ambar lah anggota keluarganya yang sering pingsan entah karena apa. Sedangkan dirinya rasa pingsan itu seperti apa ia tidak tahu, karena belum pernah sama sekali.
*
Setelah tujuh hari berkabung, kini semua kembali ke rutinitas masing masing. Tentu saja kesedihan masih menyelimuti Tari sekeluarga.
Mendengar sang Ibu sempat pingsan, dada Tari ikut tercubit. Di tambah cerita dari Adik juga Ibunya kalau Ayahnya tidak sakit sama sekali, bahkan baru makan habis sepiring minta tambah lagi.
Yang membuat Tari merasa janggal kenapa di dada Ayahnya ada lingkaran hitam? Apakah serangan jantung? Tapi Ibu Ambar mengatakan jika dadanya tidak sakit, justru Ayahnya mengeluh perutnya yang sakit dan minta di kerok malam itu.
Ingatannya kembali saat terakhir kali Tari dan sang Ayah berkomunikasi lewat panggilan telepon. Ayahnya menyuruhnya pulang katanya apa tidak rindu dengan Ayah dan Ibu? Tari pun menjawab jika lebaran pasti akan pulang.
Namun siapa sangka, bulan ramadhan hanya tinggal menghitung hari sang Ayah sudah lebih dulu di panggil sang Ilahi, rasanya menyesal pun percuma karena sang Ayah tidak akan kembali lagi begitu pikir Tari.
Pagi ini Adiknya Aya juga sudah kembali bekerja bersama Adik sepupunya Mira yang kebetulan tempat kerja mereka berhadapan di dekat pasar sana.
" Ibu nggak pergi kerja?" Tanya Tari saat melihat Ibunya justru sibuk mencuci pakaian yang terakhir Ayahnya kenakan.
Melihat Ibunya menggeleng, membuat Tari sedikit terusik " Sini biar Tari saja yang lanjutin nyucinya." Dengan gerakan cepat ia membilas pakaian yang sudah di giling di mesin cuci.
Namun baru satu gerakan, Tari terhenti karena teringat jika mesin cuci ini adalah hadiah dari motor yang ia beli bersama Ayahnya dulu. Rasanya setengah jiwanya ikut pergi bersama sang Ayah.
" Sudah kamu ke dalam aja. " Seolah sadar apa yang tengah putrinya itu pikirkan, Ibu Ambar menyuruh putrinya masuk ke rumah.
Sebab beliau sendiri memilih mencuci agar tidak lagi larut dalam kesedihan terus menerus. Dan rencananya beliau juga akan mengundurkan diri dari pekerjaannya karena tidak siap jika para teman temannya sesama pekerja akan menanyakan pertanyaan yang pasti sama tentang sebab kematian sang suami secara mendadak, dan tentunya putri putrinya tidak ada yang ia beri tahu.
" Nggak, aku mau bantuin Ibu saja." Tolaknya yang kini sudah kembali membilas pakaian pakaian lalu ia masukkan ke dalam bak besar yang sudah di tuangi pewangi.
Ibu dan anak itu pun mencuci bersama dalam diam, dengan pikiran masing masing. Tari tidak mungkin diam saja di rumah. Kalau dia menganggur, lalu bagaimana caranya ia harus bantuin sang Ibu untuk acara empat puluh harinya sang Ayah.
Aku harus segera mencari pekerjaan, nanti aku tanya Aya, mungkin saja dia tahu kalau ada lowongan di sekitar sana.
.tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments