Pesawat sudah terbang di antara awan awan putih sejak setengah jam yang lalu, seharusnya Tari menikmati perjalanannya.
Tetapi gadis itu bahkan tidak bisa menghentikan air matanya yang terus saja mengalir, sembari membacakan surah yasin yang entah ke berapa kalinya di bacanya berulang ulang. Beruntung tempat duduknya di samping jendela, sehingga tidak ada yang melihat wajah sembabnya.
Tari juga seolah tenggelam dalam pusara dukanya sendiri, bahkan terkesan cuek tidak menghiraukan keberadaan orang yang duduk di sampingnya dan orang orang di sekitarnya yang mungkin menetapnya curiga.
" Maaf Mbak, apa Mbak sedang ada masalah?" Tanya seorang pria yang duduk di sampingnya dengan nada pelan terlihat sekali jika ia tidak tahan untuk tidak bertanya dan juga takut menyinggung gadis di sampingnya.
Bukannya reda dan segera menjawab, tangis Tari justru terdengar semakin menjadi membuat si pria muda itu kelimpungan sendiri sembari menatap kanan kirinya.
Dan benar saja, orang orang yang duduk di dekat mereka menatap curiga ke arahnya." Mas itu pacarnya di apain kok bisa menangis kenceng gitu?!" Tanya si Ibu Ibu berbadan bongsor menatap semakin curiga ke arahnya.
" Iya lho saya saja sampai hampir ikut menangis karena tangisannya terdengar nyesek sekali di dada, tanggung jawab kamu Mas!" Timpal si Ibu berjilbab merah yang tampak geram sekali.
" Lho, maaf Ibu Ibu bukan karena saya kok Mbak nya menangis, kenapa jadi saya yang harus tanggung jawab, kenal saja tidak!" Si pria menjawab dengan bingung juga sedikit panik, karena takut jika ia di salahkan di sini. Lalu ia pun menoleh ke samping tepatnya ke arah Tari." Mbak tolong jelasin dong, kalau kita tidak saling mengenal." Ujarnya sedikit keras meminta bantuan.
Tapi sayangnya Tari hanya menatapnya sekilas lalu kembali menunduk karena saking tidak bisa menahan rasa sesaknya dan juga gadis itu sebenarnya tengah menahan rasa malu.
Di lain sisi Tari ingin sekali tertawa karena membuat semua orang salah paham dan menuduh pria yang tidak salah apapun kena imbas amukan dari mereka. Namun di sisi lainnya ia saat ini sedang berduka, lukanya menganga lebar bagaimana caranya tertawa.
" Tuh, Mbaknya saja nggak mau jawab kan! Berarti kamu memang penyebabnya!" Cecar si Ibu bongsor lagi, membuat suasana semakin panas saja. Karena sebagian orang orang menatap heran juga curiga ke arah pria muda itu.
Karena sudah tidak tahan lagi, akhirnya Tari hanya bisa melambaikan tangannya ke atas, berharap semua orang tidak terus menyudutkan si pria di sampingnya.
Namun dugaan Tari salah besar, kini yang mendatanginya justru seorang pramugari yang tentu saja sangat cantik jelita, Tari mah tidak ada apa apanya di bandingkan dengan wanita yang sedang berjalan anggun ke arah bangkunya.
" Maaf Mbak ada yang bisa saya bantu?" Suaranya begitu lembut membuat si pria yang tadinya pucat pasi karena tersudutkan kini berubah tegang karena menahan napas saking grogi dengan jantung yabg tertalu talu.
Dasar jantung si4lan! Untung buatan Tuhan, kalau buatan manusia mungkin sudah lepas saking tidak kuatnya menahan debaran yang begitu kencang.
Bisik si pria dalam hati, ternyata semua pria sama saja buaya! Ada wanita cantik sudah pasti tidak berkedip saking terpesonanya.
" Tidak Kak, maaf kalau sudah membuat kericuhan. Saya sedang dalam suasana berduka, dan saya juga tidak mengenal Mas nya ini." Jawab Tari setelah memastikan tangisannya sedikit reda, sembari menunjuk teman bangkunya dengan ekor matanya.
" Baiklah, semoga Mbak nya kuat. Permisi.."
Begitu sang pramugari pergi, pria itu pun langsung meraup udara sebanyak banyaknya.
Dasar! Buaya buntung!
Sesaat Tari langsung terdiam, pikirannya mencelos. Bagaimana dengan kekasihnya sendiri yang kini bahkan hubungan mereka sudah LDR an.
Kalau masih satu pulau Dion tidak mempermasalahkan, ia bisa datang kapan saja untuk bisa bertemu. Tapi ini sudah berbeda pulau, entahlah Tari belum bisa berpikir jauh tentang hubungannya dengan kekasihnya setelah ini. Sebab semua pikirannya cuma satu semua tentang Ayahnya.
" Hufh, terima kasih Mbak." Ujar si pria merasa lega. Dan mulai detik itu si pria langsung mengunci mulutnya, karena takut kejadian yang sama terulang lagi, bahkan badannya ia condongkan ke samping menghadap ke bangku seberangnya.
Satu jam kemudian Tari sudah sampai di bandara Ibu kota negara di karenakan ia harus transit terlebih dulu. Tidak lupa ia mengirimkan pesan kepada Adiknya agar jenazah Ayahnya jangan dulu di kebumikan.
Bagaimana pun Tari hanya ingin melihat wajah sang Ayah untuk yang terakhir kalinya, atau barang kali foto terakhir, itu sudah lebih dari cukup sebagai obat rindunya selama ini tidak bisa pulang.
Setelah menunggu hampir setengah jam an, barulah ia kembali naik pesawat lagi yang akan mengantarkannya menuju Ibu kota provinsi.
Setelah pesawat mendarat dengan sempurna, Tari langsung naik ke Bus Damri, satu satunya Bus yang akan mengantarkan penumpangnya ke terminal.
Perjalanan tentu masih sangat jauh, Tari bahkan harus naik bus antar kota lagi agar bisa sampai di kota kelahirannya.
Tari perkirakan sekitar pukul empat atau lima sorean ia sudah sampai di kampung halamannya. Namun dugaannya justru meleset, Bus yang ia tumpangi justru sampai ke kotanya pukul setengah sembilan malam, karena tadi sempat muter muter di kota besar dulu sebelum pada akhirnya keluar kota.
Tari hanya bisa menjerit dalam hati, berharap bisa melihat jenazah sang Ayah. Walau dalam hatinya mengatakan jika sudah pasti sudah di kebumikan sebab hati memang sudah malam, namun siapa yang tahu nanti, Tari masih mengandalkan doa doanya.
Sudah batinnya sakit karena kepergian sang Ayah di tambah raganya letih berdiri sepanjang perjalanan karena tidak kebagian tempat duduk.
Ya sedari awal naik bus kota ia sudah berdiri, entah dalam rangka apa penumpangnya bisa penuh begini, padahal lebaran masih dua bulan lagi.
Untungnya saat bus baru memasuki kotanya tadi ia sempat mengirim pesan kepada Adiknya untuk menjemputnya di dekat pasar ternak, pemberhentian terakhir sebelum bus melaju pergi ke kota lainnya.
Dua puluh menit menunggu akhirnya Pamannya datang, Kakak kandung Ibunya dengan salah seorang tetangga yang masih kerabat mereka.
" Assalamualaikum Pak Poh." Seru Tari sembari menyalami kedua pria dewasa tersebut.
" Wa'alaikumussalam, ayo segera naik." Titah sang Paman yang terkesan tegas juga galak.
Setengah jam kemudian sampailah Tari di depan rumahnya. Para tetangga yang kebetulan sedang berada di depan rumah mereka masing masing pun tak ayal langsung menyoroti gadis itu yang nampak sudah melemas saat baru saja menginjakkan kakinya.
Bisik bisik tetangga pun mulai terdengar, walau Tari tidak menggubris mereka sama sekali, yang terpenting sekarang keadaan keluarganya di dalam rumah. Dan Tari menjuluki para tetangganya itu sebagai para wartawan.
Tari segera berlari masuk, bahkan melupakan tas juga kopernya yang masih teronggok di atas motor. Sekilas ia melihat Nenek kesayangannya duduk terdiam di dapur bersama para Ibu Ibu tetangga.
" Assalamualaikum.."
Dan begitu masuk, Tari langsung di sambut oleh wajah sembah dan pucat sang Ibu, juga Adik Adiknya. " Ibuu.."
Pecah sudah tangisan Tari, bahkan suaranya cukup keras, ia sudah tidak menghiraukan tatapan tatapan tetangganya, ia terus meraung dalam pelukan hangat sang Ibu.
Sang Ibu mengelus elus punggung putrinya sambil sesekali mengusap kasar air mata yang kembali jatuh.
" Sudah sudah, minum dulu." Ujar Ibu Tari seraya mengambil segelas air yang baru di sodorkan oleh salah satu Ibu tetangga mereka.
Keadaan duka masih menyelimuti keluarga Tari, para tetangga juga masih banyak yang berkumpul di belakang. Sementara di depan sana sedang di adakan acara tahlilan oleh para santri.
.tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments