🌿 Ini bab yang paling serius dan masih awal kemunculan konflik. Biar kalian nggak bingung jadi aku ceritakan dengan detail. Aku kan sayang sama kalian hehe, narsis amat ya aku? 🌿
.
.
.
.
Lama mereka melakukan hal gila di ruang perawatan Gibran. Sampai mereka berhenti karena mendengar suara benturan keras yang ternyata berasal dari benturan keras tubuh Gibran dengan lantai ruang perawatan.
Panik? Tentu saja kedua orangtuanya sangat panik saat melihat anak mereka jatuh dengan keras membentur lantai. Aneh? Ya, ini memang sangat aneh mengingat kejadian yang baru saja terjadi seakan memperlihatkan bahwa Gibran baik-baik saja, padahal nyatanya tidak.
"Ya Allah, Nak. Apa yang terjadi denganmu?" Ranti mendekati Gibran dan memeluk tubuh Gibran yang lemah, air matanya mengalir dengan deras melihat putrinya yang tiba-tiba kembali lemah tidak berdaya.
"Ayah, angkat Gibran ke ranjangnya!" perintah Ranti dengan bercucuran air mata, bahkan suaranya nyaris tidak terdengar karena tangisannya yang sudah mencapai puncak.
"Bantu dong, Bun. Gibran kecil-kecil begini berat juga." Satya meminta bantuan pada istrinya yang hanya menangisi kondisi Gibran saat ini.
"Iya, Ayah." Mereka berdua pun segera mengangkat Gibran dan membaringkannya di ranjang rumah sakit.
Setelah selesai, Satya segera menekan tombol pemanggil dokter sedangkan Ranti masih menangis dengan isakan kuat saat dia kembali melihat putranya yang lemah tidak bertenaga.
Hati Ranti seakan disayat oleh ribuan samurai tertajam di dunia, pikirannya kacau, jiwanya seakan hancur saat melihat putra satu-satunya terbaring lemah seperti sekarang.
"Bunda, putra kita akan baik-baik saja. Jangan menangis lagi!" Satya merengkuh tubuh istrinya ke dalam pelukannya. Sejujurnya Satya sama hancurnya dengan sang istri, namun dia tidak mungkin menunjukkan sisi lemahnya di depan istrinya yang juga lemah.
Ayah mana yang tidak akan terluka melihat putranya terluka. Gibran yang biasa bercanda dan tertawa dengannya tiba-tiba hilang begitu saja menjadi Gibran yang diam dengan kondisi yang memprihatinkan.
"Tadi dia baik-baik saja, Yah. Bahkan bejoget dengan riang tanpa ada beban tidak seperti orang sakit. Kenapa sekarang dia hanya diam saja, Yah?" Ranti semakin terisak, dia menenggelamkan wajah cantiknya di dada Satya. Napas Ranti tersengal-sengal karena isakannya membuat dia tidak bisa bernapas dengan baik.
Satya teringat dengan Bayu, dia ingin sekali melihat keadaan Bayu sekarang, namun dia tidak mungkin jika harus meninggalkan istrinya yang sedang menangis pilu di dalam pelukannya.
"Bunda, lebih baik kita berdoa agar putra kita baik-baik saja." Satya mengecup kepala istrinya dengan perasaan terluka. Air matanya ikut mengalir melihat wanita yang dicintainya itu terpuruk karena keadaan buah hati mereka.
"Yah, kita hanya punya satu putra saja. Bunda belum siap kalau Gibran pergi meninggalkan kita saat ini, Yah." Akibat kesedihan yang mendalam, Ranti sampai berpikiran jauh dan ngawur.
"Jangan pernah bicara sembarang, Bun. Gibran tidak akan meninggalkan kita, dia akan baik-baik saja." Satya berkata dengan nada tinggi karena pemikiran buruk istrinya tersebut.
"Maafkan bunda, Yah. Bunda hanya tidak sanggup melihat putra kita yang lemah seperti itu." Ranti melepaskan diri dari pelukan Satya dan sekarang dia menggenggam erat tangan Gibran yang dingin.
"Bunda, kita juga punya putra lain. Bayu itu juga putra kita, Bun. Bolehkah ayah melihat keadaan Bayu dulu? Dan Bunda tunggu di sini sampai dokter datang memeriksa keadaan putra kita!"
"Iya, Yah. Beritahu bunda tentang kondisi Bayu nanti jika Ayah kembali lagi ke sini." Ranti mengizinkan Satya untuk pergi melihat keadaan Bayu. Dan dia akan menunggu Gibran di sini.
"Iya, Bun." Dengan berat hati Satya segera keluar ruangan Gibran dan melihat kondisi Bayu yang tak kalah parah seperti Gibran.
***
Dokter segera datang ke ruangan Gibran karena panggilan tadi. Dokter Reihan menyuruh Ranti untuk keluar dari ruangan tersebut. "Nyonya, sebaiknya menunggu di luar saja," ucap Dokter Reihan dengan lembut dan sopan.
"Saya ingin menemani putra saya, Dok." Ranti tidak bergeming dari posisinya sekarang. Berat rasanya jika dia harus meninggalkan putranya yang kembali lemah hanya dengan dokter dan para suster yang bertugas.
"Tolong jangan mempersulit kami, Nyonya. Biarkan kami menjalankan tugas kami dengan tenang." Dokter Reihan masih berusaha membujuk Ranti agar mau keluar dari ruang perawatan Gibran.
"Tenang? Anda bilang tenang? Bagaimana perasaan Anda jika melihat putra Anda terbaring lemah tidak berdaya seperti ini?" Tanpa sadar Ranti membentak Dokter Reihan yang menanggapi emosi Ranti dengan senyuman. Ranti menangis terisak, tapi kenapa dokter itu malah menyuruhnya untuk pergi keluar ruangan.
"Saya tahu apa yang dirasakan oleh Anda, Nyonya-"
"Jika Anda tahu seharusnya Anda tidak menyuruh saya untuk pergi." Ranti menyela ucapan Dokter Reihan dengan cepat dan penuh emosi.
"Nyonya, saya mohon kerja sama Anda. Pasien harus segera ditangani dan Anda tidak boleh ada di dalam." Dokter Reihan masih terus membujuk Ranti agar keluar dari ruangan tersebut.
"Dokter, Sa-"
"Demi kebaikan putra, Anda." Dengan terpaksa Dokter Reihan memotong ucapan Ranti yang masih tetap kekeh ingin menemani Gibran.
"Baiklah!" Akhirnya dengan langkah lesu Ranti mau keluar dari ruang perawatan Gibran. Sebelum keluar, Ranti mencium kening Gibran lama dan air matanya membuat dia wajah Gibran basah karena tetesannya jatuh di wajah Gibran yang tidak sadarkan diri.
"Bunda tahu anak bunda ini bisa bertahan, segeralah sadar, Sayang! Bunda akan menunggu kamu di luar." Ranti berbisik di telinga Gibran. Dia menatap wajah Gibran lama dan akhirnya segera keluar ruangan tersebut dengan berat hati.
***
Setelah Ranti keluar, Dokter Reihan segera melakukan pemeriksaan pada Gibran. Mulai dari mata sampai detak jantung dan semuanya tanpa terkecuali. "Suster, tolong bantu pasangkan alat bantu pernapasan pada pasien!" pinta Dokter Reihan dengan tegas dan lembut.
"Baik, Dok." Tanpa berpikir lagi, suster itu pun segera melaksanakan perintah Dokter Reihan.
"Kondisi pasien memburuk, detak jantungnya melemah." Dokter Reihan terlihat cukup panik, dia mulai membantu Gibran dengan cara apa pun. Dokter Reihan menyiapkan alat pacu jantung dan juga alat-alat medis lain untuk mengahadapi kemungkinan terburuk sekali pun. Bunyi bedside monitor dari layar memperlihatkan irama detak jantung Gibran mulai lemah.
Dokter Reihan terus melihat layar monitor yang terus menampilkan penurunan tekanan detak jantung Gibran. Sampai hal yang tidak diinginkan pun terjadi.
Tiiiiiiiiiit ... garis di layar monitor surah berubah menjadi lurus, itu artinya detak jantung pasien telah berhenti.
"Suster, kamu tahu apa yang harus dilakukan saat ini, kan?" Dokter Reihan memberikan tebakan yang tentu saja suster itu tahu apa yang harus dilakukannya.
Suster tersebut segera membuka kancing kemeja bagian dada Gibran. Dan setelah itu, Dokter Reihan lah yang bergerak cepat melakukan hal terbaiknya. Dokter Reihan menempelkan defribilator di dada Gibran untuk membuat jantung Gibran terkejut. Berulang kali dokter melakukannya. Sampai akhirnya, Dokter Reihan sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
"Innalillahi wainnailaihi raji'un." Kata-kata yang baru saja diucapkan Dokter Reihan adalah sebuah hal yang sama sekali tidak dia harapkan.
"Suster, tutup tubuh pasien dan segera pindahkan ke kamar jenazah." Dokter Reihan memberi perintah dengan suara yang parau, dia yakin pasti Ranti akan sangat terpukul dengan berita ini.
Dokter Reihan meninggalkan suster yang masih sibuk melepas alat bantu di tubuh Gibran dan dia pun keluar dari ruangan untuk memberitahukan hal ini kepada keluarga Gibran.
"Dokter, bagaimana kondisi putraku? Dia baik-baik saja, kan, Dok?" Tatapan mata Ranti yang mengkhawatirkan Gibran juga tatapan teduh yang terlihat terluka itu membuat air mata Dokter Reihan mengalir tanpa diminta.
"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, Nyonya. Namun, ternyata Tuhan lebih sayang dengan putra, Anda. Dengan kata lain, putra Anda telah meni-" Belum sempat Dokter Reihan menyelesaikan ucapannya, Ranti sudah terlebih dulu memotongnya.
"Tidak! Dokter, jangan bercanda. Putraku tidak mungkin, tidaaak ... hiks ... hiks ...." Tangisan Ranti terlihat sangat memilukan, Dokter Reihan ikut merasakan apa yang Ranti rasakan saat ini. Tangisan tanpa suara adalah tangisan paling dalam karena di situ hanya air matalah yang bekerja.
Ranti berlari kencang masuk ke dalam ruangan perawatan Gibran. Air matanya semakin deras mengalir saat melihat suster telah menutupi Gibran sampai kepala.
Gibran, anak bunda yang gila, kenapa? Kenapa kamu meninggalkan bunga sendiri? Kata-kata ini hanya bisa dia katakan dalam hati, bibirnya terasa kelu dan suaranya seakan hilang sampai dia sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Bruk ... tubuh Ranti ambruk ke lantai karena sudah tidak bisa lagi menahan rasa sedihnya.
***
Selamat tinggal Gibran. Semoga kamu bahagia di alam sana. Jangan melupakan kami yang tengah merindukan kesomplakan dan kekonyolan dari tingkah lakumu.
Bab 20 ke atas udah nggak terlalu lucu lagi, jujur ternyata aku nggak bakat di seri komedi Susah banget nyari ide buat hal yang bikin kalian ketawa. I'm sorry.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 179 Episodes
Comments
Alejandra
Nggak terlalu lucu nggak Pa" Thor, yang penting jangan konflik melulu, baru ending dkit happy kan nggak asik. Selang seling sedih dan happy, seperti kita di dunia nyata nggak konflik mulu... peace
2021-09-15
0
Ida Lailamajenun
jiaaah yg bnr Thor Gibran meninggal jgn" nge prank nih..
2021-08-20
2
Tiwi Rahayu
kok Gibran meninggal siiih Thor...aku kan jadi sediih.
2021-07-22
1