🌹 KOMEN, VOTE, LIKE🌹
"Rasain nih, lampir marah gara-gara kantilnya ditelan sama, Lo!" Airin meneteskan alkohol ke luka Jasmine dan sedikit menekannya sampai sahabatnya itu meringis kesakitan.
"Sakit!" rintih Jasmine usil, kakinya menjejak lantai seperti anak kecil yang kehilangan mainannya.
"Sukurin, makannya kalau masih punya otak itu buat berpikir yang benar, jangan asal! Lo tadi mau bunuh diri kan? Ngaku!" Airin mendesak Jasmine, menyuruhnya untuk bicara dengan jujur.
"Enggak, kok. Ngapain juga gue bunuh diri, bunuh semut aja dosa." Jasmine tidak mau mengakui perbuatannya.
"Gini-gini gue juga pinter, Mel. Nggak mudah dibohongi." Airin menetap kesal Jasmine.
"Siapa yang bilang mudah brondong." Jamine mulai keluar jalur.
"Brondong jagung manis." Airin ikut terpancing.
"Manis sama seperti Jasmine yang cantik jelita seperti bunga surga." Jasmine tersenyum cantik dan mengedipkan mata kanannya.
"Mata, Lo kenapa? Kena debu surga, iya?" Airin berbicara sembrono.
"Aamiin." Jasmine mengamini.
"Kenapa sikap, Lo dari dulu nggak berubah sih, Mel? Gue rasa kehidupan masa lalu, Lo lebih rumit dari yang gue bayangkan." Kata-kata Airin terdengar penuh makna tersirat.
"Keturunan penyihir kali." Jasmine menjawab dengan asal.
Dengan telaten, Airin mengobati luka di pergelangan tangan Jasmine dengan hati-hati. Hati-hati tapi menyakitkan untuk Jasmine karena sedari tadi, Airin sering menekan lukanya.
"Sudah selesai," ucap Airin sambil tersenyum bangga.
"Terima kasih." Jasmine berdiri dan meninggalkan Airin di dalam kamar.
"Mau ke mana?" teriak Airin menanyakan kepergian Jasmine.
"Aku lapar, dan mau makan." Jasmine menjawab juga dengan berteriak.
***
Satu minggu telah berlalu, tibalah saatnya duo somplak untuk terbang ke negara tetangga. Selama satu minggu terakhir, Gibran merasakan kalau salah satu cabang perusahaan mengalami penurunan nilai saham dan juga keuangan turun dengan drastis. Gibran sudah menyelidiki semuanya namun, dia belum menemukan apa penyebabnya.
Besok pagi Gibran dan Bayu bersiap-siap untuk ke bandara, mereka akan pergi menggunakan pesawat pribadi milik Gibran. Yang hampir setiap minggu digunakan, karena Gibran banyak relasi dan harus berpergian ke luar negeri.
Tidak seperti biasanya, satu hari sebelum hari H, sikap Ranti tiba-tiba sangat berubah tidak seperti biasanya. Dia terlihat sangat cemas berlebihan dan meminta Gibran untuk menunda keberangkatannya ke luar negeri. Namun, Gibran tidak mau menundanya.
"Sayang, bisakah kamu menunda keberangkatan kamu ke luar negeri?" pinta Ranti dengan penuh permohonan.
"Tidak bisa, Bunda. Bunda kan bisa buatin Gibran adik kalau Gibran pergi dari rumah selama beberapa hari." Gibran menolak permintaan Ranti dengan halus.
"Sontoloyo! Anak tengil, kalau bicara jangan sembarangan." Ranti menjitak dahi Gibran dengan geram karena godaan putranya sungguh keterlaluan.
"Bunda, Sayang. Jangan membuat ketampanan paripurna seorang Gibran yang tiada tandingan ternodai karena jari nakalmu." Gila, Gibran sangat narsis.
"Kenapa dulu aku punya anak seperti kamu, Gibran? Bunda menyesal." Ranti pura-pura bersedih membuat Gibran sangat lapar melihatnya.
"Ayah, kenapa dulu Ayah memberi Bunda kecebong sampai bunda punya anak aku?" Kata-kata Gibran terlihat meminta pembelaan dari sang ayah.
"Karena setiap hari bundamu main basket sama, ayah." Satya menjawab dengan senyuman lebar menggoda istrinya.
"Di mana mainnya?" tanya Gibran, karena dia tahu di rumahnya tidak ada lapangan bola basket.
"Di ranjang." Satya menjawab tanpa rasa malu sedikit saja. Membuat Ranti malu dan memukul dada datar suaminya itu dengan kesal dan penuh tenaga.
"Memang bisa, Yah?" tanya Gibran menanyakan hal bodoh.
"Tentu saja, bisa. Setiap hari kita main basket (basah dan lengket)." Mulut Gibran menganga saat mendengar kata-kata vulgar ayahnya.
"Ayah!" teriak Ranti memekakkan gendang telinga Satya.
"Gibran masih suci, masih polos, jangan diajak bicara seperti itu, Yah."
"Yah ... yah ... yah ... bombayah." Ranti bernyanyi menirukan lagu anak muda korea.
"Bawang, Bun," sahut Gibran cepat.
"Hiks-hiks ... Gibran Sayang, kamu jangan pergi, ya!"
"Gibran bakal tetap pergi, Bun. Nanti Gibran belikan Bunda oleh-oleh." Gibran masih terus menikah permintaan bunda tersayang.
"Bunda nggak mau oleh-oleh. Bunda cuma mau kamu-" ucapan Ranti belum selesai dan Gibran sudah memotongnya.
"Jangan, Bun. Gibran nggak mau jadi anak durhaka, masa iya Bunda mau sama Gibran." Gibran menatap takut pada Ranti, sepertinya Gibran salah tanggap dengan apa yang diucapkan Ranti.
"Ya udah, kalau kamu nggak mau bunda. Bunda kutuk kamu jadi Malin Kumbang." Kata-kata Ranti terdengar sangat serius.
"Kundang, Bun. Bukan Kumbang." Satya meralat kata-kata Ranti.
"Gibran nggak mau jadi kambing, Bun." Gibran mengusap air matanya dan menetes dari mata. Ya iyalah dari mata kalau dari kaki namanya mata kaki.
"Siapa yang bilang kamu kambang."
"Apaan sih, Yah? Kok jadi kembang."
"Astaga, apa salah dan dosaku Sayang, wajah tampanku kamu permalukan, dengan sikap kamu yang sok cantik, parah banget-parah banget." Satya berjoget sambil mengarang lagu dengan nada jaran goyang.
"Noh, Bun. Wajah Ayah minta dipermak."
"Apa pula kau ini, aku ini ayahmu lho, Bran."
"Nggak ada yang bilang kalau kamu itu istriku."
Aku punya anak sama suami kenapa gini amat, Ya Tuhan. Ranti mengusap dadanya.
Merasa kesal dengan Gibran dan Suaminya, Ranti menggelitik tubuh Gibran sampai Gibran tertawa terbahak-bahak tidak tahan dengan rasa geli karena gelitikan sang Bunda.
"Sayang, hari ini ayah dan bunda yang akan mengantar kalian ke bandara." Ucapan Satya terabaikan karena Ranti masih sibuk menggelitik Gibran.
"Hahaha, ampun, Bun!" rintih Gibran meminta pengampunan.
"Sudah-sudah! Gibran, kamu masuk ke kamar kamu. Besok pagi ayah akan mengantar kamu sama Bayu ke bandara," perintah Satya yang akhirnya menyudahi pergulatan Gibran dan istrinya.
"Oke, Yah. Dada Bunda dada."
"Dada ... dada. Dada bundamu cuma milik ayah seorang." Satya memukul pantat Gibran sampai anaknya itu meringis sambil terbahak-bahak.
"Ayah." Ranti memanggil dengan manja.
"Kenapa, Sayang?" tanya Satya mengusap kepala istrinya dengan lembut.
"Bunda nggak mau Gibran berangkat besok. Perasaan bunda nggak enak." Ranti mengadu, dan mengatakan apa yang dia rasakan.
"Kan bukan makanan, jadi nggak enak." Satya berusaha untuk bercanda.
"Dih, Ayah! Bunda lagi serius ini." Ranti memeluk suaminya dengan erat, menenggelamkan wajahnya di dada suaminya dan terisak di sana.
"Lho kok nangis, Bun? Jangan nangis dong, Sayang!" Satya mengusap-usap kepala Ranti dan mengecup kepalanya berulang-ulang.
Satya bingung kenapa istrinya itu bisa sampai menangis terisak hanya karena hal sepele. Yaitu, karena tidak ingin Gibran berangkat ke luar negeri besok pagi. Satya baru kali ini melihat istrinya lemah di dalam pelukannya, membuat hati Satya mencelus sakit melihat wanita yang sangat dia cintai itu menangis.
"Bunda mau yang enak nggak, Bun?" tanya Satya setelah Ranti mulai tenang.
"Mau, Yah." Ranti menjawab dengan mengangguk dan manja.
"Ayo ke kamar!" Ranti digendong Satya ala bridal style.
"Eh, mau ngapain, Yah?" tanya Ranti yang tiba-tiba digendong suaminya.
"Buat Bunda merasakan enak." Satya mengedipkan satu matanya sambil tersenyum nakal.
"Dasar mesum."
"Terima kasih, Sayang."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 179 Episodes
Comments
Sulaiman Efendy
APA SI RANTI PNY FIRASAT, KLO GIBRAN AKN KNPA2...
2023-06-24
0
Meri Dethan
jgn bilang kalo airin itu mantan pacar nya Gibran 🙈
2022-07-06
0
Afriani Afriani
Kok bunda ada perasaan nggak enak gitu, apa yang akan terjadi sama Gibran ya
2021-06-01
2