Setelah mengalami banyak kejadian yang tidak mengenakkan hari ini. Gibran memilih untuk pulang lebih awal. Badannya seakan remuk karena jatuh berkali-kali. Sebenarnya sudah biasa Gibran mengalami hal seperti ini tapi kali ini yang membedakan adalah sakitnya ketika dia jatuh dan dadanya terbentur lantai. Bukan sakit karena ditinggal nikah gebetan.
"Pak Adi, jaga kantor saya baik-baik, ya! Takut lari dia." Gibran menepuk pundak Pak Adi saat Gibran keluar dan berjalan di parkiran.
"Sayapnya disimpan dulu, Tuan. Kalau nggak disewakan ke saya saja!" jawab Pak Adi dengan serius.
"Jalan mana bisa pakai sayap, Pak? Cabut bulu katak dulu, Pak!" balas Gibran yang sudah jauh dari Pak Adi.
"Kataknya nyari di mana?" teriak Pak Adi.
"Kataknya nggak punya bulu, Pak. Kok mau-mau aja sih saya suruh mencabut bulu katak." Gibran tersenyum simpul dengan pembicaraan tidak nyambung mereka.
"Iya juga, katak kan nggak punya bulu, kenapa saya nggak kepikiran." Pak Adi tersenyum simpul menyadari kebodohannya.
"Bay, kamu yang nyetir! Tangan saya sakit nggak bisa buat nyetir." perintah Gibran pada Bayu sekretarisnya.
"Baik, Bos. Silakan masuk!" perintah Bayu sambil membukakan pintu depan untuk Gibran karena dia tidak mau kalau duduk di belakang.
"Terima kasih." Gibran tersenyum ke arah Bayu sehingga dia tidak melihat ke arah pintu mobil saat masuk. Dug ... kepalanya untuk kesekian kalinya kembali terbentur. Dan Gibran menekan pintu mobil sehingga tertutup.
"Aduh!" Bayu malah teriak padahal yang terbentur bukan dirinya.
"Yang terbentur saya, kenapa kamu yang teriak?" tanya Gibran melihat wajah Bayu yang seperti orang kesetanan eh maksudnya kesakitan.
"Bran, pergi Lo jauh-jauh dari gue!" Bayu merintih kesakitan.
"Lo kenapa sih?" Gibran bingung dengan Bayu. Gibran menyandarkan tubuhnya di pintu depan yang tertutup tadi. Dan mereka sudah saling memanggil dengan panggilan biasa. Karena kalau mau bersandar di bahu gebetan, habis ditinggal nikah dia.
"Aaa ... sakit ...." Bayu terisak kencang, air matanya mengalir seperti sungai menuju samudra.
"Kenapa malah manggis?"
"Nangis bukan manggis. Jangan, ketan, mantan, eh ... masud gue tangan." Bayu bicara tidak jelas.
"Tangan?" Gibran menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Gibran.
"Hehe, maaf gue nggak tahu kalau tangan Lo kejepit pintu mobil." Gibran tersenyum tapi di hatinya mengumpat Bayu. Rasain, sakit kan Lo sekarang, jadi gue nggak jomblo lagi sakitnya.
"Bran, tangan gue berdarah, gimana dong ini?" tanya Bayu dengan meringis kesakitan.
"Gue ambilin kotak P3K dulu, minggir sana!" Gibran membuka pintu mobil dan mengambil kotak P3K yang di taruh di depan.
"Duduk! Biar gue obati luka, Lo. Eh darah Lo tipe darah apa, Bay?" tanya Gibran setelah Bayu duduk di kursi yang paling dekat dengan mereka di perkiraan.
"Darah biru, gue kan keturunan bangsawan, Bran. Bran kenapa ini kotak namanya P3K khusus buat nyimpan obat?" tanya Bayu, karena dia sendiri juga tidak tahu kenapa.
"Kirain darah Lo hijau, soalnya Lo kan buto ijo." Gibran meringis menampakkan giginya yang putih bersih.
"Sialan, Lo." Bayu menginjak kaki Gibran dan keras. Sekeras hati dia yang beku kalau di kejar sama saya.
"Karena habis pertemuan, perkenalan, pendekatan terus ketikung." Gibran menjawab ngawur tapi masuk akal.
"Oh iya juga, ya. Kalau ketikung kan sakit, jadi di obati." Bayu tersenyum polos seperti bayi baru lahir tidak punya dosa.
"Rebes, yuk pulang!" Gibran mengajak Bayu untuk segera masuk mobil mengantarkan dia pulang.
"Beres kali." Bayu masuk ke dalam mobil dan tetap sebagai sopir.
"Bay, kenapa gue hari ini sial terus, ya? Perasaan gue nggak jahat sama orang, tapi kenapa gue sial?" tanya Gibran menatap Bayu dengan serius dan tajam.
"Ku menangis, membayangkan betapa kejamnya dirimu atas diriku!" Bayu menyanyi seolah menyindir Gibran dengan lagu yang sering sekali terdengar di sinetron.
"Korban sinetron, kaya emak-emak tahu nggak?" ucap Gibran sambil terkekeh.
"Itu lebih baik daripada korban perasaan. Dan lagi, gue bukan tahu Bran, tapi kedelai hitam pilihan." Bayu menjawab dengan santai.
"Jangan iklan, nggak disponsori kok mau iklan, Lo." Gibran berkomentar sambil meringis menahan rasa nyeri yang tiba-tiba menyeruak di dadanya.
"Lo kenapa? Dadanya sakit kah?" tanya Bayu ketika tidak sengaja melihat Gibran yang meringis seperti orang kesakitan.
"Gue baik-baik aja, kok. Nanti kalau sampai rumah gue mau minta tolong sama orangtua gue." Gibran menjawab santai padahal rasa sakit di dadanya benar-benar menyiksa dirinya.
Ya Allah, hambamu yang tampan, baik hati dan tidak sombong ini jangan diambil nyawanya dulu ya! Hambamu ini masih jomblo belum punya jodoh dan kalau mau mati sekarang, bekalnya belum cukup.
"Bran gue boleh tanya sama, Lo?" Bayu melirik Gibran yang duduk di sampingnya.
"Tanya aja!" Gibran memperbolehkan.
"Waktu orangtua Lo nyetak Lo, mereka ngapain aja, ya?" tanya Bayu dengan serius sampai dahinya terlihat berkerut.
"Mana gue tahu, emang kenapa?"
"Dari tadi tahu mulu, kapan tempe sama kedelainya?" Bayu melirik Gibran dengan ekor matanya.
"Mata Lo punya ekor?" ucap Gibran menatap tajam Bayu.
"Maksudnya?" Bayu tidak tahu apa yang dimaksud Gibran.
"Lupain!"
"Bran Lo tahu nggak kenapa Lo ganteng?" Bayu menoleh ke samping untuk melihat ekspresi Gibran yang dia puji ganteng.
"Karena kalau pakai huruf e jadinya genteng," jawab Gibran dengan entengnya.
"Pinter juga, Lo." Bayu tersenyum pada Gibran.
"Senyum Lo bikin diabetes." Gibran mengkritik.
"Tapi kan enak manis."
"Bukan manis tapi amis."
"Amis you maksud Lo?" Bayu menarik turunkan alisnya.
"Miss you too. Gila dada gue sakit banget nih!" Gibran mulai mengeluh karena rasa sakit di dadanya semakin menjadi-jadi.
"Lo beneran sakit? Kirain bohong." Bayu menepikan mobilnya dan membantu Gibran untuk duduk dengan posisi terbaik.
***
"Kenapa bisa sakit kaya gini, Bran? Habis jadi serigala kamu? Trus lompat dari lantai 25?" tanya Ranti sambil menoyor kepala Gibran yang sedang berbaring di ranjang kamarnya.
"Jangan bikin Gibran pusing tujuh keliling, Bun." Gibran menjauhkan tangan Ranti yang sudah siap untuk menoyor kepalanya lagi.
"Emang masuk angin, pakai tujuh?"
"Jangan iklan lagi, dan jangan sebut merk." Gibran menatap mata Ranti dengan sayang.
"Bun, dulu waktu nyetak aku ngapain aja sama ayah?" tanya Gibran serius tapi ditanggapi biasa oleh Ranti.
"Waktu nyetak kamu? Ayah kamu main silat tiga ronde, terus kungfu dua ronde, sampai hancur tubuh bunda sama kasurnya juga. Bunda aja sampai jatuh guling-guling di lantai," jawab Ranti tersenyum simpul mengingat masa lalu.
"Waktu buka gimana, Bun?" tanya Gibran lagi.
"Di buka plastiknya, diputar, dijilat, dicelupin." Ranti menjawab tanpa menyadari kalau di belakangnya ada Satya.
"Dibuka kaya gini, ya, Bun?" Tangan Satya bergerak nakal menyusuri tubuh Ranti di depan Gibran yang reflek menutup matanya.
"Ayah jatahnya masih nanti malam, minggir sana, jangan buka-bukaan di sini!" Ranti memasang kancing bajunya lagi.
"Kan belum diputar sama dijilat, Bun." Satya cengengesan karena berhasil jail di depan Gibran.
Bersambung ...
Gibran nggak ngeluwak dulu ya sayang. Karena Gibran lagi sakit. Eh maksudnya nggak biyawak dulu, kok biyawak sih maksudnya itu ngelawak nah iya betul ngelawak.
Kangen sama Gibran nggak kalian? Enggak ya? Oh Gibran GR banget dong karena ngira kalian kangen.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 179 Episodes
Comments
fifia
klrg somplak
2022-05-09
0
Nurdihana
ni mah klga somplak
2021-09-16
1
Aqiyu
ya ampun ini sih bukan bos somplak tapi lebih ke SIAL mulu 🤦♀️
2021-09-06
0