Sepasang mata sayu milik Dean tak terlepas dari wajah bulat dan lebar milik Erika. Telinganya masih setia mendengar, tanganya pula tetap bertahan menyentuh rambut tebal di kepala perempuan itu.
"Aku tidak tahu harus bagaimana? Aku sudah berusaha untuk membuatnya bahagia, tapi?"
Helaan nafas berat Dean menutup kata-kata yang menggantung dari perempuan yang tengah terbaring di atas ranjang. Wajahnya sedikit terangkat mengarah pada jendela di depannya, menatap langit biru yang terdapat awan-awan putih bak kapas yang berterbangan.
Ia cukup prihatin dengan semua yang dirasakan Erika. Namun, ia bisa apa sekarang? Tidak mungkin ia ikut campur dalam masalah wanita itu. Ya, memangnya dia ini siapa dalam kehidupan Erika.
"Dean, apakah aku bisa langsing?"
Pria itu kembali fokus pada wajah yang memiliki double chin yang amat menggelambir di dagu.
"Aku benar-benar ingin langsing, Dean."
laki-laki dengan setelan kemeja warna navy itu masih bergeming di tempatnya. Memandang wajah sedih perempuan yang dijulukinya si mentari kehidupan.
"Tapi, aku tidak bisa mengontrol nafsu makanku. Bahkan aku malas berolahraga. Itulah kenapa aku sampai mengkonsumsi obat-obatan itu kemarin."
Kedua matanya kembali berlinang. Mengisyaratkan permohonan.
"Tidak ada yang instan di dunia ini, Erika—" jawabnya halus. "Kau tetap harus berolahraga dan mengatur pola makanmu secara konsisten selama kurang lebih dua sampai tiga tahun."
"Hiks!" Erika mulai putus asa. Konsisten selama itu, sungguh sangat mustahil.
"Jangan patah semangat… aku akan berusaha membantumu."
Mata Erika berbinar. Ia bahkan sampai memegangi tangan Dean dengan kedua tanganya yang gemuk itu.
"Sungguh, Dean?"
Dean mengangguk, bibirnya menunjukan senyum ketulusan.
"Ya Tuhan, terima kasih, Dean. Kau memang yang terbaik."
"Janji dulu, kau tak akan pernah tergiur obat-obatan pelangsing itu lagi."
Erika mengangguk cepat, sambil mengulurkan jari kelingkingnya ke arah laki-laki tersebut.
"Janji seorang teman!"
Teman? Dean tersenyum kecut. Benar… memangnya, hubungan seperti apa yang kau harapkan?
Ia pun merespon. Mengaitkan jari kelingkingnya dengan milik Erika. Keduanya tergelak renyah. Sejenak bisa melupakan kesedihannya yang disebabkan luka menganga yang di goreskan Elvan terus menerus.
Tertawa selalu seperti ini Erika. Itulah dirimu yang ku kenal… Dean membatin dengan senyum masih melengkung sempurna. Dan jari kelingking yang masih saling bertaut.
Suara ketukan pintu terdengar. Keduanya menghentikan tawa dan hampir bersamaan menoleh ke sumber suara.
Seorang kepala asisten rumah tangga mengangguk sekali pada Dean dan Erika. Disusul wanita paruh baya dengan kursi roda yang menopang tubuhnya.
"Sayang—" Bu Siska dengan seorang asisten pribadi yang mendorong kursinya mendekat.
"Mama?"
Dean bangkit memberi hormat. Setelahnya sorot mata itu sesekali terarah pada wanita paruh baya yang terasa familiar baginya.
"Apa yang terjadi padamu, Putriku?" Bu Siska memegangi tangan putrinya.
"Aku hanya kelelahan, Ma."
Matanya menoleh sebentar pada Dean, berharap laki-laki itu paham kode darinya agar tak memberitahu penyebab pasti perempuan itu terbaring di sini. Dan sepertinya ia memang paham, serta memilih diam saja.
"Ya ampun, Mama sudah bilang. Berhentilah memforsir tenaga mu. Jangan ikuti cara ayahmu yang workaholic itu!" salaknya yang kemudian membuat Erika tersenyum.
Dean yang masih disana hanya menyimak beberapa detik saja sebelum akhirnya berpamitan untuk kembali bekerja.
….
Mama menyuapi Erika dengan potongan buah apel yang sudah dikupas. Dilihat jam telah menunjukan pukul dua siang.
"Erika!"
"Ya, Ma?" jawabnya sambil mengunyah.
"Mama sejak tadi tidak melihat Elvan."
Erika menghentikan gerak rahangnya yang sedang menghancurkan daging apel.
"Apa suamimu belum kemari sejak tadi?"
"Ah…" kedua telapak tangan Erika bergerak-gerak. "Tidak— tidak, Ma. Tadi Elvan ke sini. Bahkan, Elvan juga yang mengantarku saking cemasnya."
Sang kepala asisten hanya diam saja. Padahal ia tahu, seperti apa kondisi saat itu. Dimana Elvan justru terkesan tidak peduli dengan tubuh istrinya yang sudah tergeletak di lantai. Bahkan dengan teganya laki-laki itu hanya meninggalkan Erika begitu saja tanpa memberitahukan para pekerja di luar, kalau Erika pingsan.
Antara percaya tidak percaya, namun pikiran positif Siska terus mendorongnya untuk tidak asal berprasangka buruk pada menantunya itu.
"Mama tahu, 'kan? Bisnis alat kebugaran milik Elvan sedang maju pesat. Tadi ada client yang minta langsung ketemuan. Elvan mau menolaknya sih, tapi Erika yang memaksa dia untuk langsung pergi. Maka pergilah dia, lagi pula tadi ada teman kok. Dia dokter di sini—"
Beralih dari Elvan, Siska jadi teringat pemuda asing tadi.
"Ah, iya… omong-omong yang tadi itu siapa?"
"Deandra, Ma. Dia teman SMA Erika."
"Oo…" perempuan paruh baya itu manggut-manggut.
"Dia hebat, Ma. Tadinya anak panti yang dapat beasiswa di Sekolah swasta milik keluarga kita. Dan sekarang ia sudah menjadi seorang dokter bedah."
"Panti?" tanyanya.
"Iya, Panti Harapan Kasih."
"Panti Harapan Kasih? Tunggu, itu panti yang amat sering Mama kunjungi saat masih bisa berdiri menggunakan kedua kaki ini."
"Oh, ya?"
Perempuan itu mengangguk. "Mungkin dia salah satu anak cerdas yang selalu menarik perhatian Mama di panti itu."
Erika tersenyum, ia ingat Dean pernah cerita kalau dia bisa sehebat sekarang sebab sang Donatur utama. Kalau benar, ia akan semakin bangga pada kedua orangtuanya.
Ya, memang seperti itulah sifat keluarga Hartono. Sangat suka membantu kesulitan orang lain. Tanpa meminta balas jasa dari orang-orang yang sudah di bantu.
***
Di sisi lain…
Dean berdiri di ruang prakteknya menghadap ke jendela poli yang langsung tembus ke luar. Ruangannya sudah sepi, hanya tertinggal dirinya. Karena dua perawat yang mendampingi sedang keluar untuk makan siang sebelum kembali menuju pos jaga bangsal rawat inap.
Jam prakteknya memang sudah selesai sejak dua jam yang lalu. Mungkin karena ia masih terbilang dokter baru. Jadilah, pasien yang ia dapat masih dalam hitungan jari.
Jangan hujan-hujanan, nanti kau sakit, dan kalau Kau sakit orang tuamu pasti akan sedih.
Suara yang membuat laki-laki itu mengurungkan niatnya untuk terjun dari lantai sepuluh, tiga belas tahun yang lalu.
Flashback on.
Ya, Dean memang dikenal sebagai anak panti yang berprestasi. Ia mendapatkan beasiswa khusus di SMA swasta elit milik keluarga Hartono dari salah satu donatur terbesar di tempatnya bertumbuh itu.
Awalnya ia berpikir hidupnya akan mudah, dan anak-anak di sekolah itu pasti akan sangat ramah dalam pergaulan. Nyatanya tidak, mereka sama sekali tidak peduli dengan keberadaannya. Dan itu membuatnya hidup menyendiri selama mengenyam pendidikan di sana.
Sejenak berpikir amat membosankan bersekolah disini karena tidak punya teman. Hingga saat dirinya terus mendapatkan nilai tertinggi di kelas ia mulai menyadari jika menjadi murid yang seolah tak terlihat itu jauh lebih baik, ketimbang saat dirinya menjadi salah satu anak yang mencolok hingga mengalami perundungan parah semenjak dirinya menolak dimintai contekan oleh geng paling dikenal di sekolah tersebut.
Dean sering babak belur di hajar oleh mereka. Anehnya, anak-anak itu tak pernah mendapatkan sanksi dari sekolah karena pengaruh orang tua mereka di sini.
Satu hari di sekolah, rasanya seperti di neraka. Dean pernah meminta pihak panti untuk memindahkannya ke sekolah lain.
Namun sang pemilik panti tempatnya tinggal justru menyalahkan dia sebagai anak yang tidak bersyukur, hingga selama beberapa bulan ia masih berusaha bertahan walau raga dan psikis benar-benar tak mampu lagi menopang siksa fisik yang ia derita setiap harinya.
Suatu hari, Dean berdiri di atap gedung sekolah. Wajah yang berlumur darah itu memandang kosong ke bawah. Dimana orang-orang dengan payung mereka yang berlalu-lalang nampak kecil terlihat dari posisinya.
Pria itu merasa, hidup sudah tak lagi berarti. Mimpi tak mungkin bisa ia raih jika terus-menerus seperti ini. Lagi pula, ia tak memiliki siapa-siapa yang menyayanginya. Jika mati pun, tak akan ada yang akan menangisinya.
Dean sudah sangat yakin dengan keputusannya mengakhiri hidup. Hingga seorang gadis gemuk yang masuk dalam geng anak-anak pelaku perundungan membuka pintu atap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Bunda dinna
Elvan terlalu percaya diri,,Erika yg terlalu naif
2024-01-25
1
ν⃟α͢иͮуᷠαᷨ
Jika berjodoh pasti akan menjadi pasangan, semangat dean dan erika
2024-01-19
3
Nur aprilia adiah
saking cinta nya sama elvan berulang kali di sakiti pun kamu malah milih bertahan kalau aku sih ogah..
2024-01-16
1