Seorang wanita membuka pintu apartemennya. Ia pun terkejut melihat buket bunga besar yang menutupi wajah si pembawa. Elvan menunjukan wajah penyesalan sambil menurunkan sedikit buket yang dipegang.
Melihat siapa yang membawa bunga tersebut Veni pun berniat kembali menutup pintu yang buru-buru ditahan pria itu sebelum turut masuk kedalam. Elvan menahan tangan Veni, menariknya lebih mendekat kemudian mencium bibir wanita itu dibalik pintu yang sudah kembali tertutup.
Beberapa detik di lewati mereka dengan bibir saling menempel. Kedua tangan perempuan itu melingkar di pinggang Elvan seraya menangis. Pria itu pun melepaskannya perlahan.
"Maaf–" gumam Elvan sambil menempelkan kening. "Maafkan aku."
Perempuan itu berusaha melepaskan pelukan Elvan dengan mendorong dadanya.
"Enyah lah, semua sudah berakhir."
"Tidak, aku tidak akan pergi sebelum Kau mendengarkan penjelasan ku."
"Penjelasan apa lagi? Kau mau bilang bahwa pernikahanmu ini adalah sebuah pernikahan paksa?"
Elvan terdiam, matanya terarah pilu pada gadisnya.
"Kau sudah dewasa, seharusnya kau bisa menolak perjodohan ini."
"Kau tidak tahu posisiku, Sayang?"
"Jangan panggil aku dengan julukan itu lagi. Karena semenjak kau menikahi gadis lain, itu tandanya hubungan kita telah berakhir."
Elvan menggeleng. "Aku tidak cinta dia?"
"Cih, kau bilang itu sekarang. Nyatanya kalian sudah tidur satu kamar, 'kan?"
"Aku tidak tidur satu kamar dengan babi itu!"
Babi?
Veni mengerutkan kening. Selama ini ia memang tahu kerajaan bisnis Hartono group. Tapi ia tidak pernah tahu seperti apa sosok CEO wanita yang saat ini menjadi istri Elvan.
"Aku tidak akan sudi menyentuh tubuhnya. Tidak akan!"
"Bohong– bagaimana aku bisa percaya kalau kau telah berkata jujur."
"Kau mau bukti yang seperti apa? Kau bisa tanyakan itu pada Lusi atau ibu ku. Kita hanya menikah di atas kertas. Aku bersumpah, akan menceraikan dia secepatnya setelah itu menikah denganmu." Elvan mencengkram lembut kedua bahu kekasihnya.
Veni kembali membisu, tidak mungkin Elvan akan melakukan itu. Karena dalam bayangannya, sosok CEO wanita itu pasti cantik dan berkelas. Sangat jauh darinya yang hanya seorang model.
"Ven, tolong percayalah. Aku hanya mencintaimu. Aku menikah karena dulu ayahku punya hutang budi yang amat besar. Sekarang aku hanya perlu membayarnya sebentar."
Perempuan bertubuh tinggi dan langsing itu menggeleng.
"Sayang tolonglah. Di keluargaku semua masih mendukung hubungan kita, kok. Dan memang hanya Ayahku saja yang menolakmu. Jadi Kau tidak perlu khawatir, tetaplah menjalin hubungan denganku. Sampai aku bisa melepaskan diri dari jeratan Babi sialan itu."
Kenapa Elvan selalu memanggilnya Babi. Aku jadi penasaran seperti apa sosok CEO itu. Setelah ini aku harus mencari tahu akun sosial medianya. –Batin Veni penasaran.
Di sudut pintu mereka mulai bercumbu, Elvan kembali mendaratkan kecupan di bibir Veni. Melepas segala beban hati yang merasa sama-sama terluka akibat tidak bisa bersatu.
…
Beberapa menit berlalu, Veni yang masih terjaga tanpa busana di bawah selimut mulai mencari akun wanita itu. Namun karena ia tidak tahu seperti apa nama akunnya ia pun berusaha mencari info melalui laman pencarian di internet.
"Nama CEO Hartono Grup?" Mengetik kata yang sesuai dengan apa yang diucapkan dengan suara pelan. Karena di sebelahnya, Elvan sedang tertidur sehabis bermain panas.
Ya, dua sejoli itu memang sering melakukan hubungan suami-istri walau belum terikat secara sah dalam pernikahan, hanya dilandasi kata saling suka sudah cukup bagi mereka melucuti harga diri antara satu sama lain.
"Erika Rawles?" gumamnya membaca nama di artikel yang ia temukan.
Veni pun membungkam mulutnya tercengang saat melihat foto Erika yang langsung terpampang.
"Di–dia orangnya?"
Veni menoleh ke arah Elvan yang masih pulas. Setelah itu tertawa tanpa suara.
Ya, selama ini ia takut mencari tahu seperti apa sosok perempuan itu. Khawatir ia akan minder saat melihatnya. Namun sekarang, saat melihat sosoknya yang penuh lemak serta gelambir. Veni malah ingin mengejek kekasihnya itu.
"Pantas saja ia dijuluki Babi oleh Elvan." Cekikikan lagi.
Kini gadis itu merasa tenang. Karena apa yang dikatakan Elvan sepertinya serius. Tidak mungkin sih, laki-laki itu akan tergoda. Badannya saja seperti gajah. Laki-laki normal pastinya tidak akan mau hidup bersama perempuan dengan fisik seperti itu.
Kecuali jika yang ia butuhkan hanya harta. Sementara Elvan juga termasuk dari anak seorang konglomerat. Pastilah, ia tidak akan mau benar-benar menikah lama dengan istri jeleknya itu.
Tidak apalah menjadi simpanan. Yang penting ATM ku selalu terisi penuh. Nilai plusnya, dia tampan.
Veni memiringkan tubuhnya, senyum jahat mengulas sempurna di bibirnya yang pink natural. Ia pun menyusup semakin dekat, memeluk tubuh polos di sisinya yang reflek membalas pelukan sang kekasih.
***
Mentari merangkak turun, senja keemasan berkilau di ufuk barat. Erika setia menyiapkan kebutuhan suaminya kalau-kalau laki-laki itu pulang.
Sebuah hidangan makan malam pun telah selesai dibuat khusus untuk sang suami. Tinggal menunggu disajikan ketika makan malam tiba. Menikmati santap malam dengan nuansa romantis. Pasti akan menyenangkan pikirnya.
Harapannya begitu. Nyatanya hingga matahari benar-benar terbenam di ganti bulan. Langit pun semakin pekat karena waktu yang terus bergerak.
Erika kembali menahan lapar hingga pukul dua belas malam. Tubuhnya mondar-mandir di dekat pintu masuk.
Sang asisten pribadi menatap kasihan ke arah majikannya. Ia menyadari sikap buruk Tuannya terhadap sang Nyonya di rumah ini. Tapi sebagai kepala pelayan, ia bisa apa?
Terlalu lama berdiri terlebih dengan perutnya yang kosong sejak sore tadi, wanita gemuk itu mulai merasakan pusing.
"Bu Erika, anda baik-baik saja?"
"Emmm…" Erika memijat keningnya sendiri.
"Ibu belum makan malam," tuturnya hati-hati. "Sebaiknya Bu Erika saya antar ke kamar. Nanti biar kami siapkan makanannya ke kamar."
Perempuan yang mengeluh pusing itu mengangguk. Dengan hati-hati melangkah pelan sambil ditemani dua orang termasuk si kepala asisten rumah tangga.
…
Beberapa menit menunggu. Piring-piring berisi lauk pauk berjajar rapi sesuai keinginan Erika. Menu makan malam yang tadinya menggugah selera kini nampak biasa saja.
"Silahkan, Bu Erika," ucap wanita berpakaian pelayan.
Erika pun mulai menyantapnya. Satu suap, dua suap, ia pikir akan berhenti setelah di suapan ketiga. Namun semakin banyak ia menikmati hidangan makan malam, perut justru terus mengirimkan sinyal ke otak. Hingga Erika tidak mampu menghentikan nafsu makannya. Menghabiskan semua hidangan yang tersaji tanpa tersisa sedikitpun.
Porsi yang seharusnya untuk dua sampai tiga orang ia hajar sendirian.
Perempuan itu memang selalu merasa puas saat makan enak. Entah mengapa hormon bahagia-nya pun seolah kembali saat hidangan manis sebagai penutup sedang ia konsumsi.
Ya, makan dengan porsi banyak entah mengapa menjadi kebiasan yang menciptakan kebahagiaan tersendiri.
Terlebih hobi makan banyaknya selama ini tak pernah mendapat larangan dari kedua orang tuanya apalagi orang-orang di sekitarnya.
Selesai makan malam, ia baru sadar jika waktu telah menunjukan pukul dua belas lewat empat puluh menit.
Harusnya Elvan sudah kembali tapi laki-laki itu tak juga pulang.
Baru saja hendak menghubungi, Elvan sudah membuka pintu kamar.
"Suamiku?" berbinar.
"Tidak usah mendekat! Jangan buat mood ku semakin hancur karena harus melihatmu."
Erika bergeming, sekali lagi ia tidak bisa membalas kata-kata tajam yang dilontarkan Elvan.
"Sepertinya aku harus membuat peraturan di sini." Pria itu berkacak pinggang.
"Peraturan apa?"
"Soal hubungan kita. Kau hanya harus sadar satu hal, kalau aku sangat tidak menyukaimu. Jadi jangan bermimpi untuk kita bisa saling mencintai. Karena jujur saja, aku menganggap pernikahan ini hanya bersikap sementara."
Deg! Erika mematung tak percaya.
"Kau sudah tahu sekarang, bukan? Kalau aku tidak suka padamu. Jadi, kau tidak perlu berharap kita akan tidur satu ranjang."
"S-suamiku?"
"Jangan sebut aku seperti ku. Aku sangat mual mendengarnya." Elvan balik badan hendak masuk ke dalam kamar mandi. Seketika itu pula ditahan Erika.
"Tunggu—" matanya kembali berlinang. "Bolehkah aku tahu, apa yang membuatmu tidak suka padaku?" tanya Erika polos.
Ia pikir, pasti pelayanannya sebagai seorang istri tidak baik. Dan ia ingin memperbaikinya agar Elvan bisa mencintainya.
"Tidak pernahkah kau bercermin? Seharusnya kau bisa mendapatkan jawaban itu dari sana," sarkasnya melemparkan senyum sinis yang terkesan menghina. Setelah itu meninggalkan istrinya memilih untuk kembali ke liar kamar.
Dengan lunglai perempuan tambun itu menghempaskan bokong ke permukaan ranjang. Bulir bening menetes seiring luka hati yang kembali ditorehkan oleh Elvan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Hani Ekawati
Dih sampe kumpul kebo
2024-07-25
0
Maryati Yati
ayo etika tunjukkan pada suamimu kalau kamu bisa lebih cantik dari pacarnya
2024-03-12
1
Bunda dinna
G tega lihat Erika terus di hina karena fisik..
Ayo Erika semangat buatvolahraga
2024-01-25
1