Ketika waktu sarapan tiba. Semua anggota keluarga berkumpul di meja makan. Pak Wira menatap dingin ke arah hidangan yang tersaji di atas meja.
Pria berkacamata bulat itu mengamati seluruh tata hidang. Semua tak seperti biasanya. Pasti ada seseorang yang telah mengatur, dan orang tersebut tentunya amat paham dengan peraturan Table set-up.
"Dimana menantuku?"
Suara beratnya memecahkan keheningan. Tanpa di kasih tahu, ia sudah mampu menebak, siapa orang yang berkemungkinan bisa menerapkan breakfast table setting di rumah ini. Karena selama ini memang tidak pernah diterapkan.
"Emmm—" Regina melirik pada Lusi sebentar. Kemudian kembali pada sang suami. "Menantu kita ada di kamar dengan Elvan, Yah," jawab Bu Regina.
"Panggil mereka berdua. Kita harus makan bersama."
"Tapi, tadi saya melihat Erika membawa makanan ke kamar. Maklum saja, pengantin baru, Yah… sepertinya mereka hendak makan di sana berdua."
Pak Wira menghela nafas. "Apapun alasannya, mereka harus sarapan bersama kita. Jadi panggil mereka sekarang!"
"B–baik, Sayang."
Bu Regina langsung bangkit dari posisinya. Meninggalkan meja makan dengan langkah cepat menuju lantai dua.
Setelah tiba di depan pintu kamar Elvan, wanita paruh baya dengan rambut keritingnya tertegun. Ia tampak ragu-ragu untuk mengetuk kamar. Namun sebelum menyentuhnya, Erika sudah keluar lebih dulu.
"Loh, Nak Erika?" Melihat dengan tatapan heran. "Kau, mau pergi?"
Erika tersenyum, "Iya, Bu. Hari ini aku harus bertemu client."
Kepala Bu Regina melongok ke dalam. "Elvan— mana?"
"Suamiku tadi buru-buru pergi karena ada urusan mendadak."
"Hah, kok saya tidak tahu?"
Erika hanya tersenyum tipis, padahal hatinya sangat sedih ketika mengetahui Elvan akan mengunjungi seseorang yang disinyalir adalah kekasih asli Elvan.
"Tapi, apakah Kau sudah sarapan?"
"Sudah kok, Bu. Tadi aku makan berdua dengan Elvan," jawabnya dengan mata mengembun, sementara bibir melengkungkan senyum.
"Begitu, ya?" Bu Regina sedikit tidak percaya.
Dia pasti berbohong. Elvan 'kan tidak suka padanya. Ternyata tidak hanya doyan makan. Perempuan obesitas ini rupanya suka mengarang cerita juga. (Batin Bu Regina.)
"Saya langsung permisi ya, Bu."
"Oh, oke Sayang, hati-hati di jalan. Dan kalau bisa lebih sering menginap di sini dengan Elvan."
"Pasti, Bu." Erika tersenyum, ia kembali berpamitan meninggalkan sang ibu mertua yang tengah menatapnya dengan pandangan remeh.
"Tukang halu!" cibirnya setelah Erika semakin jauh menuruni anak tangga.
Kembali ke meja makan… Regina menjelaskan kalau sepasang suami-istri baru itu telah pergi bersama.
"Katanya, mau lihat danau buatan yang ada di dekat komplek rumah kita. Habis itu langsung kembali ke rumah mereka."
Pak Wira diam saja. Tanganya bergerak naik sebelum menenggak segelas air mineral.
"Sudah lah, Yah. Ibu kan sudah bilang, kalau mereka tadi sarapan di kamar."
"Apakah mereka benar-benar datang bersama tadi malam?"
"T-tentu, Yah."
Pak Wira bergeming dengan tatapan meragukan.
"Nih, semalam Erika dan Elvan datang dengan tangan saling bertaut— duh, andai Ayah melihat kemesraan mereka berdua. Pasti Ayah akan bahagia," ujarnya berbohong.
Lusi yang duduk di sebelah pun cekikikan tanpa suara sebelum mendapatkan pukulan pelan dari ibunya di bagian lengan menggunakan sikut. Perempuan paruh baya itu tersenyum pada suaminya.
Antara percaya tidak percaya, nyatanya Pak Wira tak lagi bertanya. Ia langsung mengambil sendok untuk menikmati hidangan yang sudah mulai agak dingin sebab dari tadi menunggu anak dan menantunya.
Dalam hati, ia berharap anak baik itu diperlakukan baik juga oleh putranya seperti apa yang dikatakan oleh sang istri.
Ya, kalau benar itu yang terjadi maka ia akan bersyukur. Setidaknya hutang ketulusan yang senantiasa diberikan oleh koleganya akan terbayar lunas oleh cinta tulus Elvan untuk Erika.
Karena seberapapun uang yang ia gelontorkan tidak akan pernah bisa membayar kebaikan keluarga Hartono untuk kesembuhan putra kesayangannya itu selama masa kebangkrutannya dulu.
***
Aku akan pergi menemui wanita yang kau renggut posisinya. Tidak perlu mencariku jika kau masih punya rasa malu.
Kata-kata pria itu terngiang-ngiang. Erika menghapus kristal air yang melesat ke pipi.
Apa yang harus ku lakukan. Aku telah merenggut posisi wanita lain? Jadi saat ini Aku adalah perebut kekasih orang?
Erika kepikiran. Perasaan bersalah pada wanita itu mencuat.
Mumpung semuanya belum terlambat haruskan ia melepaskan Elvan. Tapi, pernikahan mereka baru satu hari apa itu tidak akan membuat orang tuanya kecewa? Lebih-lebih hatinya sekarang sudah mulai tertancap nama pria itu, yang dengan cepat menumbuhkan benih cinta dan sudah mulai timbul akar.
Sebuah dering panggilan membuat matanya yang fokus ke jalan jadi beralih sebentar ke gawai.
Mama memanggil…
Erika hanya perlu menekan tombol di earphone bluetooth, dan panggilan pun tersambung.
"Ya, Ma?" sapanya pada Mama di sebrang.
"Kau masih di rumah, putri cantikku?"
"Iya—" jawabnya berbohong.
"Kalau tidak keberatan. Mama ingin kau datang. Karena malam ini adalah perdana putri ku tidak tidur di rumah Mama dan papa. Jadi, Mama kepikiran sejak semalam sampai tidak bisa tidur."
Erika tersenyum, kedua netranya semakin menganak sungai.
"Aku akan langsung mengunjungi Mama. Tunggu aku, ya, Ma?"
"Iya, putri cantikku."
…
Beberapa menit berikutnya wanita gemuk itu sudah tiba di rumah utama keluarga Hartono. Dengan mengantongi rasa rindu walau baru satu malam tak bertemu, Erika langsung mencari sosok wanita yang hari-harinya hanya bisa duduk di kursi roda.
"Mama!" Panggilnya langsung menghampiri.
"Putri cantikku."
Di gampitnya pipi bulat Erika dengan kedua telapak tangan. Wanita itu tersenyum bahagia.
Padahal ia biasa melakukan perjalanan bisnis hingga berbulan-bulan. Namun baru kali ini, ia merasakan rindu pada ibunya melebihi lamanya perjalanan bisnisnya selama ini.
"Kau sudah makan?"
Erika menggeleng. Kedua mata Mama pun membulat sempurna.
"Belum?"
"Belum dua kali!" Erika menunjukkan kedua jarinya sambil tertawa agar tak menimbulkan pandangan buruk tentang suaminya.
"Astaga, anak ini."
Erika terkekeh. Perutnya yang kosong justru tidak sinkron dengan ucapannya, yang langsung mengeluarkan alarm dari lambung.
"Haduh– aku memang tidak bisa makan satu kali. Ini adalah jam makan pagi ke dua ku."
Mama geleng-geleng kepala. "Kalau begitu ayo makan yang banyak. Tapi sebelum itu—"
Kepala wanita itu menatap ke belakang tubuh Erika yang diikuti pula oleh wanita gemuk di hadapannya. Menoleh ke belakang.
"Mana suamimu?"
Erika bergeming, kembali menoleh pada ibunya. Setelah itu tersenyum kaku.
"Aku sengaja langsung meninggalkannya."
"Apa katamu?" Mama mendelik.
"Habis, aku rindu Mama." Memeluk lagi.
"Ya ampun, anak ini benar-benar ya?"
Erika yang menyandarkan pipi di pangkuan ibunya kembali berkaca-kaca.
Diusapnya kepala anak itu dengan penuh kasih sayang.
"Kau bahagia, 'kan?"
Erika mengangguk saja.
"Syukurlah. Karena tidak ada kebahagian seorang ibu selain melihat putri kesayanganya bahagia dengan pasangannya."
Bulir bening melesat begitu saja yang buru-buru di hapusnya.
"Mama sempat khawatir, Kau akan kesulitan. Tapi apapun itu, namanya menikah karena perjodohan pasti akan membutuhkan waktu untuk menumbuhkan cinta antara satu sama lain."
Benar, ini hanya soal waktu. Elvan hanya butuh mengenalku saja. Setelah waktu itu tiba, dia pasti akan mencintaiku. (Hati Erika mulai merasa lebih baik.)
"Omong-omong, Papa mu kemarin bilang ia sudah menyiapkan tiket bulan madu kalian keliling Eropa."
Bulan madu? Aku bahkan tidak kepikiran…
Erika kembali menaikan kepalanya. "Papa sudah menyiapkan?"
Mama mengangguk senang. "Kalian harus menghabiskan masa cuti untuk menguatkan ikatan hati kalian. Siapa tahu, pulang dari Eropa kalian bawa kabar bahagia."
Perempuan gemuk itu mengangguk senang. Bulan madu bersama Elvan?
Kruuuuuuk… perut Erika kembali berbunyi. Keduanya pun tertawa. Mama pun buru-buru mengajak putrinya untuk makan di rumah itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Bunda dinna
Erika dari keluarga konglomerat,,terhormat dan berpendidikan tapi dapat suami yg kurang kaya tapi minus etika
2024-01-24
1
Nurmalia Irma
yeeh nuduh Erika kang haluu laah itu andahh apppaaahhh..mengarang bebas yaa 🙄
2024-01-15
1
Bunda Aish
duh jangan naif ka, itu akan semakin menyakiti diri mu, makhluk di dunia ini terkadang memang tidak adil untuk orang yang berpenampilan di bawah standard mereka
2024-01-13
1