Malamnya…
Mobil yang dikendarai Erika berhenti di depan rumah dua lantai. Dari posisi mobilnya yang terparkir, wanita itu bisa melihat mobil Elvan yang baru saja tiba.
Seorang gadis berpenampilan seksi keluar dari mobil, bersamaan dengan Elvan juga sambil tertawa riang bersama.
Veni menyandar di body samping mobil tersebut. Sementara Elvan berada di depannya. Mengungkung tubuh ramping kekasihnya, mesra.
"Oh, Sayang— kau bisa saja!" Tawa samar terdengar dari bibir manis Veni.
Setelahnya, ia tidak mendengar lagi percakapan keduanya karena sangat lirih. Yang jelas mereka terlihat sedang berbincang mesra sambil saling menyentuh wajah.
Iri, sangat iri rasanya. Seharusnya posisi wanita yang menerima perlakuan manis dari Elvan adalah dirinya yang sudah jelas-jelas istri Elvan.
Perempuan itu memalingkan wajah ketika Elvan mencium bibir gadis itu. Bulir-bulir bening bercucuran, tatkala hati benar-benar merasakan ditikam belati pengkhianatan secara terang-terangan.
Hiks…
Erika meremas pakaian di bagian dadanya. Merasa bodoh ketika hanya bisa diam saja. Padahal ia punya wewenang untuk melabrak mereka berdua. Karena dia istri sah Elvan.
Terlebih ia punya kuasa untuk menghancurkan karir keduanya. Lebih-lebih Veni.
Belum lama ini, dia baru tahu. Kalau Veni menjadi brand ambassador produk makanan instan yang diproduksi perusahaannya. Bisa saja ia memecat Veni, dan mem-blacklist perempuan sialan itu.
Tapi, apakah yang dia lakukan tak akan membuat Elvan semakin membencinya? Bagaimana kalau apa yang ia lakukan itu justru membuat dia kehilangan Elvan?
Erika menggeleng kuat— ia tidak mau kehilangan laki-laki itu.
Elvan memang selalu melukai-nya dengan kata-kata pedas mengandung kebencian. Ia juga memiliki hubungan terang-terangan dengan wanita lain. Namun anehnya, semua keburukan yang dilakukan Elvan tak serta merta membunuh rasa cinta di dada perempuan obesitas itu.
Bahkan saat ia melihat dengan mata kepalanya sendiri. Elvan berciuman dengan Veni. Pun, masih belum mampu membuat pikirannya terbuka.
Perempuan itu menyalakan mesin mobilnya, dan pergi dari tempat tersebut dengan hati remuk redam.
Di sisi lain, Veni melepaskan kecupan di bibirnya. Sorot mata mengikuti laju mobil tersebut.
"Itu bukannya, mobil istrimu yang obesitas itu?"
Elvan menoleh sebentar. Kemudian kembali pada Veni.
"Dia memata-matai kita? Ya Tuhan aku jadi takut, karena dia sudah tahu rumahku sekarang."
"Sudahlah biarkan saja. Dia itu tidak akan berani macam-macam."
"Tapi kalau orang itu datang lagi, dan langsung menghajarku bagaimana?"
"Aku yang akan mengurusnya. Dia itu CEO bodoh, tidak akan bisa berbuat apa-apa setelah satu kali ku gertak."
Veni mengangguk, tampangnya terkesan khawatir. Padahal sejatinya tidak juga. Ia melakukan itu semata-mata demi mendapatkan simpati Elvan saja.
"Sudah malam, Sayang. Pulanglah–"
"Ck! Aku benci pulang. Kenapa tidak Kau izinkan aku menginap di sini?"
"Emmm, karena sudah lebih dari tiga malam kau tidur di sini. Jadi untuk kali ini pulanglah…"
"Jadi kalau sudah tiga malam kau harus mengusirku?"
"Aaah, bukan begitu." Veni mencium bibirnya satu kali. "Besok kita bertemu lagi— okay."
"Ck!"
"Jangan seperti itu, Elvan."
"Baiklah aku pulang. Sangat tidak sabar rasanya untuk lepas darinya dan menikah dengan mu."
"Hehe aku juga—"
Setelah berbasa-basi lama. Elvan pun pergi, mobilnya sudah bergerak mundur dan menjauh. Veni melambaikan tangan pada mobil Elvan.
Setelah mobil itu tak lagi nampak, Perempuan berambut panjang ini merasakan adanya getaran dalam tasnya. Sebuah panggilan telepon.
"Ya sayang? Ah… maaf ya, beberapa hari ini bibi ku tidur di sini—"
Sambil menerima telpon perempuan itu melangkah masuk ke dalam rumahnya sendiri.
***
Beberapa hari berlalu. Erika mulai mencari-cari info seputar diet di laman pencarian. Akibat ambisinya, ia sampai melupakan pola diet sehat yang seharusnya ia ambil.
Beberapa promosi obat pelangsing, baik yang muncul di beranda sosmed atau mungkin tak sengaja nampak di kolom komentar para artis langsung membuatnya tertarik.
"Langsing dalam waktu satu bulan tanpa olahraga. Ini sepertinya bagus dan cepat." Erika langsung menekan tombol beli tanpa berpikir panjang.
Dan saat obat-obat pelangsing itu sampai ia langsung mencobanya. Erika menghitung jumlah yang dikonsumsi lalu meminumnya.
Esok harinya entah berapa kali ia keluar masuk toilet karena mules. Tubuh Erika menyandar ke dinding saking lemasnya.
"Ya Tuhan, Aku bahkan tidak sanggup menopang tubuhku."
Brak! Brak!
Elvan menggedor pintu toilet dengan kasar.
"Hei, apa kau mati di dalam? Keluar, aku ingin pakai toiletnya."
Erika menoleh ke arah pintu dengan keringat sebesar jagung memenuhi wajah. Lalu berusaha sekuat tenaga untuk berjalan ke luar.
Dan saat pintu terbuka, Elvan berkacak pinggang.
"E-Elvan. Bisakah Kau membantuku. Tubuhku lemas sekali."
"Ck! Aku sudah kesiangan– menyingkir sekarang."
"Ta-tapi?"
"Ku bilang menyingkir sana!" Pria itu berusaha keras menarik tangan Erika untuk menjauh dari pintu. Setelah itu bergantian dengannya.
Detak jantung Erika terasa cepat. Pandanganya bahkan mulai berkunang-kunang. Perempuan itu mengambil satu langkah sebelum akhirnya tumbang.
–——
Samar-samar kedua mata itu menangkap plafon yang asing baginya, dan berangsur-angsur menjadi semakin jelas.
Wajahnya menoleh ke kanan ia melihat jendela yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
"Kau sudah sadar?" Tanya seseorang bersuara berat.
Erika kembali menoleh ke sisi kiri. "D-Dean?"
Nampak raut wajah kekecewaan di wajahnya. Pria itu menunjukan bungkusan berisi botol-botol kapsul obat pelangsing.
"Kau mengkonsumsi ini?"
"Emmm…" Erika tak bisa membantah. Pria itu pun menghela nafas.
"Sejak kapan?"
"Ba-baru semalam, aku mengkonsumsinya."
"Beruntung Kau langsung di bawa ke sini setelah mengalami diare akut. Efek dari mengkonsumsi obat sampah seperti ini."
Dean bangkit hanya untuk membuang obat-obatan tersebut.
"Jika tidak, Kau mungkin tidak akan bisa melihat dunia lagi."
Wajahnya yang pucat memunculkan sedikit kesedihan. Dean pun kembali duduk di kursinya.
"Bagaimana kau bisa tahu aku ada disini?"
"Ini hari keduaku bekerja. Dan aku melihat pasien gawat darurat yang wajahnya sangat ku kenal."
Erika termenung, matanya menganak sungai saat mengingat Elvan membencinya karena gemuk.
"Aku— ingin mencoba menjadi lebih langsing."
"Okay, itu bagus. Tapi, kenapa harus pakai obat pelangsing. Kau tahu, itu sama saja seperti obat pencahar. Yang dia ambil adalah kandungan air di tubuhmu. Dan itu sangat berbahaya."
Perempuan itu memejamkan matanya. Bulir-bulir bening pun berjatuhan.
"Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?"
Erika menggeleng dengan bibir terkatup rapat. Sementara air mata terus melesat ke pipi.
"Tidak mungkin jika Kau tidak ada masalah, Erika."
"Hiks! Orang yang ku cintai membenciku karena gendut, Dean—"
Pria itu bergeming, mendengarkan uneg-uneg kesedihan yang ditumpahkan Erika. Bahkan, hal yang tak pernah tersampaikan pun, kini tercurahkan tanpa tabir. Erika menceritakan kesedihannya selama menikah dengan Elvan yang baru hitungan bulan ini.
Tangan Dean terangkat, ragu-ragu menyentuh pucuk kepala Erika. Ia tak menyangka, hidupnya mentarinya semalang ini sekarang. Walau ia bergelimang harta, namun tidak dengan cinta.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Bunda dinna
Erika juga terlalu naif,,
2024-01-25
1
Yuliati Fakih
up thor
2024-01-14
1
Bunda Aish
apakah Dean jodoh Erika yang tertunda? karena terkadang kita harus merasakan pahitnya cinta sebelum ketemu jodoh yang sebenarnya
2024-01-14
1