Hidangan yang menjadi dingin

Dentuman musik bersuara keras yang diiringi sorak sorai para pengunjung klub menemani malam Elvan yang terasa suntuk.

Kehidupan yang biasanya dipenuhi warna seketika berubah monokrom setelah upacara sakral tadi di langsungkan. Bak ketiban sial, ia harus meninggalkan Veni yang cantik demi menikahi wanita berbody besar seperti Erika.

"Sialan!" umpatnya setiap kali mengingat senyum Erika yang menurutnya amat menjijikan. 

Pria itu menikmati minumannya dalam sekali teguk. Setelah itu menuang lagi isi yang ada di dalam botol. 

Triiiiiing… 

Dering ponsel membuatnya bersusah payah merogoh saku celana. Dilihat nama yang tertulis Si Babi dalam layar gawai tersebut. 

"Brengsek! Untuk apa Dugong jelek ini menghubungi ku. Dia pikir aku sudi menyentuh kulit badaknya itu?" 

Tak ingin terus-menerus diganggu pria itu langsung mematikan data seluler. Setelah itu kembali asik menikmati malam gemerlapnya di dalam bar. 

***

Di tempat lain, Erika tertegun. Ketika panggilan pertamanya tidak di respon oleh Elvan. Kemudian saat mencoba untuk menghubungi lagi, ponsel Elvan justru mati. 

Wanita dengan double  chin  di dagu terus berusaha menghubungi suaminya. Walau tetap saja usaha yang ia lakukan tak membuahkan hasil. 

"Kau kemana suamiku? Padahal makan malam sudah siap." 

Ditatapnya semua hidangan yang tersaji cantik di atas meja. Dengan di hiasi lilin-lilin yang memunculkan efek romantis. 

Kruuuuukkk… 

suara perutnya yang lapar membuat Erika menyentuh bagian tubuh yang buncit itu dengan kedua tangan. Benar, semua hidangan ini sebenarnya sudah menggugah nafsu makannya sejak tadi.

Namun Erika harus menahannya demi menunggu Elvan walau entah sampai jam berapa laki-laki itu akan pulang. 

"Mungkinkah, Dia sedang ke rumah orang tuanya mengambil pakaian?" 

Ia baru ingat, tadi Elvan amat kelimpungan mencari pakaiannya sendiri. Bisa jadi kan, supirnya lupa membawakan koper milik pria itu. Hingga ia harus mengambilnya sendiri.

"Iya, bisa jadi seperti itu. Paling perginya tidak lama, aku masih bisa menahannya." 

Erika tersenyum sambil meletakan lagi ponsel di atas meja. Tangannya bergerak membenahi rambutnya yang panjang sepunggung, tak lupa memeriksa riasan wajah demi memastikan penampilannya tidak berlebihan. 

Sudah menunggu lebih dari tiga jam. Pria itu tak kunjung kembali, hingga menimbulkan risau di benak perempuan dengan dress berukuran triple XL. 

Langkahnya bahkan kini terlihat mondar-mandir di sisi meja sambil memandang keluar jendela yang lebar serta tinggi menjulang. 

Kenapa suamiku belum pulang juga. Dia pergi kemana ya? Atau jangan-jangan ada apa-apa di jalan?

Erika menggigit ujung kuku ibu jarinya. Menanti sang suami yang tak ada kabar, tiba-tiba pergi begitu saja sejak sore tadi.

Sepertinya aku harus menghubungi ibu mertua. Agar pikiran ku tidak kemana-mana.

Tergopoh mendekati meja makan, tangan gempal Erika menyambar ponsel. Setelah menemukan nomor sang ibu mertua Erika gegas menekan tombol panggil. 

Deru panggilan melengking beberapa saat, suara wanita paruh baya pun menyapa dari seberang. 

"Halo, ibu. Ini aku, Erika." 

"Oh, Nak Erika. Ada apa, Nak?" 

"Maaf, Ibu. Erika ingin tanya, apakah Elvan di rumah ibu?" 

Yang di seberang terdiam sejenak sebelum menjawab, "iya, Nak. Tadi Elvan datang setelah itu tiba-tiba merasa tidak enak badan. Sekarang sedang tidur."

"Tidak enak badan?" Erika mendadak cemas. 

Elvan ku pasti kelelahan setelah mengikuti serangkaian acara pernikahan sejak kemarin. 

"Kalau begitu aku langsung kesana saja, ya?" 

"Aaah, menantuku. Sebaiknya tidak usah. Ini sudah terlalu malam, sebaiknya Kau istirahat. Dan datanglah besok pagi—" 

"Tapi aku tidak akan tenang kalau tidak datang malam ini juga, Bu." 

"Tenanglah, Elvan baik-baik saja. Dia hanya butuh istirahat. Jadi tidak perlu memaksakan diri untuk datang malam-malam. Kau juga pasti lelah, 'kan?" 

"Iya, Bu," jawabnya lirih.

"Ya sudah, tidak perlu khawatir. Sekarang istirahat saja. Sampai bertemu besok." 

"Anu— bu?" Belum selesai bicara, panggilan telepon sudah terputus. 

Erika memandang layar gawai yang sudah menampilkan menu utama. Helaan nafas terdengar pilu. Ia merasa bersalah karena tidak peka dengan kondisi fisik suaminya tadi. Padahal sebagai seorang istri, seharusnya dia paham. 

"Aku benar-benar bukan istri yang baik." Erika tertunduk menyalahkan diri sendiri. 

Kini dirinya sudah kehilangan nafsu makan, padahal sejak tadi perutnya terus memunculkan kode lapar. 

Greeeeeeg… suara kursi yang terdorong, wanita itu bangkit kemudian pergi meninggalkan seluruh hidangan lezat yang telah menjadi dingin di atas meja. 

***

Di rumah Elvan… 

Seorang wanita paruh baya nampak kebingungan melihat Elvan yang tiba-tiba pulang diantar temannya dalam kondisi mabuk. 

Beruntung, sang suami sudah terlelap sejak satu jam yang lalu. Jadi Beliau bisa dengan mudah membawa putranya masuk kedalam rumah tanpa mendengar ocehan kemarahan Suaminya karena seharusnya anak itu ada di rumah bersama istrinya.

Tapi sekarang, Elvan justru telah pulas, tengkurap di atas ranjangnya sendiri.

"Kasian putraku…" menatap iba sambil menyelimuti tubuh Elvan.  Ia pun bangkit dan memutuskan untuk kembali ke kamarnya sendiri.

Berikutnya Regina dibuat terkejut ketika keluar kamar sudah mendapati Lusi di depan pintu. 

"Ya, Ampun. Kau membuat ibu terkejut." 

"Kak Elvan di dalam, ya?" tanyanya ingin tahu. 

"Biarlah, Kakakmu pasti butuh waktu untuk menerima wanita gendut itu." 

"Ckckck, malang sekali. Dia harus meninggalkan Kak Veni yang seorang model, demi si buntelan karung. Hahaha…" 

Lusi tertawa mengejek. Sementara sang ibu hanya diam saja turut menyesalinya. Karena sejatinya ia juga tidak setuju putra tampannya menikah dengan gadis itu. Walaupun Erika sendiri adalah seorang anak konglomerat terkaya nomor tiga di Indonesia. Sang pewaris group company generasi kelima di keluarga Hartono.

"Haduuuuh, kalau aku jadi Kak Elvan pasti sudah bunuh diri." 

"Huuuush! jangan bicara seperti itu. Kalau kakakmu dengar dan dia benar-benar melakukan itu, bagaimana?" 

Lusi cekikikan sambil menutup mulutnya. 

"Omong-omong, Kau dari mana jam segini baru pulang?" Regina berkacak pinggang. 

"Jalan-jalan lah, aku kan masih muda–" balasnya. 

"Dasar Kau ini, suka sekali melempar batu di danau yang tenang. Kalau Ayahmu marah lagi bagaimana?" 

"Biar saja… mulai saat ini aku harus belajar menentang Ayah. Karena aku tidak mau, bernasib sama seperti Kak Elvan. Yakni melakukan pernikahan politik demi agar perusahaan Ayah tidak bangkrut. Bukankah itu sama saja menjual anak?" 

"Tutup mulutmu, memangnya orang tuamu ini apa? Sampai menjual anak. Kau hanya tidak paham situasi…" 

Gadis di hadapannya merespon malas. Seperti tak ingin mendengarkan apapun yang sedang berusaha dijelaskan sang ibu. 

"Sudah balik saja ke kamar mu. Ibu sudah mengantuk. Lagi pula besok pagi kakak iparmu itu pasti akan datang ke rumah ini."

"Ya ampun… sepertinya aku harus berlindung. Khawatir rumah ini akan roboh ketika kaki gajahnya menapak di lantai rumah ini." 

"Hei-hei, jangan begitu." Ibu Regina turut menertawakan, walau setelahnya berusaha keras meredam. "Sudah tidur saja sana. Jangan bicara yang aneh-aneh. Intinya besok Kau harus menjaga sikap. Okay!"

"Yaaaa…yaaa…" Lusi melenggang pergi. Meninggalkan sang ibu, yang sepersekian detik berikutnya menyusul.

Terpopuler

Comments

Hani Ekawati

Hani Ekawati

Ibu mertua sama ipar Erika ternyata julid kaya mulut tetangga 😂

2024-07-25

0

Maryati Yati

Maryati Yati

kasihan etika semoga kamu cepat sadar

2024-02-24

0

Bunda dinna

Bunda dinna

Erika putri konglomerat tapi baik hati dan tulus..ternyata keluarga Elvan g baik

2024-01-24

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!