Mentari kehidupan

Seorang pria menjabat tangan para rekan kerja dan beberapa pasien yang mengunjunginya. 

Ya, hari ini adalah hari terakhir pria itu bekerja di rumah sakit ini, karena besok ia akan kembali ke negara asalnya dilahirkan. 

"Semoga kebaikan menyertai hari-harimu di Indonesia, Mr. Dean." 

Seorang wanita paruh baya sengaja datang demi memberikan bunga sebagai tanda perpisahan. 

"Terima kasih, Mrs. Beatrice." 

"Sama-sama. Jujur, saya menyempatkan datang ketika tahu Dokter ku akan pulang ke Negara asal." 

"Saya jadi tersanjung mendengarnya. Seharusnya Anda tidak perlu repot-repot untuk datang ke sini selama masa pemulihan." 

"Tidak masalah, justru saya akan menyesal ketika datang lagi, dan Anda sudah tidak menjadi dokter saya disini."  

Deandra tersenyum ramah. Satu tangannya menempel di dada, mengangguk sekali. 

"Saya hanya ingin menyampaikan itu saja. Semoga Tuhan masih memberiku kesempatan untuk kita bisa berjumpa lagi dengan Dokter." 

"Aamiin, mudah-mudahan saja demikian." 

"Oh, Dokter, semoga Kau semakin sukses di tempat yang baru—" 

Deandra menggenggam tangan ibu renta itu. Jujur, sebenarnya Dia betah di sini. Lingkungan kerja yang nyaman, serta orang-orang yang baik. Namun, bukankah setiap kepergian pasti akan ada masa untuk kembali. 

Sekarang kontrak kerjanya habis, ia juga menolak untuk memperpanjang kontraknya, sebab keinginan kembali yang tinggi setelah bertemu lagi dengan seorang wanita yang ia anggap mentari kehidupan. 

Pukul 15:00…

Erika merenggangkan tubuhnya setelah sibuk meng-acc data dari karyawan. 

Diatas meja, tidak hanya terkumpul file, namun beberapa bungkus sample makanan ringan, serta mie cup yang telah kosong nampak turut memenuhi meja kerjanya. 

Wanita bertubuh tambun bangkit, berniat untuk mengisi gelasnya yang telah kosong sekaligus membersihkan sampah-sampah yang sudah tak terpakai. 

Baru beberapa langkah ia langsung terjegal salah satu kakinya sendiri. Hingga tubuhnya pun tak bisa dikendalikan. 

"Kyaaaaaaaaaa!"

Bruuuuuuuukkk… 

"Aaaargh!" Erika mengerang kesakitan. 

Tubuhnya bahkan sulit untuk bangkit akibat sedikit terhimpit dua kaki meja yang berbeda. 

"Ya Tuhan, sakit sekali," rintihnya setelah jatuh dengan keras. Bahkan bagian keningnya sampai mengeluarkan darah akibat terhantam ujung meja. Beruntung ia masih dalam kondisi sadar. Walau kepala terasa pusing sekali.

Sambil memegangi apapun yang ada di sekitarnya, Erika bersusah payah menggerakan tubuh untuk bangun. Namun sayang, usahanya tak berhasil ia bahkan tidak bisa membalikan tubuh itu atau mungkin hanya sekedar memiringkannya saja.

"Tolooong! Adakah orang di luar?!" 

Teriak Erika dari dalam. Namun karena ruangannya kedap suara. Jadi sangat mustahil orang di luar mendengar teriakannya. 

"Ya Tuhan, sulitnya menjadi orang gemuk." Perempuan itu merintih, sekali lagi mencoba untuk berdiri. 

Beberapa detik dalam posisi yang sama, perempuan itu mulai lelah. Hendaknya menghubungi seseorang namun ponsel berada jauh dari jangkauan.

"Bagaimana ini?"

Klaaaang suara pintu terbuka. Erika pun menghembuskan nafas lega. 

"Kak! Kak Erika?" 

"S-siapa? Aku ada di balik meja." 

Perempuan bertubuh langsing itu buru-buru mendekatinya. 

"Oh, Lusi… syukurlah. To–" 

"Kak, tolong aku. Bantu aku, Kak." Lusi yang tidak begitu memperhatikan kesulitan Erika langsung memotong saja. 

"Bantu apa?" 

"Aku harus bayar barang ini. Tadi aku belanja, tapi ternyata kartu kreditku sudah limit bulan ini." 

"Ya ampun…" 

Erika yang masih dalam posisi tengkurap dan berdarah-darah di keningnya sama sekali tidak diperhatikan oleh gadis muda di itu. 

"Tolong bantu aku, Kak. Ku mohon–" 

"Ba-baiklah. Tapi sebelum itu, bisakah kau membantuku untuk bangun?" 

Barulah dari sana Lusi sadar. Jika perempuan bertubuh besar ini sedang mengalami kesulitan. Sangat konyol, bukan?

Membantu Gajah bengkak ini? Yang benar saja— pikirnya ogah-ogahan.

"Aku jatuh tadi, dan sekarang aku kesulitan bangun." 

"Aaah,  nanti pasti akan ku bantu. Tapi tolonglah. Bayarkan yang ini dulu,ya?" pintanya memaksa. 

Erika pun menghela nafas. "Ya sudah, tolong ambilkan ponsel ku di atas meja." 

"Dengan senang hati!" Lusi bangkit, buru-buru mengambil ponsel, kemudian menyerahkannya pada si pemilik. "Ini, Kak." 

"Terima kasih. Sekarang sebutkan, berapa yang kau butuhkan?" 

"Kecil kok, Kak. Hanya tiga puluh juta." 

Erika tersenyum. Ia menghubungi pihak Bank untuk melakukan transaksi ke nomor rekening yang sudah di kirimnya. Tak berselang lama, notifikasi masuk ke ponsel Lusi. 

"Kyaaaa… sudah masuk!"

"Syukurlah."

"Makasih, Kak Erika. Kau memang yang terbaik." 

"Sama-sama, cantik. Omong-omong, bisa tolong bantu aku bangun sekarang, Lusi?" 

Lusi meredupkan senyum bahagia-nya, berganti menjadi senyum malas. 

"Sepertinya kalau hanya aku sendiri tidak akan kuat, Kak. Emmm, begini saja. Bagaimana kalau aku keluar dulu untuk cari bantuan?" 

Erika mengangguk setuju, membiarkan gadis itu keluar meminta bantuan. 

"Baiklah tunggu di sini, ya?" 

"Ya!" Senyum Erika mengembang sempurna. Ia merasa beruntung memiliki adik ipar sebaik Lusiana. 

Di luar ruangan CEO, Lusi langsung menerima panggilan telfon. 

"Ya, Nanda?" Sapanya pada wanita di seberang.  "Ahhh, tentu saja aku akan membayarnya. Iya! ini sedang jalan, tidak sabaran sekali, sih!" 

Langkah Lusi kembali berayun memasuki lift. Dan melupakan janjinya untuk mencarikan orang yang bisa membantu Erika.

Kembali ke dalam, perempuan bertubuh tambun itu masih menanti Adik iparnya datang sambil membawa bantuan. Namun hingga lebih dari dua puluh menit, anak itu belum juga muncul.

"Lusi kemana, ya? Tubuhku sudah tidak nyaman sekali," keluhnya yang sudah terlalu lama berada di atas lantai kantor. 

Karena tak ingin menunggu lebih lama lagi, Ia pun memilih untuk menghubungi sekretaris pribadinya. Yang tak berselang lama, seorang wanita bersama lima orang pria datang. 

"Ya ampun, Bu Erika. Apa yang terjadi?" 

Di tempatnya Erika tersenyum malu, kelima orang pria tadi langsung mengangkat tubuh besar Erika secara bersamaan. 

Sekretaris Wina meletakan segelas air mineral di hadapan Erika yang sudah berhasil dievakuasi. Serta diobati bagian keningnya yang hanya lecet.

Kini wanita itu sedang duduk di sofa, sementara sekretarisnya duduk di sofa yang lain.

"Bu Erika sudah lama dalam posisi seperti tadi?"

"Ah, tidak… baru sebentar," jawabnya ceria. 

"Syukurlah, beruntung ibu memegang ponsel." 

"Hehehe…" Erika terkekeh. 

Apakah tadi Lusi lupa ya? Bisa jadi iya, soalnya dia tadi buru-buru. Tapi tidak apa. Aku tetap berterima kasih karena Dia aku jadi memegang ponsel dan bisa langsung meminta bantuan. 

Perempuan bertubuh tambun itu kembali menenggak minumannya hingga habis. Dimana gelas kosong itu langsung diisi kembali oleh Sekretaris Wina. 

*** 

Malam kembali datang… Erika sudah menyiapkan berbagai keperluan Elvan. Karena pria itu memiliki usaha alat kebugaran sekaligus instruktur fitnes, sudah pasti otot-ototnya itu akan butuh relaksasi. 

Erika menyiapkan bak mandi, handuk, sandal kamar, pakaian, dan lain sebagainya dengan penataan yang pas. 

"Semua sudah disiapkan, tinggal menunggu Elvan pulang," gumamnya senang. 

Malam pun semakin larut. Elvan tak juga kembali, kecemasan muncul di benak perempuan itu. 

Ragu-ragu ia pun memilih untuk menghubungi suaminya. Menanyakan apakah dia baik-baik saja. 

Menunggu deru panggilan itu berubah jadi suara Elvan. Erika berdebar—

"Ya?" Seorang wanita menyapa. Senyum Erika pun memudar seketika. 

"H-halo?" 

"Ada apa?" tanya Veni di seberang. 

"Kau? K-kenapa Kau yang menerima panggilan ini. Mana Elvan?" 

"Elvan tidur—" jawabnya dengan suara serak. Sepertinya perempuan ini juga baru bangun tidur. "Kenapa?" 

"Kenapa, katamu? Harusnya Elvan sudah pulang!" 

"Apa sih babi satu ini." 

"B-babi?" 

"Dengar ya Bu CEO. Apa selama ini Kau tidak menyadari ketidaksukaan Elvan padamu? Atau memang, dasarnya Kau yang pura-pura tidak menyadari."

Erika mengerutkan kening. Kedua matanya merah nanar menahan gusar. 

"Kau itu seharusnya berkaca. Mana mungkin ada laki-laki mau menyentuh kulit badak seperti mu." 

"M-mulutmu terlalu jahat!" 

"Mulutku jahat? Saya rasa selama ini tidak hanya aku saja yang memandangmu demikian." 

Tangan Erika terkepal. 

"Sadarlah, kau itu tak akan memiliki tempat di hati Elvan. Daripada menyiksa batinnya, lebih baik kau meminta cerai saja."

Menyiksa batin? Erika terpekur. Pantas laki-laki itu tak pernah bahagia di dekatnya. Jadi selama ini ia amat tertekan.

"Semoga Kau sadar, Nyonya CEO. Karena Kau sudah menghancurkan hidup orang lain!"

Tut… tut.. tut… panggilan terputus. Perempuan bertubuh besar itu pun menitikkan air matanya. 

Terpopuler

Comments

Bunda dinna

Bunda dinna

Erika terlalu naif menurutku,,

2024-01-25

1

Bunda Aish

Bunda Aish

ayolah Erika sudah cukup kamu dihina dan dimanfaatkan, berhentilah membentengi dirimu sendiri dengan ke'naif'an. 😟

2024-01-13

1

Mrs. Ren AW

Mrs. Ren AW

pasti erika yg jadi mentari kehidupan dean

2024-01-11

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!