Pagi harinya Elvan dikejutkan dengan kehadiran mertuanya. Tuan Sena Hartono, seorang Presiden Direktur di Hartono Group. Dan juga Istrinya Fransiska.
"T-Tuan S-Sena?"
Gelagapan, padahal rencananya pagi ini ia akan menjemput Veni untuk melakukan perjalanan ke puncak serta menghabiskan masa cuti di sana.
Pria berwajah teduh nan wibawa terkekeh. Begitu pula dengan wanita berambut pendek sebahu yang sedang duduk di kursi roda.
"Apa kejutan Kami berhasil?"
Elvan tersenyum kaku. Sial, kenapa tiba-tiba mereka di sini. Sekarang bagaimana caranya aku bisa pergi?
Mengetahui kehadiran orang tuanya, Erika berjalan tergopoh mendekati mereka. Peluk cium di berikan secara bergantian. Suasana rumah yang semula hampa mendadak hangat akibat kehadiran dua orang kesayangannya.
"Papa, Mama. Kenapa tidak memberi kabar saat hendak kemari?"
"Sengaja kami ingin berkunjung untuk melihat kondisi kalian," jawab Fransiska.
Erika membulatkan bibirnya. Ia benar-benar senang melihat kedua orang tuanya datang hari ini. Berbeda dengan Elvan yang justru kebingungan sendiri.
"Omong-omong, Kau mau kemana, Nak. Sepagi ini sudah terlihat rapi?" tanya Tuan Sena pada Elvan yang masih mematung di tempatnya.
"S-saya?"
"Suamiku hendak membeli bubur, Pa. Tadi aku minta dibelikan bubur di resto langgananku," potong Erika membantu suaminya.
"Beli bubur, dengan membawa koper?" tanya Pria paruh baya itu lagi.
Elvan semakin pucat, ia tidak bisa menemukan alasan pas untuk menutupi rencananya menghindari waktu berduaan bersama Erika di rumah ini.
Kalau menjawab ada meeting di luar kota, sepertinya tidak akan di percaya.
"Emmm— itu koper milik teman Erika, Pa," jawab Erika lagi.
"Koper teman? Kok, bisa ada padamu?"
"Ya, waktu perjalanan ke Paris, aku meminjamnya di sana. Papa tahu aku bawa barang banyak saat pulang, jadilah aku meminjam punya temanku itu."
"Oh, begitu ya?" Papa manggut-manggut.
"Kau ingin langsung jalan, Suamiku? Pergilah—" ucapnya mempersilahkan.
Pria itu pun melirik ke arah perempuan yang terlihat amat berusaha untuk membantunya saat ini.
Dia pasti sedang berada di atas angin. Merasa telah menjadi pahlawan karena menolongku padahal itu sangatlah tak berarti apapun. (Elvan)
Sebenarnya Erika berat saat mengatakan itu. Namun ia tidak mau kesenangan suaminya tertahan di sini. Sudah cukup dirinya memenjarakan Elvan dalam pernikahan yang amat ia benci. Ia hanya tak ingin membuat hidupnya sulit selama masih bersamanya.
"Maaf, bukan Papa dan Mama melarang mu pergi. Namun, kalau hanya sekedar beli bubur dan mengembalikan koper. Papa rasa, Asisten Papa bisa melakukannya. Biarlah, Elvan di sini saja."
Pria itu semakin pucat pasi di buatnya. Erika yang menyadari ketegangan suaminya pun berpura-pura mengeluarkan ponsel.
"Emmm, Sayang. Temanku bilang kopernya biar diambil nanti sore saja. Jadi kita tidak perlu mengantarnya."
Lagi-lagi Elvan terselamatkan. Perempuan itu buru-buru mengalihkan perhatian kedua orang tuanya ke yang lain. Tangan gempal Erika melingkar di lengan suaminya yang masih mematung. Setelahnya mengajak mereka untuk duduk di sofa sambil membicara
Menit-menit bergerak amat lambat. Elvan sebenarnya sangat risih ketika dipegang seperti ini. Tak suka juga berpura-pura manis di depan mertuanya. Semua ia lakukan hanya di landasi rasa segan saja pada Tuan Sena yang pernah ia anggap seperti ayahnya sendiri.
Sebuah amplop coklat di letakan papa. Keduanya mematung dengan fokus terarah pada amplop tersebut.
"Seharusnya kalian sudah berangkat sejak kemarin. Namun semuanya baru selesai semalam."
Elvan yang tidak paham hanya membisu saja. Berbeda dengan Erika yang merasa senang karena ia sudah tahu dari ibunya kemarin.
"Tidak apa, waktu cuti kalian masih panjang. Jadi berangkatlah kalian besok untuk berbulan madu. Habiskan masa cuti pernikahan kalian sepuasnya di berbagai belahan Eropa."
Deg! Kedua mata Elvan membulat. Satu tangannya mengepal kuat. Erika sendiri merasakan lengan yang tegang itu. Ia menoleh, dan mendapari urat leher pria itu juga turut menegang.
Sepertinya Elvan sangat marah karena hal ini.
"P‐Pa?" Lirihnya sebelum di potong oleh sang Ayah.
"Bersenang-senanglah kalian berdua. Papa dan Mama sangat menantikan kabar bahagia dari kalian setelah ini," tuturnya sambil merangkul pundak istrinya.
Erika semakin merasakan kemarahan Elvan yang ia lihat dari gestur tubuh suaminya. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Melihat kedua orang tuanya yang bersemangat menyiapkan paket bulan madu keliling Eropa cukup membuat perempuan itu tidak tega jika harus menolaknya walau dengan alasan apapun.
***
Braaaaaakkk….!
Elvan melempar kopernya sendiri dengan amat keras. Hingga membentur tembok, dan sebagiannya retak.
Erika yang melihat itu terkejut bukan kepalang. Bahkan kakinya sendiri menjadi kaku di tempat.
"Sialan! Tidak puaskah mereka membuatku terpenjara di kandang ini? Tidak puaskah kalian, brengseeek!"
Tak cukup melempar kopernya sendiri ia mengambilnya lagi lalu membanting benda tersebut berkali-kali. Hingga membuat perempuan itu buru-buru menahannya memohon ampun sambil menangis tersedu-sedu.
"Tolong jangan seperti ini. Tolong maafkan keluargaku! Ku mohon–"
"Aaaarghhh!" Elvan menepis tangan gempal Erika kasar. "Kenapa orang sepertimu harus ada di dunia ini? KENAPA MEREKA HARUS MELAHIRKAN ANAK PEREMPUAN JELEK SEPERTIMU?!"
kedua mata perempuan itu semakin berlinang. Dadanya seolah di tikam sembilu berkali-kali.
"Sungguh, jika mereka ingin membahagiakan putrinya? KENAPA HARUS MENGORBAKAN KEBEBASAN ORANG LAIN!"
"Ma–maafkan. Maafkan aku, Elvan." Isaknya.
"Aku sampai tidak habis pikir, mereka bahkan mengharapkan kabar bahagia dari kita? Apakah mereka tidak sadar seperti apa dirimu selama ini?? Hanya melihatmu saja aku muak, sangat-sangat muak. Apalagi menyentuhmu… cih! Aku lebih baik bunuh diri dari pada menghamili wanita sepertimu!"
Butiran-butiran bening semakin deras melesat di kedua pipi tembam Erika. Kata-kata yang keluar dari mulut Elvan benar-benar sudah keterlaluan.
Nafas pria itu naik turun. Berkacak pinggang memunggungi wanita yang sesenggukan di belakangnya.
"E–Elvan," hati-hati memanggil. Pria itu tak menjawabnya. "Kau tidak harus pergi denganku besok. Biarlah aku berlibur sendiri, dan akan ku pastikan keluarga kita tidak akan ada yang tahu kalau kita tidak pergi bersama."
Pria itu masih bergeming, namun ide yang di cetuskannya lumayan juga. Biarlah si babi pergi sendiri. Sementara dia berlibur berdua dengan Veni.
"Bagaimana?" Menanyakan sekali lagi dengan suara seraknya.
"Terserah Kau saja. Intinya aku tidak sudi pergi dengan mu." Pria itu langsung melenggang pergi. Meninggalkan Erika yang kembali sesenggukan di dalam kamar.
Perempuan itu meremas pakaian di bagian dadanya. Berjalan pelan mendekati ranjang sebelum menghempaskan bokongnya ke permukaan kasur yang empuk. Ia tidak pernah menyangka akan menjalani kehidupan pernikahan yang seperti ini.
Dan lagi, apa salahnya sehingga laki-laki itu harus membenci dirinya sampai seperti ini? seharusnya kalaupun Elvan tidak menyukainya sejak awal, kenapa pula ia harus menerima perjodohan ini?
Ini ujian awal pernikahan, bukan? Mungkinkah orang-orang juga merasakan hal yang sama?
Ia masih berharap akan ada masa-masa manis setelah ini. Walau entah kapan. Dan ia ingin terus bertahan, sampai masa bahagia itu tiba menyapanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Maryati Yati
berubahlah etika buatlah dirimu semakin cantik
2024-03-12
1
Bunda dinna
Body shaming memang g boleh tapibErika juga harus berfikir dari segala arah..jadikan cambuk untuk lbh baik
2024-01-25
1
Nurmalia Irma
padahal zaman sekarang kan banyak cewek yg body big size tapi wajahnya cantiiik
2024-01-15
1