Arthur bergegas menutup gudang, menyusul langkah Deria.
Sementara di ruang tamu yayasan, Adams menoleh menatap sisi kiri, melihat raut wajah Miler penuh tekanan berjalan mendekati.
"Bukankah seharusnya wajahmu itu terlihat senang? Kenapa justru malah sebaliknya?" sapa Adams menyambut kembalinya Miler.
"Sedikit sakit kepala, mungkin karena kebanyakan minum," singkat Miler terduduk menyandarkan kepala di bantalan sofa.
Waktu terus berputar, jarum jam menunjuk angka 5 pagi.
"Dari tadi gak tidur? Kirain sudah tidur lelap," lanjut Miler masih memicingkan pandangan.
"Kalau aku tidur dan kamu gak kembali, siapa yang bakal berjaga disini?"
"Kalau begitu, aku duluan saja yang tidur, kita bergantian shift, kepalaku sudah terlalu berat."
"Kamu pikir ini sudah jam berapa? Pakai bilang gantian shift jaga. Kalau ngantuk, yasudah tidurkan, aku masih sanggup berjaga sendiri," pungkas Adams mengambil koran di meja.
Kembali ke sisi Max dan Larsen.
"Aku sudah yakin sebelumnya akhir kita bakal seperti ini. Kalau saja bukan karena paksaanmu itu, takkan mungkin begini jadinya," ketus Max berdiri di halte.
Max dan Larsen menunggu taksi yang tak kunjung lewat. Setelah kalah total dalam perjudian, meski keduanya hanya mengenakan kolor bertelanjang dada, itu termasuk beruntung bila di banding tak mengenakan apapun.
"Bukannya justru di awal permainan itu kamu yang jauh lebih semangat di banding aku?" balas Larsen membuka dompet kosong.
"Ya setidaknya tinggalkan sedikit uang buat berjaga-jaga, jangan semua di pertaruhkan," lanjut Max merangkul tubuh, menggigil karena dinginnya embun pagi.
Larsen menoleh kebawah, melihat puntung rokok di tepi jalan, langsung mengambilnya, "Namanya juga sudah takdir, anggap saja ini bagian kenangan di sela tidak adanya kesibukan," lanjutnya menghembuskan kepulan asap.
"Takdir takdir, ini mah bukan takdir, tapi ulah diri sendiri!" sindir Max menyodorkan tangan, meminta sedikit hisapan rokok Larsen.
"Giliran kalah saja, ngedumel. Coba kalau menang, berasa jadi dewa judi!" pekik Larsen memberikan sisa rokok tersebut.
Terus menunggu, namun tak menemui satupun taksi yang beroperasi. Akhirnya, mereka memutuskan menaiki sebuah bis setelah sepakat akan membayar ketika sampai di tempat tujuan.
"Menurutmu, kita seperti orang gila gak?" bisik Larsen memperhatikan pandangan para penumpang berpusat padanya.
"Orang gila sekalipun, bakal marah jika di samakan dengan kita," cibir Max tetap stay cool walau dalam kondisi berdiri.
Menempuh jarak 1 jam lebih, keduanya tiba kembali di Colmar. Larsen bergegas berlari menuju toko untuk segera mengambil uang, meninggalkan Max sebagai tawanan bis.
"Tuh, lihat, dia kembali datang. Aku bilang juga apa, kami tuh bukan orang gila, kami begini hanya karena kalah taruhan saja," pekik Max pada supir Bis.
"Untung saja dia kembali, kalau dia kabur, bakal aku kirim kamu ke pihak berwajib!" balas supir tersebut menerima bayaran dari Larsen.
Setelah membayar biaya tersebut, keduanya lanjut berjalan santai. Meski suasana ramai seperti biasa menyelimuti Colmar di pagi hari, di iringi gelak tawa pandangan berfokus menatap mereka, sedikitpun tak menjatuhkan mental keduanya.
"Apakah media bakal meliput kita?" ucap Larsen tersenyum menyapa anak-anak kecil penduduk sekitar berlarian.
"Media mana? Lagian apa yang bakal media beritakan? Gak perlu mikir yang aneh-aneh, bisa sampai dengan selamat saja...sudah syukur."
"Yah...mungkin media akan memberitakan, tentang kisah dua pria mesum yang sangat meresahkan."
"Kalau saja pria tua berkumis belanda itu tak bermain curang, pasti kita yang menang!"
"Masih belum menyerah? Masih ingin berakhir dengan yang lebih parah dari ini? Lebih baik sudahi saja, hal semacam itu gak bisa untuk terus di jalani," pekik Larsen memalingkan wajah kala berselisih dengan seorang wanita.
Larsen terus menasehati Max akan rasa pantang menyerah dalam dirinya. Max tak membalas ocehan Larsen, sembari kaki tetap melangkah.
"Coba pikirkan baik-baik lagi, masa depan kita masih panjang, bagaimana kalau pundi-pundi uang ataupun harta yang kita kumpulkan...semuanya habis di lingkaran itu?" lanjut Larsen terus berupaya menyadarkan pikiran Max.
"Tenang saja, kali ini kita gak bakal keluarin modal sedikitpun."
Larsen menaikan satu alisnya, "Bagaimana caranya?"
Max menoleh sisi kanan, menatap Larsen penuh keyakinan, "Avin."
Mendengar nama Avin, Larsen sedikit mengerti tentang apa yang ada dalam benak Max, "Oke deal!"
Disisi lain, Delson yang sedang bersiap mengemas keperluannya.
"Aku hanya meminta satu hal, jangan terus bersedih tentang hal yang kita bicarakan tadi malam," ujar Delson memakai dasi berdiri di depan cermin lemari.
"Aku tau kamu itu pria bajingan! Aku tau kelakuan busukmu di belakangku seperti apa! Tapi...meski aku mengetahui semuanya, aku gak tau kenapa cinta ini tetap berdiri kokoh untukmu!" batin Jean masih terbaring di kasur.
"Iya, apapun aktivitas yang akan kamu lakukan di luar sana, tetap selalu hati-hati dalam menjaga diri," balas Jean perlahan duduk.
Selesai memakai dasi, Delson berjalan menuju pintu kamar, "Kamu tidak ikut sarapan? Seperti biasa, aku ingin kamu selalu menenami sarapan pagiku."
Jean yang masih mengenakan piyama, berjalan mendekat, kemudian bersamaan menuju meja makan.
"Oh iya, selama aku pergi nanti, apa tidak sebaiknya kamu bawa saja teman-temanmu itu untuk menginap beberapa hari disini?" lanjut Delson menuruni anak tangga.
"Tidak perlu, lagian untuk apa?"
Delson perlahan duduk berhadapan dengan Jean, "Yah...setidaknya dengan kehadiran mereka, kamu gak bakal merasa kesepian sampai nantinya aku kembali."
"Sekarang aku belum kepikiran, tapi nanti jika suasananya berubah dan aku merasa bosan, tidak ada salahnya lakuin seperti yang kamu ucap itu."
"Baguslah jika seperti itu."
Berselang 40 menit kemudian, setelah selesai menyantap hidangan pagi hari, Jean terus mendampingi Delson hingga berada di halaman parkir mobil.
"Ingat, utamakan keselamatan dalam beraktivitas," ujar Jean menyerahkan koper pakaian.
"Iya, aku pastikan untuk selalu memberimu kabar di setiap saat," balas Delson mencium kening Jean berlalu memasuki mobil.
Sementara disisi lain, pukul 9 pagi, Niki tiba di yayasan bermaksud menemui Reus.
"Reus ada?" ujar Niki pada Deria sesekali melirik ke arah Adams dan Miler yang masih tertidur pulas.
"Ada, Bu. Barusan masuk kedalam ruangannya. Sebelumnya sudah ada membuat janji?"
"Belum, cuma ada sedikit hal yang mau saya sampaikan."
"Tunggu sebentar ya, Bu."
Deria berlalu menuju ruangan Reus, tak berselang lama, kembali menghampiri Niki.
"Barusan beliau bilang, Ibu tinggal masuk saja kedalam ruangan itu," lanjut Deria mempersilahkan Niki.
"Terimakasih," singkat Niki kembali mengenakan kacamata hitam.
Setibanya di ruangan tersebut, Reus menyambut Niki dengan ramah, mempersilahkannya duduk terlebih dahulu.
"Maaf mengganggu waktunya sebentar," ucap Niki perlahan duduk meletakkan tas kecil di meja.
"Tidak mengganggu kok. Oh iya, kalau boleh tau, kedatangan anda kesini...apakah ingin membesuk beliau?" balas Reus menghidangkan minuman hangat.
"Iya, tapi sebelum membesuk suamiku, ada hal yang ingin aku sampaikan."
"Apa itu?"
Niki mengeluarkan amplop dalam tas, berisikan uang tunai dalam jumlah yang lumayan banyak, "Anggap saja ini sebagai jasa atas pelayanan yang kalian berikan pada suami saya."
"Saya tau anda dan beliau adalah orang dermawan yang sering membantu yayasan kami. Tapi, jumlah yang kali ini anda berikan terlalu banyak bila di banding sebelumnya. Apa tidak berlebihan menyerahkan bantuan sebesar itu?"
"Apalah artinya harta jika tak mampu berbagi dengan sesama? Apa yang aku berikan ini, bukan berarti menyuap ataupun aku ingin kalian memperlakukan suamiku bagaikan raja. Jika kamu sulit menerima karena alasan yang kurang pasti, anggap saja bantuan uang ini untuk keperluan atau kebutuhan suami saya nantinya di kemudian hari."
Walau sedikit ragu, pada akhirnya Reus menerima bantuan tersebut.
"Sekali lagi, kami ucapkan beribu kali terima kasih atas kebaikan anda maupun suami anda. Tak ada hal apapun yang bisa kami lakukan untuk membalas semua yang telah anda berikan, kecuali doa terbaik."
Selagi Niki dan Reus berbagi obrolan, Deria beranjak pergi dari tempat tugasnya menuju peternakan domba.
"Nampaknya, cuaca hari ini begitu cerah," ujar Deria melihat Arthur memberi makan domba sembari bersiul-siul.
Arthur menghentikan aktivitasnya, berbalik arah menatap Deria, "Bukannya dalam beberapa minggu terakhir cuacanya selalu cerah?"
Deria berjalan mendekati kandang, lanjut mengelus salah satu domba, "Bukan itu yang kumaksud, tapi lebih ke arah peristiwa tadi malam."
"Oh yang itu? Kenapa tidak langsung bilang saja? Pakai segala bawa-bawa cuaca lagi, jadi salah tafsir aku."
"Kamu sudah memberikannya pada Reus?" lanjut Deria sedikit melirik Arthur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
🏘⃝AⁿᵘKᵝ⃟ᴸℝ𝕒𝕪𝕚𝕚☠ᵏᵋᶜᶟ🍂
Itulah bodohnya manusia..
udah tau di bohongi,di selingkuhi,masih aja katanya Cinta, malah ada yg dikasari tangan ikut berbicara, tapi katanya tetap cinta 😮💨
2024-01-01
1
🏘⃝AⁿᵘKᵝ⃟ᴸℝ𝕒𝕪𝕚𝕚☠ᵏᵋᶜᶟ🍂
lebih tepatnya kaya gembel Om.sampai puntung rokok dijalan di pungut.🙄
2024-01-01
1
🏘⃝AⁿᵘKᵝ⃟ᴸℝ𝕒𝕪𝕚𝕚☠ᵏᵋᶜᶟ🍂
Dia habis mencetak Orok Mas Adam,,wlw ternyata itu cuma akal-akalan Deria sama Arthur..😂
2024-01-01
1