PB#18

Reus yang tak ingin berlama lagi di kamar tersebut, beranjak pergi tanpa membalas peryataan Rempis akan dirinya.

"Dasar pemuda sekarang, hanya berfokus tentang cinta dan cinta. Hanya karena masalah cinta saja, bagi mereka dunia akan terasa segera berakhir. Anak seusiamu itu tau apa tentang cinta? Pakai berdalih segala lagi. Kau pikir aku ini tidak tau dari balik raut wajahmu itu?" gumam Rempis terus meneguk minuman kerasnya.

"Tapi, kenapa dari tadi aku terus mengoceh tentangnya? Sepertinya aku sudah mulai sedikit mabuk. Tapi tunggu dulu, masak iya aku bisa mabuk hanya karena meminum ini? Ah...mungkin hanya lelah saja. Rempis tak pernah mengenal kata mabuk," lanjutnya tertawa seketika menyandarkan tubuh di meja tertidur pulas.

Disisi lain, Larsen mengajak Max berkunjung ke suatu tempat hiburan malam.

"Memangnya tempat seperti apa yang akan kamu tunjukkan?" ucap Max turun dari dalam Taxi.

"Ya sedikit tempat untuk menghibur diri," singkat Larsen.

Larsen terus berjalan di ikuti Max, melewati distrik hiburan malam tempat para wanita menawarkan diri.

Hampir di setiap sudut mata memandang, sisi kiri maupun kanan, gadis-gadis belia ataupun paruh baya sedang mengumbar daging lunaknya terus menggoda manja baik Max dan Larsen.

"Aku tidak menyangka, ternyata dibalik dinginnya sikapmu itu...suka bermain di tempat seperti ini," ketus Max tersenyum ke arah kanan dan kiri.

"Jangan terlalu cepat menghakimi seseorang. Sebelum pergi sudah kukatakan, aku hanya mencari hiburan sekaligus mencari informasi," balas Larsen melambaikan tangan rendah pada pramuria yang berbaris sejajar.

"Jadi? Kita gak bakal singgah nemenin mereka?" Lanjut Max sedikit bingung.

"Ya gak lah, ngapain juga singgah. Memangnya, kau pikir aku lelaki apa?"

"Sial! Sial! Kenapa gak singgah sih? Setidaknya aku ingin tau bagaimana rasanya terbuai nikmat dunia!" batin Max mencela Larsen.

"Jangan mikir yang aneh-aneh, terlebih bila kau ada kepikiran tertarik untuk singgah sebentar. Simpan penasaranmu itu untuk masa depanmu kelak," lanjut Larsen melirik Max yang terlihat kian gelisah.

"Siapa juga yang punya pemikiran seperti itu? Biar kamu tau saja, sedikitpun aku tak tertarik dengan mereka," balas Max memalingkan wajah.

"Kita sudah hampir sampai, sebaiknya hati-hati dalam berucap," jelas Larsen sedikit memberi arahan.

"Apanya yang hiburan jalan-jalan malam? Ini bukan hiburan lagi namanya. Ajakanmu ini...seakan bersiap siaga kapan saja untuk meledakkan diri!" pikir Max mendapati ketegangan di wajah Larsen.

Sementara Max dan Larsen mengunjungi suatu tempat, Sofi yang belum kembali dari keperluannya, di sisi lain Avin melamun sendiri di toko Max.

"Kenapa ya dunia terlihat begitu kejamnya pada takdirku? Bisa-bisanya mereka semua pergi meninggalkanku sendiri disini. Apa karena sikap cerobohku ini yang membuatku sering mendapat tugas berjaga sendiri? Hem, hampanya dunia."

Avin yang berlatar belakang sebatang kara, sebelum bertemu Max, ia hanya menghabiskan waktunya di sekitar pelabuhan Colmar.

Avin diadopsi oleh seorang nelayan ketika dirinya berusia 7 tahun di sebuah panti yang tak begitu jauh dari pelabuhan.

Pihak panti yang tak mengetahui dengan jelas asal usul Avin itu, menemukan dirinya berbungkus sehelai kain hangat di depan panti.

Selain memiliki skill mempuni di bidang desain grafis yang ia dapatkan saat mengenyam sekolah menengah, terlebih jenius dalam berfikir maupun memecahkan sebuah masalah, sisi lainnya yang terus melekat padanya ialah ceroboh akan banyak hal.

Seperti halnya ketika berbicara tak bisa menjaga rahasia, sering menabrak suatu benda secara terus berulang atau bahkan sering lupa akan benda yang baru saja ia pegang.

Pertemanan Max dan Avin bermula ketika mereka saling berbagi pukulan, berkelahi karena suatu kesalahpahaman.

Kala itu, Max membantu seorang lansia yang menjadi korban pencurian. Melihat Avin mengenakan jaket, jeans biru, lengkap dengan topi hitam yang sama persis seperti pelaku pencurian, Max langsung memukul Avin tepat di bagian kepala belakang.

Mendapat perlakuan kurang menyenangkan, Avin berbalik membalas pukulan Max. Pertengkaran keduanya usai ketika lansia tersebut memberitahukan, jika tasnya yang hilang hanya berisikan pakaian dalam nenek-nenek tak berharga.

Avin memutuskan berpisah dengan orang tua asuhnya tersebut di saat dirinya lebih memilih mengikuti jalan yang Max pilih, di banding merantau mengadu nasib ke brazil.

"Daripada diam sendiri begini, lebih baik aku ikutan pergi saja kali ya? Tapi mau pergi kemana?" gumamnya mengaduk kopi hangat.

"Lagian gak tau kenapa, sudah seminggu ini...belum ada upgrade misi terbaru," lanjutnya mengotak-atik layar ponsel, memeriksa aplikasi game.

Disisi lain, Sofi berada di kamar mewah menjamu tamu VIP.

"Dua orang sudah beres, tersisa 1 orang lagi!" pekiknya memakai pakaian sembari menyelipkan belati di paha.

Berbeda dengan kegiatan lain Larsen yang di ketahui Max, sisi lain Sofi yang tidak di ketahui siapapun dan selalu terlihat lembut akan sopan santunnya, justru tangannya itu selalu berlumur darah merenggut menghabisi puluhan nyawa targetnya.

Jika Larsen mendapatkan keahlian maupun pengetahuannya itu dari Sam, kemahiran Sofi berasal dari kegagalan pemerintah kala menciptakan mesin pembunuh yang berujung pengkhianatan.

Rasa sakit dalam hatinya ataupun luka fisik, bukanlah hal baru yang ia rasakan. Siksaan berkedok pelatihan militer telah ia jalani sedari menginjak usia 9 tahun.

Baginya, tinggal bersama Max dan lainnya adalah persembunyian paling sempurna, mengingat profesi yang ia jalani bergerak karena keinginannya sendiri.

"Sebaiknya, aku harus segera pergi dari sini!" lanjutnya memakai topeng wajah sembari membuat rekayasa kematian korban agar terlihat murni kasus bunuh diri.

Sebelum melakukan aksinya membunuh korban, ia menyajikan sedikit keindahan tubuhnya. Kemampuannya mengenali segala jenis racun berbalut pil maupun cairan, selaras dengan keahlian bela diri tingkat tingginya.

Setelah selesai melakukan aksinya, bergegas kembali ke toko Max.

"Tidak biasanya jam segini sudah pulang? Biasanya juga menjelang pagi baru sampai," sapa Avin melihat Sofi berjalan mendekat.

"Tadinya dia bilang, kencan kami hanya sebatas makan malam saja, tapi malah ujungnya nyebelin. Masa iya dia minta aku harus menuruti nafsu birahinya?" balas Sofi terduduk di sebelah Avin.

"Kamu itu perempuan, harus bisa lebih pintar dalam urusan menjaga diri. Kamu yang sering pulang hampir menjelang pagi kalau lagi keluar, itu saja sudah termasuk sebuah kesalahan."

"Sejak kapan kamu mulai pintar menasehatiku?" gumam Sofi mengerutkan dahi.

"Itu hanya saran dari seorang teman, selebihnya terserah kamu mau lakuin atau tidak. Nih ya, daripada tubuhmu di nikmati lelaki lain secara sia-sia, lebih bagus aku duluan yang menikmatinya," sindir Avin sedikit tertawa kecil.

"Kalau kamu tidak takut masa depanmu hancur, lakukan saja!" pekik Sofi memandang sudut kedua paha kaki Avin.

"Sudah jelas aku hanya sedikit bercanda, mana mungkin aku melakukannya."

Kembali kesisi Max dan Larsen memasuki ruangan dalam bar.

"Gak perlu membusungkan dada agar terlihat lebih jantan di banding pria lainnya, santai aja, bersikap biasa," sindir Larsen terus berjalan menuju satu ruangan pribadi.

"Perasaan...apa yang ku perbuat salah terus!" batin Max memandang sinis Larsen.

Setelah memasuki ruangan khusus.

Max terperangah mendapati kenyataan berbeda dengan apa yang telah ia pikirkan sebelumnya.

"Ini....ini?" ucap Max menunjuk satu arah membolak-balik pandangan menatap Larsen.

"Ya iya, ini, memangnya apa lagi?" balas Larsen tak kuat menahan tawa, terbahak-bahak ketika berhasil menjahili Max.

"Jadi...yang kamu maksud jaga ucapan tadi...segala memberi peringatan...ini?" pekik Max masih menunjuk beberapa mesin ding dong beserta permainan judi lainnya.

"Memangnya kamu pikir apa lagi? Bukannya aku sudah bilang di awal tadi kalau kita pergi hanya untuk mencari hiburan?" lanjut Larsen masih tertawa membuat pengunjung sekitar memperhatikan tingkah laku mereka.

"Dasar sialan! Aku pikir apaan! Ternyata mengadu nasib di perjudian!" gerutu Max berjalan mendekati meja casino, mengeluarkan beberapa lembar uang.

Larsen berjalan mengikuti, kemudian merangkul Max yang sedang kesal, "Ayolah, jangan manyun begitu. Kita nikmati hiburan selagi masih punya banyak waktu."

"Semoga Tuhan mengampuni segala dosa-dosamu itu!" kecam Max mengambil rokok di saku baju Larsen.

"Memangnya kau pikir keberadaan kita di sini bukan sebuah kesalahan yang tak berdosa?"

"Setidaknya, dosamu itu berlipat ganda karena telah menjahili."

"Ayolah maafin buat yang barusan, nanti aku kenalin sama seorang gadis cantik."

"Oke, deal!" pungkas Max menjabat erat tangan Larsen.

Terpopuler

Comments

ˢ⍣⃟ₛMPIT💋🅚︎🅙︎🅢︎👻ᴸᴷ

ˢ⍣⃟ₛMPIT💋🅚︎🅙︎🅢︎👻ᴸᴷ

kaya cenayang wae si rempis 😁

2024-01-05

0

🏘⃝AⁿᵘKᵝ⃟ᴸℝ𝕒𝕪𝕚𝕚☠ᵏᵋᶜᶟ🍂

🏘⃝AⁿᵘKᵝ⃟ᴸℝ𝕒𝕪𝕚𝕚☠ᵏᵋᶜᶟ🍂

Dihh langsung deal.dasar Max si Muna😂

2023-12-29

1

Jenny

Jenny

Sofi siapa loh, Aku lupa. 🤔

2023-12-25

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!