Wury menoleh menatap bingung Adams, "Apa dengan cara itu, kebahagiaan keluargamu yang hilang bakal kembali utuh?"
"Setidaknya dengan melakukan itu, bisa menghilangkan sedikit rasa perih sesak di dadaku."
"Terserah jika itu keputusan yang akan kau lakukan. Sebagai teman masa kecilmu, aku hanya bisa menasehati. Selebihnya, itu terserah pada jalan yang kan kau pilih."
Disisi lain, berjarak 3 jam lebih dari kota paris Est bila menaiki sebuah kereta, akan tiba di kota bernama colmar. Colmar adalah ibukota kebun anggur Al satian.
Kota yang sangat meriah itu, dianggap juga sebagai salah satu Venisia Mini di Perancis.
Colmar dipenuhi dengan rumah-rumah yang kaya warna, kanal-kanal yang penuh dengan bunga berwarna-warni dan atmosfir dari negeri dongeng, sangat kental terasa di dalamnya.
Dikota itulah, Rempis mengenal dan menjalin hubungan dekat dengan salah seorang penerbit bernama Max Corner.
Meski bukan kelahiran asli di kota tersebut, Max sendiri telah cukup lama tinggal sejak ia memutuskan merantau, meniti karir usaha di bidang percetakan.
Merintis usaha di tahun 80 an, bukanlah hal mudah bagi Max, terlebih dimasa itu ia kerjakan hanya seorang diri, berbeda dengan masa sekarang.
"Kenapa sampai sekarang belum ada kiriman naskah terbaru darinya?" gumam Max membersihkan percikan tinta di mesin cetak.
Pemerintah ataupun pihak keamanan kota tersebut hanya tau jika Max sekedar memiliki usaha percetakan biasa, walau sebenarnya, tim penerbit Max sendiri cukup lengkap berada di ruang rahasia yang ia bangun.
Tim yang Max kumpulkan tak lain ialah Larsen di bidang editor, Sofi di layouter, Avin desain grafis dan Max sendiri sebagai pemilik maupun penjemput langsung naskah Rempis.
"Gimana mau ada naskah terbaru, kan penulis itu sedang terlibat masalah," sahut Larsen memberikan cetakan baru pada Max.
"Aku tau itu, tapi ini...bukan pertama kali baginya bermasalah seperti itu. Dulu dia juga sama ketika ada masalah, tapi naskahnya tetap berjalan seperti biasa."
"Mungkin yang kali ini sudah luar biasa. Kopi gak?"
"Boleh deh, mau sambil baca ini biar makin seru," jelas Max duduk sembari menggenggam naskah pemberian Larsen.
Sebagai pengagum berat seluruh karya Rempis yang sangat membuatnya tergila-gila, dimata Max, Rempis bagaikan malaikat penghapus rasa sepi dalam hidupnya.
Setelah selesai membaca satu naskah, Max berdiam diri merenung sejenak, sebelum akhirnya memutuskan pergi untuk memastikan langsung keadaan Rempis.
Kembali kesisi Rempis yang menjalani putusan sidang pada senin, 20-10-2004 diruang gedung persidangan, Cite Judiciare Du Mans.
Baik pengacara, jaksa penuntut, pembela ataupun para saksi, semua telah berkumpul dan saat itu, Julius sendiri bertindak sebagai hakim sekaligus ketua putusan kasus Rempis.
Diluar gedung, suara akan sorak-sorakan bersaut-sautan antara para pembenci dan para pembela, membuat suasana pukul 10 pagi kian ricuh semakin ramai.
"Baiklah, sidang kita mulai. Saya persilahkan pada jaksa penuntut," ujar Julius membuka sidang.
"Terimakasih banyak yang mulia. Baik, seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa sebelumnya, saudara bernama Rempis Pieter Mark, telah bersangkutan dengan banyaknya serangkaian kasus yang terjadi di belahan kota ini. Saya akan coba bertanya pada terdakwa, apa motif sebenarnya dan keterkaitan anda dibalik peristiwa kasus...yang baru saja terjadi."
"Saya tidak ada sangkut-paut dengan peristiwa itu. Saya hanya menulis, menuangkan imajinasi yang saya miliki," jelas Rempis secara singkat.
"Baik, tapi berbeda dengan yang telah terjadi. Di kasus tersebut, bukti ataupun fakta yang ada, itu berkaitan dengan sikap pelaku yang terdoktrin dengan tulisan anda. Bukankah itu berarti anda termasuk sebagai dalang kejahatan yang sangat kejam?"
"Apa yang salah dengan itu? Jika satu bangunan rumah mengalami insiden kebakaran, apakah pabrik korek api atau pabrik gas bakal di tuntut akan insiden tersebut?" balas Rempis memutar arah pertanyaan.
"Jangan menjawab sebuah pertanyaan dengan pertanyaan, itu bukan jawaban!"
Persidangan terus berlangsung dengan panas sengitnya perselisihan.
"Ijin yang mulia. Saya pikir, saudara penuntut disini terlalu memojokan saudara terdakwa dengan serangkaian tuduhan yang kurang tepat yang mulia," sahut jaksa pembela.
"Atas dalih apa saudara berkata seperti itu?" balas Julius menoleh menatap jaksa pembela.
"Menurut undang-undang perlindungan yang mengacuh pada hak asasi setiap manusia, disitu tertera jelas jika saudara terdakwa hanya menuangkan sebuah ide atau imajinasi kedalam sebuah buku melalui tulisan. Saya pikir, terlalu berlebihan memaksakan sebuah tuntutan kepada beliau yang mulia."
"Tapi yang mulia, perlu kita garis bawahi bersama, imajinasi akan menjadi tindak pidana apabila isi atau makna tulisan didalamnya merupakan doktrin dan menjadi sebuah ancaman," sahut jaksa penuntut.
Reaksi Rempis saat itu hanya tertawa kecil setelah melihat dan mendengar perdebatan yang terjadi. Jauh di dalam pikirannya, ia bermain-main menganggap remeh sidang tersebut. Para saksi yang hadir pada saat itu juga tak mampu membendung emosional.
"Tolong diam sebentar semuanya, kepada para hadirin tolong agar tetap menjaga mematuhi ketertiban sidang yang sedang berlangsung," pinta Julius menenangkan suasana.
"Jadi yang mulia, melalui diskusi ini, kami para penuntut...menuntut terdakwa untuk di jatuhi hukuman mati."
"Maaf yang mulia. Tindakan penuntut terlalu berlebihan, hukuman mati sangat tidak adil apabila di jatuhkan pada terdakwa," sahut jaksa pembela bangkit berdiri.
"Mohon tenang semuanya! Disini saya selaku hakim beserta jajaran pengadil sedang memutuskan putusan yang terbaik untuk semuanya."
Julius dan jajaran penegak hukum yang mengalami kebuntuan, terpaksa memutuskan penundaan sidang dalam beberapa jam kedepan.
Berselang 30 menit, Max tiba di gedung pengadilan tersebut setelah mencari informasi mengenai keberadaan Rempis.
"Gimana putusan hakim? Apakah sidang didalam telah selesai?" tanya Max pada seseorang di depan gedung pengadilan pusat kota.
"Belum, hakim menunda sidang selama satu jam kedepan, sebelum nantinya memutuskan hukuman apa yang pantas untuk penulis itu."
"Bukankah mereka terlalu berlebihan jika masalah seperti ini sampai masuk ke pengadilan sidang pusat?" lanjut Max meninggikan pandangan menatap pintu ruangan gedung.
"Yah kalau itu sih tergantung pesanan. Dinegara ini, siapa yang memiliki kendali penuh atas uang, dialah penguasa sebenarnya."
"Betul itu yang dia katakan. Belum lagi, jika orang seperti Rempis nantinya bakal dijatuhi hukuman mati, lalu siapa yang bakal berani menentang mengungkap kebusukan pemerintahan negara ini?" sahut salah seorang menyela obrolan Max.
"Dia pantas di hukum mati! Karya-karya porno yang ia terbitkan telah meracuni sebagian anak-anak generasi muda di kota ini! Mau jadi apa bangsa ini kedepannya jika otak generasi muda kita hancur!" kecam seorang wanita paruh bayah.
"Tapi hal itu setimpal dengan karya lain milik Rempis...yang menengakkan keadilan. Tulisan dia bukan selalu tentang pornografi bukan?" sahut Max menatap wanita tersebut.
"Omong kosong! Kalian para penjilat dan pemuja lekukan lesung garis di bokong, gak akan pernah tau bahaya kedepan akibat ulah darinya!" ketus wanita tersebut berlalu pergi menjauh.
"Siapa sih wanita itu? Jika di ibaratkan dalam buku Rempis, karakter wanita seperti itu jelas memiliki gairah yang sangat luar biasa. Ketika bercinta, tak mengenal kata lelah," lanjut seseorang pada Max, tertawa melihat amarah wanita tersebut.
Disisi lain sebuah bilik kamar, Wury sedang membaca salah satu buku Rempis tentang gairah tersembunyi seorang wanita lugu.
Kisah yang Rempis tulis tersebut, hampir sama persis dengan kisah hidup yang Wury jalani. Terus membaca kisah liar itu hingga sampai di titik bagian peran seorang wanita akan rasa penasaran berhubungan intim.
Perlahan, Wury mengelus bibirnya sendiri sembari membelai lekukan tubuh dari atas hingga bawah akibat rangsangan tulisan, lengkap dengan gambar aksi sepasang insan.
Hal tersebut tak sengaja di ketahui Reus kala ia berjalan melewati bilik kamar Wury. Mendengar suara-suara tipis bercampur hembusan nafas tak beraturan, menimbulkan rasa penasaran Reus tentang apa yang terjadi di balik bilik kamar tersebut.
Meski awalnya ragu karena hal tak sopan bila membuka ataupun mengintip privasi seseorang, Reus perlahan semakin mendekati pintu kamar.
"Gak di kunci?" pikir Reus menggenggam handle pintu ruangan.
Membuka sedikit celah pintu dengan gugup gemetar, Reus terperangah kala melihat Wury yang sedang berbaring memejamkan mata menikmati imajinasi liarnya.
Sesekali Reus menelan ludah memandangi tubuh Wury tanpa berkedip, diiringi percikan-percikan gairah yang timbul dalam dirinya.
Tak ingin pikiran kacau terus merajai isi kepala, Reus dengan lembut kembali menutup pintu itu berlalu pergi menjauh.
Wury yang baru sadar akan suara kecil pintu kamarnya, menghentikan aksinya sembari memakai pakaian dengan sigap.
"Seperti ada yang memperhatikan tadi, tapi siapa?" batin Wury keluar kamar menoleh sisi kanan dan kiri yang tak ada siapapun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
mio amore
bnr2 aneh tpi nyata ini karangan bangg Ree ya🥰🥰🥰
2023-12-16
1
🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦🥑⃟🇩ᵉʷᶦbunga🌀🖌
ya ampun,,, analisa max bikin darting
2023-12-13
1
🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦🥑⃟🇩ᵉʷᶦbunga🌀🖌
haaah hukuman mati 🤔 pantas kah, sesuai kah dengan kejahatan nya🤔
2023-12-13
1