Reus berbalik arah, menatap Wury penuh kecemasan, "Aku tau itu dan sikapku ini tak lain karena aku gak ingin siapapun dari kita, bakal terpisah nantinya. Itu sebabnya aku masih terus berfikir yang bahkan sampai detik ini, sedikitpun aku gak berniat meninggalkan tempat ini."
Wury menyentuh lembut kedua sisi pipi Reus, "Kamu selalu berfikir, masalah akan selesai dengan sendirinya walau mengorbankan perasaanmu. Kamu gak sendirian, jangan lupakan kami yang selalu ada di sisimu."
Wury mendekatkan wajahnya begitu dekat, ingin mencumbu Reus, namun terhenti kala mendengar suara teriakan Arthur yang berlari sembari memanggil namanya.
"Maaf, gak seharusnya aku lakukan itu, yasudah lanjutkan dulu," ucap Arthur membungkuk lelah kemudian berbalik arah.
Baik Wury atapun Reus, keduanya sama saja terlihat gugup dan malu di hadapan Arthur.
"Oh iya, ada perlu apa?" balas Wury melihat Arthur yang masih berdiri membelakanginya.
"Tentang bu Lexa. Barusan, Helen menyuruhku segera memanggil kamu untuk membantunya. Kalau dilihat dari ekspresi Helen, sepertinya ada urusan yang sangat penting," jelas Arthur bersikap siap.
"Yaudah, kalau begitu aku akan segera kesana," balas Wury.
Arthur kembali berlalu menuju ruang istirahatnya, melanjutkan tidurnya setelah seharian lelah beraktivitas.
Saat ingin berjalan, Wury melirik Reus, "Maaf untuk yang hampir terjadi barusan, gak seharusnya aku seperti itu, mungkin itu ungkapan ekspresi yang ingin menenangkanmu," lanjutnya berjalan menuju ruangan Lexa.
Melihat Wury menjauh, Reus langsung menutup pintu, menghela nafas sedikit panjang.
"Barusan itu apa? Hampir saja aku merasakan manisnya cinta wanita yang kusayangi! Padahal tinggal sedikit lagi, kenapa bisa batal sih! Dasar sialan kamu Arthur! Karena, semuanya gagal!"
Disisi lain, Meri dan Vio yang sedang menikmati makan malam bersama dengan empat gadis lainnya.
"Bu, bagaimana ini?" ujar Vio meletakkan piring makannya.
"Apanya yang bagaimana?" balas Meri telah selesai menyantap hidangan seadanya itu.
Disetiap waktunya, hanya berisikan nasi dan sayur untuk sekedar mengisi/menghilangkan rasa lapar demi menyambung nyawa.
Sayur yang mereka tanam sendiri di pekarangan sekitar gubuk, terlihat subur dan cukup segar. Terkadang, mereka juga sering memberikan sayur yang telah matang pada warga kampung kumuh tersebut.
Sekali dalam seminggu, mereka menukar barang-barang bekas yang telah mereka kumpulkan ke pengepul, menukarnya dengan beberapa jenis ikan segar.
Pada dasarnya, sumber penghasilan seluruh penghuni kampung itu tak lain hanya memulung barang bekas.
Kampung tak bernama tempat para berandalan maupun gelandangan atau bahkan pemulung tersebut, adalah kampung yang sebelumnya pernah ada, namun menghilang dari peta kota akibat ulah bengis pemerintahan pada masanya.
Flasback on.
Terletak di bagian utara prancis, terdapat sebuah pemukiman kecil bernama desa Guona, desa yang cukup damai dengan beragam budaya dan sopan santun para penduduknya.
Selain memiliki hasil tangkapan laut yang cukup melimpah, padi dan hasil alam lainnya, desa Guona juga dikenal akan beragam rempahnya yang khas. Terlebih desa itu di kenal sebagai desa penyuplai kebutuhan masyarakat kota.
"Ma, kapan ayah pulang?" ucap Meri kala berusia 13 tahun.
"Mungkin petang sudah pulang, maklum saja jika ayahmu terlambat pulang, seluruh hasil panen masyarakat tahun ini meningkat pesat."
"Apa ayah lupa akan ulang tahunku ya?" lirih Meri menundukkan wajah.
"Mana mungkin ayahmu lupa dengan hari kelahiran putri tercintanya," balas wanita tersebut mengelus lembut kepala Meri.
Meri dan sang ibu menunggu kepulangan ayahnya yang tak kunjung tiba hingga pukul 3 pagi. Perasaaan khawatir terus berkecamuk di benak keduanya.
Selain bertugas sebagai kepala pemimpin desa Guona yang bernaung di bawah arahan pemerintah, Ayah Meri juga menjalani profesi lain sebagai pengepul hasil panen masyarakat desa tersebut.
Disisi lain, Ayah Meri menghadap panggilan seorang pejabat tinggi negara.
"Aku ingin tempat itu segera kamu kosongkan! Bagaimanapun caranya, ini sudah menjadi perintah mutlak dari para petinggi lain di pemerintahan pusat!"
"Tapi Pak, desa itu adalah kawasan sah secara hukum maupun keberadaanya yang di akui pemerintahan saat ini. Bagaimana mungkin, hal seperti yang anda maksud itu harus bisa terjadi?" balas Ayah meri sedikit memberontak.
"Pemerintah saat ini sedang mengalami krisis di berbagai sudut wilayah! Apa kamu tau, berapa banyak investor luar yang menolak memberikan bantuannya?"
"Tapi, kenapa harus pemukiman kami yang dijadikan tumbal, Pak? Desa kami hanya bagian kecil dari banyaknya desa di negri ini. Apa tidak ada solusi lain selain menumbalkan tempat kami berada?"
"Masih banyak hal yang gak bisa aku katakan padamu. Aku hanya mengambil bagian inti dari pertemuan kita saat ini. Sebelumnya sudah aku katakan semuanya, bahkan kami sendiri sebagai para petinggi telah mempertimbangkan hal tersebut sebelum memutuskan yang terbaik."
"Tapi kenapa? Kenapa harus mengorbankan kami yang tak lain penduduk asli negara ini?"
"Salah satu investor asing mulai tertarik setelah melihat pemukiman yang kalian tinggali itu. Mereka bahkan bersedia mengucurkan berapapun dana untuk membantu negara kita yang saat ini sedang sekarat. Hanya satu yang mereka pinta, kosongkan kawasan area tersebut."
"Para pendahulu negara ini, bertumpah darah memerangi kawanan penjajah. Tapi sayang, dimasa sekarang ini, para pengkhianat berhasil menyusup mengambil alih tatanan di dalamnya!" kecam Ayah Meri berdiri berniat meninggalkan lokasi pertemuan.
"Cukup! Ini keputusan yang sudah bulat dan matang. Aku hanya menyampaikan berita ini agar kamu segera melakukan perintah tersebut. Lebih dari itu, aku gak menjamin hal apa yang bakal terjadi di kemudian hari." Mengecam balik ayah Meri.
"Apapun yang bakal terjadi nantinya, kami tak akan mundur satu langkah pun dalam mempertahankan wilayah! Terlebih jika harus bertumpah darah!"
Waktu telah menunjukkan pukul 4 pagi, perdebatan Ayah Meri tak menemui titik terang.
Setelah pergi meninggalkan salah satu petinggi negara, sebelum pulang kerumah, ia berkeliling kota untuk mencari kado ulang tahun putrinya.
Setelah mendapatkan kado untuk sang putri, bergegas kembali memasuki mobil. Disepanjang perjalanan, tanpa ia sadari mobil tersebut ternyata telah terpasang bom waktu yang telah aktif.
Ketika sedang beradu argumen, secara diam-diam, sang pejabat menyuruh bawahannya memasang bom di mobil pribadi ayah Meri.
Hal tersebut di lakukan untuk berjaga-jaga mengantisipasi apabila mendapatkan hasil akhir perdebatan yang kurang menyenangkan.
Tepat berada di wilayah kosong pesisir pantai, berjarak 3 km dari desa Guona, pukul 5 pagi, suara ledakan hebat menggema menghebohkan para penduduk sekitar, disertai kepingan-kepingan mobil yang telah hancur berserakan.
4 jam setelah kejadian tersebut, rombongan aparat menuju lokasi Guona berniat mengevalusi mengosongkan kawasan wilayah, tanpa mengeluarkan sedikitpun biaya ganti rugi.
Hal tersebut jelas mendapat penolakan serta perlawanan dari warga Guona, perpecahan kedua kubu tak terelakkan lagi.
Kembali ke sisi Meri bersama ibunda yang tertidur lelah menanti kepulangan sang ayah, terbangun karena suara keributan hebat.
"Ma...bangun Ma, bangun..Mama..." Teriak Meri membangunkan sang ibu kala melihat bentrokan penggusuran paksa.
Suara tembakan peluru menyertai bentrokan tersebut, terus menembak ke sembarang arah menyebabkan korban berjatuhan dalam jumlah yang cukup banyak.
Korban tak lain ialah para lansia, pria dewasa, ibu rumah tangga, anak-anak remaja maupun para balita yang meninggal dalam pelukan ibunya.
Mereka yang selamat ialah mereka yang memilih lari bersama keluarga, meninggalkan seluruh harta bendanya.
Sebelumnya, Meri dan sang ibu telah lari meninggalkan lokasi, namun dirinya kehilangan jejak sang ibu yang diam-diam menyelinap kembali ke desa, menanti penuh harap sang suami segera kembali.
Meri yang bingung harus berbuat apa, terus berlari mengikuti sekumpulan warga yang masih tersisa, di iringi suara tangis bersaut-sautan.
Flashback Off.
"Besok, dia akan tiba untuk mendengar jawabanku, aku harus jawab apa?" lanjut Vio merenung menatap piring makanan.
"Kenapa harus bingung? Kamu tinggal jawab sesuai kata hatimu. Apapun jawaban kamu, kami selalu mendukungmu. Demi kebahagiaan masa depan cerahmu, ada baiknya jika kamu menyetujui pinangannya," jelas Meri mendekatkan diri memeluk Vio, menghilangkan sedikit keraguan di hatinya.
"Kami turut berbahagia jika kamu bahagia, terlebih kita semua sudah seperti saudara," sahut salah seorang gadis ikut memeluk Vio.
Meski sedang dalam kebimbangan memutuskan sikapnya, Vio mengangguk memberi isyarat persetujuan dirinya yang telah siap menerima pinangan Delson.
"Ya Tuhan, apapun jalan yang nantinya kan ku pilih, berikanlah segala kebaikan dan kemudahan untuk hidup hamba di kemudian hari," batin Vio meminta ketenangan hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
🏘⃝AⁿᵘKᵝ⃟ᴸℝ𝕒𝕪𝕚𝕚☠ᵏᵋᶜᶟ🍂
pedihnya jaman dulu..
kayanya aparatnya tak tersentuh oleh hukum sama seperti disini tempo dulu.. Cieeee Komenku sok iyee😂
2023-12-29
1
🏘⃝AⁿᵘKᵝ⃟ᴸℝ𝕒𝕪𝕚𝕚☠ᵏᵋᶜᶟ🍂
Ya Tuhan, kenapa mudah sekali menghilangkan nyawa orang cuma Karna tak sepaham😐
anaknya loh lagi nungguin Ayahnya pulang🥺🥺
2023-12-29
1
ˢ⍣⃟ₛMPIT💋🅚︎🅙︎🅢︎👻ᴸᴷ
mudah-mudahan ini yg terbaik utk Vio
2023-12-24
1