Sepuluh menit setelahnya, gimik wajah dan sikap Rempis perlahan berubah, perlahan mulai tertawa kecil setelah mendapatkan ide baru.
"Yah, benar. Bukan kondisi yang menuntut kita menjadi seperti apa, tapi kita sendiri yang harus menciptakan kondisi itu," pekiknya lanjut tertawa.
Niki yang cukup menahan sabar, mendekati langsung menampar Rempis.
PLAKKKK!
"Apalagi yang harus aku katakan agar kamu mengerti! Hentikan semuanya mulai dari sekarang! Kenapa sih kamu susah sekali mengerti apa yang ku ucapkan? Sudahi semua imajinasi pikiranmu, aku ingin sikap kamu kembali seperti dulu, dulu ketika imajinasimu tidak segila ini!" Bentak Niki penuh emosi menghela nafas berantakan.
Tangan kanannya yang masih gemetar setelah menampar Rempis, bukan tanpa alasan. Sebab hal yang Niki lakukan itu, baru pertama kali ia lakukan selama hidup bersama Rempis.
Mendapat tamparan cukup keras dari sang istri, Rempis tak membalasnya dengan amarah, ia justru semakin tertawa terbahak dengan ekspresi jahat.
"Ketika dunia ini...atau takdir hidup yang sangat kejam telah memutuskan pilihannya tuk memilihmu, nikmatilah tanpa mengucilkan hatimu sendiri!" pekik Rempis perlahan menoleh kearah Niki.
"Sudahi ambisimu itu, sadari area sekitar kamu! Lihat dengan jelas, lihat! Apa lagi yang akan kamu lakukan dengan ruangan yang hanya selebar ini? Satu hal yang kamu harus pahami, kamu hanya bisa terbaring, duduk, makan, berbaring lagi dan itu yang bisa kamu lakukan selama sisa hidupmu!" balas Niki terus melampiaskan amarahnya.
Sehebat dan sekuat apapun fakta kebenaran tentang Niki, pada dasarnya ia hanyalah seorang wanita biasa.
Masalah yang datang silih berganti tak berujung itu, terus mencoba menghancurkan setiap inci dinding bahtera rumah tangganya.
Terus bersabar dan bersabar dengan segala sifat dan sikap sang suami, nyatanya Niki tak sanggup lagi membendung amarah dalam dirinya.
Mendengar peryataan sang istri, Rempis sedikit terkejut, perlahan berdiri mendekati, "Wanita yang sangat kucintai, justru dengan sadarnya ingin membunuh karakter pria yang mencintainya."
"Apa kamu tau apa itu cinta?" lanjut Niki menurunkan nada bicara.
Rempis berpaling wajah membelakangi Niki, sembari membentang kedua tangannya, "Jelas aku sangat tau itu! Cinta itu apa dan bagaimana cara mengekspresikannya, aku cukup paham itu!"
Perlahan Niki menyentuh lembut dada Rempis dari arah belakang, "Kamu bohong, kamu pembohong. Kamu gak tau dan gak pernah paham apa itu cinta. Jika kamu paham hal itu, takkan pernah ada akhir cerita seperti saat ini."
"Gak, aku gak pernah berbohong jika itu menyangkut tentang cinta," balas Rempis berpaling menatap, serta menggenggam tangan Niki.
Niki menggelengkan kepala, melepaskan genggaman tangan Rempis, "Jika kamu memang beneran cukup paham, kamu gakkan pernah mengabaikan ucapanku, walau satu kalipun."
"Jika dilihat dari sudut kamu memandang, memang benar, aku terlihat mengabaikan ucapanmu. Tapi, bagaimana bila sudut itu di ambil dari pandangku?" Rempis berjalan menuju meja, mengambil rokok langsung menyalakannya.
Rempis menghembus gumpalan asap rokok kearah atas, "Hal itu jelas berbeda, kamu terlihat bagaikan kumpulan penjajah yang sedang merampas seluruh hak kebebasanku!" jelasnya perlahan mulai duduk.
Melihat kembali seluruh situasi yang telah terjadi, kesalahan-kesalahan itu tak selalu muncul akibat ulah dari Rempis. Meski dunia tak selalu berpihak padanya, hal itu sebading dengan orang-orang yang sepemikiran dengannya.
"Jika kamu selalu merasa benar atas ucapanmu dan akupun benar atas ucapanku, kenapa semua harus berakhir seperti ini? Coba jawab, kenapa harus seperti ini? Kenapa?" lanjut Niki meneguk segelas jus.
"Jangan tanyakan hal itu padaku, tapi tanyakan hal itu pada Tuhanmu. Bukankah Tuhanmu akan selalu mendengar segala gundah yang menghuni hatimu?" balas Rempis meneguk sebotol anggur merah.
Ditengah perdebatan, ponsel Niki berdering dan langsung mengangkat panggilan tersebut, "Halo...iya...sebentar lagi aku datang," jelasnya langsung menutup panggilan.
Setelah menutup telpon, Niki beranjak berdiri, ingin segera berpamitan pergi, "Barusan sepupu aku telpon, ada hal penting yang mau ia sampaikan."
"Yah, pergilah. Satu persatu dari kita para manusia...pada akhirnya akan pergi menghilang," ketus Rempis mengetukkan jari di meja.
"Ada permintaan yang harus kupenuhi?" singkat Niki.
"Sediakan minuman favoritku dalam jumlah yang banyak, terus buah apel, anggur, pear, lalu tambahkan tumpukkan lembaran kertas kosong dan jangan lupa, sediakan juga beberapa pena bulu untukku."
Tak ingin berdebat lebih jauh tentang upaya menghentikan imajinasi liar sang suami, Niki sepakat akan memenuhi apapun yang Rempis pinta.
Baru berjalan dan sampai di depan pintu, Rempis menghentikan sejenak langkah Niki.
"Oh iya satu hal lagi, mengenai ucapan kamu sebelumnya tentang area sekelilingku baik dinding maupun atap yang ada di ruang bangunan ini, sedikitpun tidak akan pernah sanggup menghalangi coretan tinta imajinasi pikiranku."
Tak lagi membalas, Niki mengunci pintu dari luar, berselisih dengan Helena, memberi/mengembalikan kunci ruangan tersebut serta berlalu pergi.
Disisi lain, Reus yang masih melakukan perdebatan dengan Adams.
"Kenapa diam? Katakan saja dengan jelas...peryataanmu itu akan aku penuhi!" ujar Reus kembali terduduk.
"Beri aku sedikit waktu," jelas Adams berjalan keluar ruangan.
Melihat Adams pergi keluar, Miler langsung menyusulnya, "Kenapa tidak langsung kamu iyakan saja agar semuanya cepat selesai?" gumam Miler terus mengikuti Adams menuju halaman.
"Itu semua gak semudah yang kamu bayangkan. Jika aku memutuskan seperti apa yang kamu pikirkan, apa bedanya aku dengan para penjahat keji di luaran sana," jelas Adams menatap luas halaman gedung.
"Apa kamu lupa dengan tugas yang kamu lakukan selama ini? Kamu terlalu naif jika berfikir orang seperti kita ini, masih pantas bergelar atau disebut sebagai orang baik dan suci!" pekik Miler berdiri di samping Adams.
"Setidaknya, aku ingin ada sedikit kebaikan yang masih bisa kita berikan pada masyarakat sekitar."
"Berhentilah membual lebih jauh lagi, kehadiran kita yang memilih jalan untuk mengabdikan diri pada negara, nyatanya bertentangan dengan sebagian dari mereka yang telah menjadi korban atas ulah kita sendiri."
Miler merogoh saku celana, tak mendapati rokok miliknya, "Malah pake habis lagi, adakah?" lanjutnya melirik Adams.
"Mengenai apa yang kamu katakan barusan, apa kamu gak kepikiran merubah diri lebih baik di kemudian hari? balas Adams memberikan rokok miliknya.
"Ingat Dams, kita itu hanya manusia. Dibanding rencana sang Pencipta...rencana kita di masa mendatang hanya sebatas butiran kotoran domba," ketus Miler memantik api.
"Iya kalau itu sudah pasti. Tapi, yang kumaksudkan ini hanya sebatas gambaran keinginan seseorang di masa mendatang, gak lebih."
"Siapa sih manusia yang tidak ingin berubah menjadi pribadi yang lebih baik di masa mendatang? Kalaupun ada manusia seperti itu, mungkin itu bukan manusia."
Adams mengambil kembali uluran rokok dari tangan Miler, "Aku sudah tau apa yang harus kuputuskan sekarang," lanjutnya juga menyalakan rokok.
"Apapun itu keputusanmu, mau itu yang terbaik ataupun terburuk nantinya, aku akan tetap berada di sisimu, teman."
Adams sedikit menghela nafas leganya, kemudian kembali menanyakan hal yang masih menggangu pikirannya, "Oh iya, mengenai masalah foto yang kamu tunjukin sewaktu perjalanan tadi, pria sedikit tua dan berkumis tebal yang memakai jas hitam itu, apa itu ayahmu?"
Disisi lain Max yang sedang bersantai di kursi rutinitasnya.
"Bagaimana cara menemui Rempis jikalau nantinya Rempis, bakal di jaga dengan ketat oleh para petugas negara?" gerutu Max berpangku kaki di atas meja.
"Seeprtinya...ada yang sedang gelisah nih?" sela Sofi menyusun tumpukkan berkas di lemari buku.
Dengan sedikit meremas kepala, Max menjawab, "Enggak begitu gelisah sih, cuma rasanya, saat ini, aku lagi berada di fase pikiran buntu tak bertepi."
"Ternyata, bergaul dengan Rempis bisa mengubah gaya bicaramu."
"Ah, itu hanya perasaanmu saja. Buktinya, sampai saat ini...wanita masih enggan mendekatiku."
"Kalau itumah dasar kamunya saja yang gak suka dengan wanita, lebih suka ke lelaki," sindir Sofi berlalu pergi kembali keruang aktifitasnya.
Berselang 20 menit, Larsen tiba sehabis pergi keluar.
"Max, Aku dapat kabar baru! Aku jamin kamu bakal tertarik dengan kabar ini!" pungkas Larsen melepaskan jas dan juga topi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Jenny
Dasar otak dudull🤣🤣🤣🤣
2023-12-20
1
Jenny
Nyatanya Kamu juga nggak bisa membuat istrimu bahagia, malah istrimu justru yang sekuat tenaga melidungimu..pengen selalu dimengerti, tapi nggak mau mengertiin orang lain 😒
2023-12-20
1
mio amore
emng ya nm nya jga manusia ya bgtu lah 😂😂😂 , Hai niki kau jga ya melarang tpi msih kau penuhi semua kemauan rampies
2023-12-18
2