PB#17

Jean bangkit berdiri, bergegas menuju kedalam kamar meninggalkan Delson.

"Kamu pikir sampai saat ini, aku lupa akan semuanya? Aku juga sama sepertimu, berharap keajaiban terjadi tentang buah hati kita. Bedanya, aku ini lelaki, dalam kondisi terburuk sekalipun, takkan pernah meneteskan air mata!" gerutu Delson mengambil sebotol bir.

Disisi lain, Adams dan Miler yang telah selesai mengisi rasa lapar, kembali ke yayasan.

Setelah memasuki ruangan tunggu tempat menyambut para tamu, baik Adams dan Miler meregangkan tubuh tersandar di sofa.

"Jadi, bagaimana keputusan mengenai sebelumnya?" ujar Miler melirik Deria di meja kasir.

"Mungkin...kali ini aku akan mengabaikan perintah Delson untuk yang pertama kalinya," balas Adams dengan sedikit keraguan.

"Yakin? Memangnya kamu tidak takut dengan sikapnya?" lanjut Miler membalas senyuman manja Deria.

"Gak tau kenapa, tapi sepertinya kali ini Delson telah berlebihan dalam mengambil tindakan. Semakin jauh aku mengikuti setiap apa yang ia ucapkan, semakin jauh aku terjatuh dalam lembah hitam."

Disela obrolan tersebut, Deria menghampiri, "Mau kopi? Atau mungkin teh?" sahut Deria sedikit membungkukkan tubuh melirik Miler.

"Kebetulan malam ini cuaca begitu dingin, jadi teh lebih cocok untuk menghangatkan tubuhku," balas Miler menggigit lembut bibirnya.

"Kalau...Tuan?" lanjut Deria melirik sisi Adams.

"Samakan saja dengannya," singkat Adams menunjuk Miler.

Deria berlalu pergi menuju dapur, segera menyiapkan minuman hangat untuk Adams dan Miler.

"Sepertinya cuaca malam ini begitu cerah, membuat semangat dalam diriku, menggebu hebat untuk bertarung melewati dinginnya malam," jelas Miler bermaksud mengencani Deria.

"Jangan macam-macam dengannya, dia bukan wanita yang mudah menawarkan sesuatu secara percuma."

"Tunggu sebentar, kenapa kamu bisa berkata seperti itu? Oh...jangan-jangan, kamu telah jauh lebih dulu menggodanya ya?"

"Bukan, aku hanya sedikit menebak gestur tubuhnya. Wanita biasa dengan kepolosannya, takkan mungkin memiliki daya tarik sehebat itu."

"Ah kamu ini, terlalu mengkhawatirkan hal-hal di luar perkiraanmu. Memangnya, apa lagi keistimewaan dari wanita seperti mereka...jika bukan melayani hasrat lelaki? Mereka ditakdirkan hanya untuk pemuas kita kaum lelaki. Masalah uang? Itu hal lumrah biasa kita berikan."

Deria berlalu kembali membawa minuman tersebut, "Permisi ini pesanannya, selagi masih hangat, lebih baik segera dinikmati," lanjutnya meletakkan diatas meja kecil.

Ketika Deria berbalik arah ingin kembali menuju meja tugasnya, Miler menghentikan menyentuh lengan kanan, "Sebentar, ini buat kamu," lanjut Miler meraba saku baju, memberi beberapa lembaran dolar.

"Yah...dia mulai lagi! Lagi-lagi mengutamakan nafsu!" batin Adams meminum teh di meja.

Berselang 2 jam kemudian, Miler beranjak dari tempat duduknya sembari meregangkan tubuh.

"Mau kemana?" singkat Adams melirik.

"Mau cari udara segar sebentar, sendirian dulu gak masalah bukan?" tanya balik Miler.

"Ya, nikmati masa mudamu itu," gumam Adams.

Miler bergegas menghampiri Deria, setelah membicangkan sedikit hal, keduanya berlalu pergi meninggalkan ruang tamu yayasan.

Adams yang terduduk sendiri, berniat mengunjungi kamar sang ibunda. Baru berdiri, Reus menghentikannya.

"Sudah dapat jawaban atas pikiranmu?" ujar Reus berdiri di belakang Adams.

"Kamu tidak perlu sekhawatir itu, kita sudah lama saling mengenal, terlebih dari semasa pertama kali ibuku berada disini," balas Adams berbalik badan mempersilahkan Reus untuk duduk terlebih dahulu.

"Untuk apa berbasa-basi kalau akhirnya tetap sama, hanya membuang waktu," jelas Reus perlahan duduk.

"Sebelumnya terimakasih atas sikap kalian yang terlihat biasa ketika berada di depan Miler. Setelah ku pikirkan dengan baik, aku tidak berniat menggantikan posisimu itu."

"Lalu? Bagaimana kau akan menghadap atasanmu? Menolak perintahnya, bukankah itu berarti melakukan pengkhianatan?"

Adams kembali berdiri sembari memantik api, menghembus kepulan asap, "Untuk hal sebelumnya, semua kejahatan telah kulakukan demi memenuhi hasrat dirinya. Tapi jika itu menyangkut Wury, aku gak bisa melakukan hal lebih jauh lagi."

"Kamu menyukainya? Apa itu ungkapan kejujuran atau sekedar bualanmu saja?" pekik Reus menoleh menatap Adams.

"Aku tidak tau pasti tentang hal itu, yang terpenting saat ini, aku cuma gak bisa melihatnya tersakiti. Baik ibuku ataupun Wury, mereka sama berharganya dalam hidupku."

Mendengar peryataan sikap Adams yang tak berniat mengambil kendali yayasan, Reus menghela nafas sedikit lega. Namun, jauh di dalam lubuk hati kecilnya, ia tak bisa menerima ungkapan Adams yang juga menyukai Wury.

"Apa kamu sudah siap dengan resiko yang kamu pilih itu?" lanjut Reus.

Adams perlahan tertawa, "Resiko? Aku tak pernah mengenal kata resiko. Begini, di lingkaran seperti saat ini, anggap saja aku sebagai pengunjung biasa, namun ketika Delson berkunjung ke tempat ini, anggap saja kamu bagian dari pala pelayan lainnya."

"Jika seperti yang kamu maksudkan itu, lantas apa bedanya?"

"Bedanya, kita sedikit bermain peran. Demi kebaikan semuanya, apa kamu setuju?" lanjut Adams berbalik menatap Reus.

Meski sedikit bingung penuh keraguan dalam diri, Reus akhirnya memutuskan untuk mengikuti apa yang telah Adams putuskan.

"Tapi ingat satu hal, hanya sebatas formalitas saja, tidak lebih dan jangan pernah mencoba mencampuri segala hal didalamnya!" jelas Reus beranjak meninggalkan Adams.

Setelah Reus pergi, Adams beranjak menuju kamar Lexa, berhenti di depan pintu kala melihat Wury menutupkan selimut ketubuh ibunya.

"Terimakasih telah merawat ibuku dengan sangat tulus," ujar Adams bersandar di dinding pintu luar.

Wury berjalan menuju pintu luar, langsung menutupnya, terkejut melihat Adams telah berada di sampingnya, "Kamu? Sudah berapa lama memperhatikan kami? Kenapa tidak masuk saja kedalam?"

"Aku baru saja tiba, jika aku masuk kedalam, itu hanya akan menganggu waktu istirahat ibuku."

"Baguslah jika kamu berpikir seperti itu," lanjut Wury kembali berjalan.

Tak begitu jauh, Adams menarik lengan Wury, memaksanya berhenti melangkah, "Maaf untuk masalah yang baru terjadi, itu semua bukan kemauan diriku."

Wury melepaskan genggaman tangan Adams, "Setidaknya kamu bisa menentang jika hal itu terlihat salah di matamu!"

"Kamu berhak menyalahkan ataupun membenciku, tapi aku mohon, kedepannya, jangan libatkan ibuku."

"Perlu kamu tahu, aku bukan lagi anak kecil yang tidak bisa memegang penuh tanggung jawab tugasku. Tidak seperti kamu yang senang berada di posisi ternyaman dan senang mengusik ketenangan orang lain."

"Maaf, saat ini aku masih membutuhkan pekerjaanku."

"Tapi ya itu hakmu, aku gak punya hak menghalangi jalanmu itu. Dulu, aku pikir kamu berbeda dari kebanyakan pria, tapi ternyata, kamu sama saja dengan mereka yang menjilat kaki sang tuan demi mencukupi urusan perut," jelas Wury berlalu pergi menuju ruang dapur.

Sesampainya di dapur, Wury mengambil segelas minuman penyejuk tubuh, terduduk sedikit melamun.

Tak berselang lama, Helen kembali mendekatinya, "Barusan ada kiriman paket, buat Rempis," lanjut Helen duduk di sebelah Wury.

Meletakkan gelas di meja, Wury menoleh sisi kiri, "Sudah kamu serahin ke Rempis? Sudah kasih tau Reus?"

"Sudah, aku menyerahkan paket tersebut setelah memberitahukan pada Reus."

"Baguslah," singkat Wury kembali meneguk segelas minuman penyegar.

"Kamu tau gak, saat pertama kali aku melihat Rempis, gak tau kenapa, tubuhku gemetar merinding dengan begitu hebatnya. Belum lagi tatapannya itu membuat hasrat diriku menggebu-gebu, kenapa begitu ya?" ujar Helen mengelus-elus area pundak ke leher.

"Mungkin itu karena kamu tertarik dengannya."

"Wanita mana coba yang gak tertarik dengan aura gilanya itu? Jika ada wanita yang tidak tergoda dengannya, aku pastikan wanita itu buta."

"Aku!" Tegas Wury menunjuk diri sendiri.

"Aku berani bertaruh, kedepannya, kamu tidak akan sanggup menahan aura gilanya!" jelas Helen menghela nafas mengusap keringat di wajah.

Sementara Rempis yang baru saja menerima kiriman paket di ruang kamarnya.

"Oh penaku yang malang, maafkan diriku yang telah cukup lama membuatmu bersedih hati. Berikan kutukanmu atas semua pengkhianatan para pendusta yang menghukum batasmu!" pekik Rempis mencium sebuah pena, menggenggam erat di dekapan dada.

Kemudian Rempis meletakkan pena tersebut di meja, kembali membuka kotak bungkusan.

"Aroma yang mampu menghancurkan melebur rasa sepi dalam hatiku, tak ada hal lain lagi yang ingin kucari di dunia ini selain kenikmatan alam semesta yang kau suguhkan untukku," lanjut Rempis memandang beberapa botol minuman keras.

Rempis membuka satu botol minuman, langsung meneguknya, "Ahhh....! Persetan dengan para bedebah dunia! Kita hanya perlu kembali memberi sedikit hiburan...untuk membantu menstabilkan jalannya para pemuja nafsu setan!"

Lagi menikmati sebotol minuman, suara ketukan pintu luar menghentikan kecamannya.

"Sudah tidur?" ucap Reus dari bilik jendela kecil pintu.

"Masuklah, aku hanya penumpang, bukan pemilik ruangan ini," balas Rempis mempersilahkan.

Reus mengambil kunci pintu di saku celana, membuka dan berjalan masuk kedalam sembari menutup kembali pintu tersebut, "Sepertinya, hal itu cukup membuatmu bahagia," lanjut Reus melihat-lihat seisi ruangan.

"Cobalah seteguk untuk menenangkan pikiranmu! Terlebih, mampu menghilangkan gundah hatimu itu," balas Rempis menyuguhkan minuman tersebut.

"Bagaimana kamu bisa berfikir jika aku sedang mengalami hal seperti yang kamu ucapkan? Aku sedang baik-baik saja. Aku datang kesini hanya untuk memastikan keadaanmu."

"Aku telah cukup lama dalam hal mengenali jutaan sifat manusia di bumi ini. Bagiku, tidak terlalu sulit untuk menilai isi pikiran anak muda sepertimu," singkat Rempis menuangkan segelas minuman untuk Reus.

"Itu hanya pemikiranmu saja, pikiranku tidak seperti yang...."

"Sssttttttt......." Rempis menghentikan laju bicara Reus, "Aku bisa menjadi tempat untukmu bercerita wahai anak muda, jangan pungkiri hal itu dengan beragam alasan. Jika kamu membutuhkan seseorang yang mampu mengimbangi jalan pikiranmu, kamu telah berdiri di atas pijakkan kaki yang tepat."

"Berhenti membual, minumlah secara rutin obat yang telah kami siapkan untukmu. Jaga dan sayangi kesehatanmu," jelas Reus kembali berjalan menuju pintu luar.

"Berkunjunglah kemari kapanpun kau mau. Pemuda sepertimu, cukup disayangkan bila menjalani hidup tanpa mengetahui keindahan di setiap sisi warna dunia," jelas Rempis tertawa kecil kembali meneguk botol minuman.

Terpopuler

Comments

ˢ⍣⃟ₛMPIT💋🅚︎🅙︎🅢︎👻ᴸᴷ

ˢ⍣⃟ₛMPIT💋🅚︎🅙︎🅢︎👻ᴸᴷ

wew... seperti nya akan ada cinta segitiga Bermuda 🤭

2023-12-30

1

🏘⃝AⁿᵘKᵝ⃟ᴸℝ𝕒𝕪𝕚𝕚☠ᵏᵋᶜᶟ🍂

🏘⃝AⁿᵘKᵝ⃟ᴸℝ𝕒𝕪𝕚𝕚☠ᵏᵋᶜᶟ🍂

Karna kamu aja yang Mesyumm Helen.😝
Imajinasimu terlalu liar,hemmm...

2023-12-29

1

Jenny

Jenny

Enaknya di penjara masih bisa minum2 kesukaan..
apa bedanya ya, masih tetep bisa nulis pun🧐

2023-12-23

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!