Sudah seharusnya, saat mendengarkan Faira menangis dan mengadu tentang mamanya, Fais langsung berlari ke arah mobil. Dia bahkan tidak lagi memegang tangan Diana, sehingga wanita itu harus bergerak lebih cepat agar tidak ditinggal oleh suaminya.
Dengan kecepatan di atas rata-rata, Fais mengemudikan mobilnya di jalan raya. Rasa panik, takut, khawatir, bercampur satu. Fais tak ingin terjadi hal yang buruk kepada ibunya.
"Hati-hati, Mas ...."
Perkataan Diana dianggap angin lalu. Tanpa menoleh dan mengendurkan ekspresi wajah, mobil metalik tersebut akhirnya berhenti tepat di depan rumah mewah.
Fais langsung membuka pintu mobil dan berlari ke kamar ibunya. Napasnya berembus tak beraturan, saling tumpang tindih dan perasaannya sulit dijelaskan.
Pintu kamar Bu Maya memang sudah terbuka lebar. Tampak wanita itu terbaring di atas kasur, sedangkan Faira sudah menangis kencang dalam pelukan Mbok Sri.
"Fai, gimana keadaan Mama?" tanya Fais membuat Faira dan Mbok Sri kompak menolehkan kepala.
"Apa yang Kakak harapkan? Mama udah pergi ninggalin kita."
Kalimat Faira memukul telak hatinya. Kedua kaki Fais dibuat kehilangan tenaga. Dia nyaris ambruk jika saja Diana tidak berdiri dan menahan tubuhnya. Wanita ini pun dibuat sama terkejutnya.
"Kakak ke mana aja, sih, hah? Bukannya Kakak janji bakalan datang sore? Kenapa hari udah malam Kakak gak datang-datang? Kakak tau, sampai napas terakhir pun Mama masih menyebut nama Kak Fais. Mama ingin melihat wajah Kak Fais. Mama ingin mendengar suara Kak Fais. Tapi, Kak Fais terlambat. Mama udah pergi selama-lamanya," teriak Faira sangat marah dan wajahnya dibasahi air mata.
"Ma, maaf .... Maafkan aku yang gak bisa tepatin janji, Ma."
Sama halnya seperti Faira, Fais juga sama terisak. Air matanya mengalir bagaikan anak sungai. Mengucur deras dan berkumpul di ujung dagu untuk kemudian menetes secara bersamaan. Tatapan matanya hanya mengarah ke arah sosok ibunya yang terbujur kaku. Dia ingin mendekat, tetapi tak berani. Perasaan bersalah timbul begitu besar dalam hatinya.
"Mas," Diana memanggil. Tak percaya jika wanita yang ia sayangi pergi secara tiba-tiba.
"Andai saja kamu mendengarkan saya. Andai saja kamu tidak memaksa untuk terus berada di taman itu. Mungkin saja masih ada kesempatan untuk saya menatap Mama terakhir kalinya."
"Maaf, Mas. Maafkan aku ...."
"Semuanya udah terlambat. Saya kecewa, saya marah, saya benci sama kamu, Diana."
Fais pergi dengan langkah lebar ke arah ibunya. Dipeluknya wanita itu untuk terakhir kali. Tepat di telinga Bu Maya, ia membisikkan ribuan kata maaf yang tak lagi ada artinya.
Prosesi pemakaman Bu Maya dilakukan malam itu juga. Semua berjalan cepat dan lancar. Fais memang tidak ingin mendiamkan mayat ibunya lebih lama di rumah. Walaupun masih banyak kerabat yang belum sempat melihat Bu Maya untuk terakhir kali, Fais tidak peduli.
Sejak itu pula, Diana merupakan satu-satunya orang yang paling dihindari. Karena menuruti kemauan Dianalah, Fais jadi tak sempat melihat ibunya.
Diana yang paham, seketika menjauhkan dirinya. Dia ingin memberi lebih banyak waktu untuk Fais. Bagaimanapun, semua ini adalah salahnya.
Kabar duka tersebut juga sampai ke telinga Ruben. Tak menghiraukan lelahnya badan, Ruben langsung menuju rumah Bu Maya detik itu juga. Kedatangannya disambut oleh tangisan Faira. Gadis itu menangis sambil memeluknya dengan erat.
"Mas Fais, kita nginap di sini, 'kan?" tanya Diana saat Fais hendak masuk ke dalam kamarnya yang terletak di lantai atas.
"Kamu saja, saya ada urusan lain," jawab Fais sambil membuka lemari untuk mencari-cari pakaian yang akan ia gunakan setelah mandi nanti.
"Mas Fais mau ke mana?"
"Bukan urusan kamu."
"Mas, aku minta maaf. Aku tau aku salah. Aku--"
"Maafmu itu tidak akan bisa membuat Mama saya hidup kembali. Jadi, simpan saja maafmu itu. Saya sudah muak mendengarnya."
Diana menangis, hatinya terasa nyeri. Dengan kedua pipi yang dibanjiri air mata, Diana melepaskan Fais yang berlalu begitu saja dari hadapannya.
Di jalan raya, Fais memacu kendaraannya dengan kecepatan gila. Seolah menyetir seperti itu, mampu menyalurkan amarahnya yang sejak tadi terpendam lama.
Ke mana dirinya akan pergi?
Dia pun tak tahu.
Setelah berputar-putar cukup lama di jalan raya, akhirnya Fais menghentikan mobilnya di sebuah kelab malam yang biasa ia kunjungi jika sedang merindukan Dara. Dengan langkah lebar dan ekspresi wajah yang cukup tegas, Fais memasuki tempat itu sendirian.
Setelah menemukan tempat yang pas untuk menghabiskan berseloki-seloki wiski, Fais pun mengatakan pesanannya kepada salah seorang bartender.
Saat dirinya sudah setengah mabuk akibat mengonsumsi terlalu banyak minuman, Fais merasakan tepukan agak keras pada bahunya. Ia menoleh dengan mata kuyu dan menemukan Ayla lengkap dengan senyum lebar.
"Di sini juga? Sama siapa?" Ayla bertanya dengan intonasi cukup tinggi lantaran tak ingin suaranya tenggelam dalam dentuman musik yang sangat keras.
"Sendiri," jawab Fais tak semangat lalu kembali meneguk minumannya hingga tandas dan menuangkan kembali dari botol hingga gelas itu terisi lagi.
"Bagus," ucap Ayla dengan suara kecil. Ia kemudian duduk di sebelah Fais, memandangi suami dari sahabatnya dengan penuh damba.
"Kok, keliatan lemes gitu? Kenapa? Lagi ada masalah sama Diana?"
"Iya."
"Keliatan, sih," gumam Ayla seraya meminta segelas minuman untuk dirinya kepada bartender yang berdiri tak jauh darinya. "Mau dibuat happy gak? Hitung-hitung biar masalahnya hilang sementara waktu?"
"Ada caranya?" Karena setahu Fais, satu-satunya cara agar ia kembali bahagia adalah dengan memutar waktu untuk kembali saat itu. Saat ia tak tegas menolak keinginan Diana untuk singgah di danau.
"Ada, dong. Tapi, jangan kasih tau sama Diana, ya."
Seulas senyum terbit di bibir Ayla yang merah merona. Dengan jari-jari lentik, ia mencekal lengan Fais dan memaksanya untuk ikut berjalan.
"Saya mau dibawa ke mana?" tanya Fais penasaran.
"Ke dance floor. Kita lepaskan semua masalah yang ada."
Fais menggeleng lemah, berikut melepaskan tangan Ayla yang memegang erat lengannya. "Saya tidak bisa."
"Kenapa? Kamu takut? Takut ketahuan Diana atau gimana?"
"Saya tidak takut. Cuma--"
"Ayolah, Mas. Kapan lagi kamu bisa happy? Lupain Diana, lupain masalah yang ada. Malam ini, kamu harus bahagia."
Fais terdiam. Otaknya yang setengah sadar berusaha mempertanyakan benarkah ini adalah Ayla, sahabat dari istrinya? Fais bukannya tak tahu. Ia sadar jika Ayla tengah menunjukkan rasa tertarik terhadapnya.
"Saya sudah menikah dan kamu juga. Dan, saya rasa ini tidaklah benar."
Ayla tertawa. Kalimat Fais terdengar cukup konyol di telinganya. Ia bertanya, "Kamu tau peraturan tak tertulis di tempat ini?" Fais menggeleng. "Tempat ini menghalalkan kebebasan. Status, hubungan, ketakutan, masalah, semua bisa dihilangkan. Jangan takut. Gak akan terjadi sesuatu sama kita." Tapi, untuk hubunganmu dengan Diana, aku tidak menjamin itu.
Melihat tak ada penolakan dari Fais, Ayla merasa jika keberuntungan memang tengah berpihak kepadanya. Ia membawa Fais ke dance floor. Bersama musik yang diputar sangat keras oleh seorang DJ kelas atas, Ayla menuntun Fais untuk bergerak mengikuti irama.
Namun, Fais hanya berdiri kaku tanpa sedetik pun memutuskan pandangan dari sosok berambut panjang di depannya. Cara Ayla tertawa dan membalas tatapannya, membuat Fais tak mampu lagi untuk berkata-kata.
Ayla mempunyai sesuatu dalam dirinya yang bisa membuat Fais tertarik dengan pandangan saja.
Malam makin larut. Jalanan mulai sepi. Kini, keduanya sudah berada di area parkiran.
"Suami kamu tidak marah karena kamu pulang larut malam?" tanya Fais yang dibuat heran karena Ayla tampak santai seolah tidak memikirkan suaminya.
"Aku di rumah aja dia marah terus. Udah biasa, sih, aku digituin sama dia," jawab Ayla yang sepenuhnya berbohong tentang Bayu. Padahal sejak tadi suaminya itu terus meneleponnya tanpa henti. Dia bahkan mengirimkan pesan panjang lebar untuk menanyakan keberadaan Ayla. "Kamu mau langsung pulang, Mas?"
"Iya, tapi rencananya bakalan ke hotel karena saya belum mau pulang ke rumah." Fais hanya tak ingin bertemu Diana. Setiap ia menatap wanita itu, amarah selalu muncul dalam hatinya.
Kayaknya mereka lagi bertengkar hebat. Bisa jadi peluang besar, nih, buat aku.
"Kenapa harus ke hotel? Mending ke rumah aku aja."
Fais membelalakkan bola mata dan bertanya, "Ke rumah kamu?"
"Bukan di rumah yang ada suamiku, tapi ke rumah ibuku. Gimana?"
Saat ini, Fais memang tengah merindukan ibunya. Jadi, dengan tak keberatan ia menerima tawaran Ayla.
Sesampainya mereka di rumah Bu Rosli, wanita paruh baya itu lantas merasa kaget karena Ayla datang sambil membawa teman. Hebatnya lagi, teman yang Ayla bawa kali ini adalah seorang pria kaya raya.
"Saya izin tidur di sini, Bu. Ibu tidak keberatan, 'kan?" tanya Fais.
"Enggak, dong. Mana ada Ibu keberatan. Temannya Ayla, kan, anak Ibu juga. Tapi, maaf, ya, kalau rumah Ibu kecil. Mungkin juga gak senyaman rumahnya Nak Fais."
Fais tersenyum. Perhatian Bu Rosli mengingatkannya tentang sosok ibunya.
Setelah membereskan kamar untuk Fais, Ayla menyuruh laki-laki yang sudah setengah mengantuk itu untuk langsung beristirahat. Begitu Fais meninggalkan ruang tamu, Bu Rosli segera menyemprot Ayla dengan banyak pertanyaan.
Ayla pun menjelaskan siapa Fais dan di mana mereka bertemu. Baiknya, ia mendapat dukungan penuh dari ibunya.
Masih asyik mengobrol saat larut malam, ponsel Ayla kembali berbunyi dan nama Bayu terpampang jelas di layar.
"Iya, Mas. Kenapa?"
"Kamu yang kenapa, La? Ke mana aja kamu jam segini belum pulang? Dari tadi Mas telepon kamu, kenapa gak diangkat? Mas kirim pesan, kenapa gak dibalas? Kamu di mana, sih, La?"
Ayla memutar bola mata dengan malas. Jika ia sudah mendapatkan Fais, ogah saja dirinya menjawab semua pertanyaan Bayu.
"Aku di rumah Ibu, Mas. Ibu lagi sakit soalnya."
"Eh, kok, Ibu, sih?" protes Bu Rosli tanpa suara, tetapi Ayla memberi kode untuk diam saja.
"Ibu sakit? Kenapa gak kasih tau, La?"
"Ya, maaf. Aku lupa kasih tau karena gak sempat pegang hp. Dan, malam ini aku nginap di sini, ya. Kamu sendiri aja gapapa, 'kan?"
"Gapapa. Tapi, lain kali tolong kasih kabar, ya, La. Mas khawatir dan cemas sama kamu. Mas pikir kamu kenapa-kenapa."
"Iya, Mas. Udah dulu, ya. Besok aku pulang."
"Iya. Selamat tidur, ya, Sayang."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
💞Amie🍂🍃
paket komplit pokoknya
2024-01-25
0
Muliana
tuh kan, faiz makin benci sama diana
kamu sih diana, batat
2023-12-30
0
Muliana
Fais,, ingat janjimu... Nanti kalau Diana pergi baru nyesal
2023-12-20
0