Setibanya di rumah, Fais langsung menuju ke kamar untuk melepaskan penat. Begitu berbalik, matanya menangkap Diana yang baru keluar dari kamar mandi.
"Eh, udah pulang, Mas? Kok, telat banget?"
"Tadi mampir ke rumah teman dulu. Bahas masalah kerjaan." Fais melonggarkan dasi yang melilit leher lalu meletakkan di atas sofa secara sembarang. "Saya mau mandi dulu, ya," ucapnya yang tidak direspons balik oleh Diana.
Saat Fais menatap Diana, wanita itu sudah lebih dulu memandangi dirinya dengan kening berkerut dalam.
"Kenapa?" tanya Fais tak paham akan sorot mata Diana.
"Itu ... " Jari tangan Diana terangkat, menyentuh ke arah bibirnya sendiri, " ... kenapa bisa luka? Lebam juga lagi. Mas Fais berantem?"
"Oh, ini." Fais berpikir keras. Harusnya ia mengatakan hal yang sejujurnya?
"Kenapa, Mas? Kenapa bibirnya begini?" Diana sudah mendekat. Raut wajah cemasnya tampak begitu kentara. Pelan-pelan, ia mengangkat tangan kanan dan menyentuh rahang Fais untuk memeriksa separah apa luka yang suaminya alami ini.
"Dipukul jambret, Di." Fais akhirnya memberikan jawaban. Dia berharap supaya Diana tidak lagi memberikan banyak pertanyaan, tetapi tidak.
Jawaban tersebut malah membuat Diana makin syok. "Eh, Mas Fais dijambret? Kok, bisa?"
"Bukan saya yang dijambret. Saya cuma nolongin orang aja. Kebetulan saya yang ada di sana. Lagian saya gapapa, kok. Lukanya juga udah diobatin tadi."
"Bener Mas Fais gapapa?" Diana masih khawatir. Ya, walaupun dia percaya jika Fais bukanlah sosok yang mudah dikalahkan. Dia tahu betul bagaimana kerasnya fisik Fais karena olahraga rutin setiap minggu.
"Benar, Di. Saya gapapa."
"Orang yang Mas tolongin tadi ... laki-laki atau perempuan?" Tiba-tiba saja Diana merasa penasaran. Dan, rasa cemburu itu sangat terasa nyata saat Fais dengan menjawab jika orang itu adalah perempuan.
"Cantik gak?" Diana bertanya lagi. Kali ini, dia memegangi salah satu tangan Fais yang segera diubah menjadi genggaman oleh laki-laki tersebut.
"Kenapa tanya gitu? Cemburu kalau orang yang saya tolongin itu perempuan cantik?"
"Nanya aja, sih, Mas," sahut Diana seraya merutuki kebodohannya dalam hati. "Terus tadi yang ngobatin luka Mas Fais siapa? Bukan perempuan itu juga, 'kan?"
Jantung Fais berhenti berdetak. Saat itu juga sekelebat bayangan Ayla tergambar dalam kepalanya.
"Bukan. Lukanya saya obatin sendiri."
Fais tidak tahu, apakah keputusannya untuk berbohong benar atau tidak. Dia hanya ingin menyelamatkan rumah tangganya mungkin? Untuk itulah, sejak awal dia menyembunyikan jika perempuan cantik yang ditolong olehnya merupakan sahabat dari istrinya sendiri.
"Bagus, deh. Gak kebayang kalau perempuan itu yang ngobatin lukanya Mas Fais," ujar Diana mengembuskan napas lega.
"Memangnya kenapa kalau luka saya diobatin sama dia?"
"Ya, aku gak rela, dong, Mas. Masa iya, sih, suami aku disentuh-sentuh sama perempuan lain? Cemburu akunya," ungkap Diana dengan berani. Tanpa tahu bahwa malam ini, dirinya baru saja dibohongi oleh suami yang ia cintai.
Akibat perbuatan curangnya itu, Fais jadi gagal memejamkan mata. Dia gelisah. Apa sebaiknya dia jujur saja? Selama menikah, belum sekalipun ia pernah membohongi istrinya. Tidak Dara ataupun Diana.
Malam ini, entah mengapa wajah Ayla lagi-lagi terbayang di mata. Fais tahu jika ini tidak baik. Tidak seharusnya ia memikirkan wanita lain saat Diana masih menjadi istrinya.
"Kenapa, Mas? Apa yang Mas pikirkan sampai gak bisa selarut ini?"
Fais menoleh ke kanan, menatap Diana yang mengubah posisi tidurnya menghadap ke arahnya. Makin ia pandang wajah Diana, dirinya makin merasa bersalah.
"Cuma masalah pekerjaan," jawab Fais yang lagi-lagi membohongi Diana.
"Mas, kalau aku minta kerja lagi, Mas Fais keberatan gak?"
"Kenapa? Uang yang saya kasih gak cukup?"
"Bukan gitu, Mas. Tapi, aku maunya ada kesibukan aja. Aku bosan kalau tiap hari di rumah terus."
"Kalau bosan, kamu bisa cari kegiatan lain. Jangan kerja, gak bakalan saya bolehin."
Kalau Fais sudah melarang, Diana tidak berani untuk membantah. Alhasil, dia hanya menganggukkan kepala lalu memejamkan mata dua detik setelahnya.
Dalam pejamnya, Diana merasakan sesuatu menyentuh pinggangnya. Terasa berat dan keras. Saat ia mengangkat kelopak, Diana dibuat tersenyum oleh tangan Fais yang melingkari pinggangnya.
"Kalau saya ada salah, saya minta maaf, ya, Di."
Kedua ujung alis Diana menyatu. Senyum di bibirnya memudar. "Memangnya Mas Fais ada salah sama aku?"
"Ada. Saya udah bohong sama kamu. Wanita yang saya tolongin itu adalah Ayla. Dan, saya juga membiarkan dia untuk mengobati luka saya."
"Mas, kok, malah ngelamun?" Diana menepuk pipi Fais dengan lembut dan tertawa kecil ketika Fais tersadar dari lamunan singkatnya. "Mas Fais ada salah apa sama aku sampai harus minta maaf gitu?"
Napas Fais tercekat. Kalimat yang ia rangkai baik-baik dalam kepala nyatanya hanya terucap dalam hatinya. Kemudian dia tersenyum, memutuskan untuk tetap tidak mengatakan hal yang sejujurnya kepada Diana. "Tidak ada. Buat jaga-jaga saja."
Untuk menutupi rasa bersalahnya, Fais mencium kening Diana seraya memejamkan mata. Dan, hal itu terus berlanjut sampai Diana melupakan tentang perasaan ragu terhadap tingkah suaminya itu.
* * *
"Selamat pagi, Pak Fais."
Ruben menyapa dengan senyuman tipis ketika dirinya memasuki ruang kerja Fais karena perintahnya.
"Pagi, Ruben. Ada berapa rekap agenda kita hari ini?" tanya Fais yang sibuk mengetikkan sesuatu pada laptop di depannya.
"Ada empat, Pak." Dan, Ruben pun segera menjabarkan apa saja pertemuan yang harus atasannya lalui hari ini dengan teliti. "Sebenarnya ada satu lagi, Pak."
"Apa itu?"
"Meeting dengan Pak Damian, CEO Daimon Group. Tapi, beliau membatalkan kerja sama yang terkontrak tersebut dengan alasan kurang jelas," jelas Ruben. Pagi tadi, dia mendapatkan telepon dari asisten pribadi Pak Damian yang membatalkan jadwal pertemuan mereka siang hari.
"Kenapa begitu? Bukankah mereka sudah menandatangi kontrak kerja bersama perusahaan kita? Seharusnya tidak bisa dibatalkan begitu saja. Ada kompensasi yang harus dibayar. Dan, jika kita tidak bisa menemukan perusahaan lain sebagai ganti Daimon Group, kita bakalan rugi dan siaran televisi kita akan kacau."
Ruben mengangguk saja. Sejujurnya, dia pun bingung harus merespons dengan kalimat seperti apa. Pembatalan kerja sama tersebut juga bukan salahnya. Namun, karena hanya dia di ruangan itu, maka dialah yang melihat bagaimana sangarnya ekspresi amarah Fais sampai nyalinya pun dibuat menciut.
"Hubungi pihak Pak Damian segera. Jam empat nanti, kita tetap harus meeting dengannya."
"Tapi, Pak, bisakah meeting-nya diundur sampai besok? Saya ada acara sore nanti."
Kening Fais melambung tinggi. Pertama kali sejak Ruben menjadi asistennya, perdana ia meminta izin terkait masalah pribadi dengannya. "Acara apa? Apa ada yang lebih penting dari bekerja dengan saya?"
"Em, i--itu, Pak ...."
Laki-laki bersetelan rapi yang usianya lebih muda dari Fais itu, tampak kesulitan menyampaikan jawaban. Mukanya memerah sampai telinga. Di dahinya keringat dingin mengucur deras.
"Apa, Ruben? Katakan segera!" perintah Fais tak sabar dengan suara yang cukup tinggi.
"Nona Faira, Pak," ucap Ruben sangat cepat.
"Faira? Adik saya? Kenapa lagi dia?" tanya Fais penasaran.
"Nona Faira mengajak saya untuk menemaninya ke acara reuni sekolah sore ini. Dan, sa--saya ... saya tidak tahu cara untuk menolaknya." Suara Ruben mengecil di ujung kalimat. Dia menunduk, tidak ingin menatap wajah Fais dengan ekspresi yang sulit diartikan.
"Anak itu ada-ada saja tingkahnya," gumam Fais kembali memandangi Ruben yang masih menundukkan kepala. "Ya, sudah. Temani saja dia. Sekalian, tolong jaga dia baik-baik. Awasi jangan sampai ada minuman beralkohol yang masuk ke mulutnya walaupun dengan kadar rendah sekalipun. Jangan sampai ada sembarangan laki-laki yang menyentuhnya. Jangan pulang terlalu malam. Dan, pastikan Mama saya tahu soal kepergian kalian malam ini."
Ruben mengembuskan napas panjang. Sebuah senyuman terbit di bibirnya. "Terima kasih, Pak. Semua perintah Bapak akan saya lakukan."
Fais mengangguk. Memang seharusnya begitu, 'kan?
Setelah mendapatkan titah untuk keluar dari Fais, Ruben pun menarik langkah untuk pergi. Sialnya, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum lebar setiap detik. Jantungnya masih berdetak cukup kencang, tetapi ada perasaan lega di dalamnya. Seakan-akan dia baru saja menemui kakak dari pacarnya dan meminta izin untuk membawa adiknya berkencan. Padahal hubungan dia dan Faira tidaklah seperti itu. Walaupun anak itu sudah beberapa kali mengutarakan perasaan suka kepadanya.
Menjelang siang hari, Fais baru keluar dari ruangan meeting. Ia menduduki kursi ruangannya dan bersiap-siap untuk mengecek pekerjaan yang akan ia urus setelah ini.
Detik berikutnya, pintu ruangannya diketuk dari luar. Ketika Fais menyuruh orang tersebut untuk masuk, Rani pun muncul.
"Kenapa, Rani?" tanya Fais.
"Begini, Pak. Di depan ada yang mau bertemu Bapak, tapi belum buat janji. Katanya, sih, dia itu teman Bapak."
"Teman saya? Namanya siapa?" bingung Fais menatap sekretarisnya dengan kedua ujung alis nyaris menyatu.
"Bu Ayla, Pak."
Saat nama itu meluncur dari mulut Rani, jantung Fais seolah berhenti berdetak. Nama dan sosok wanita itu tidak asing lagi di matanya. Pertanyaannya, untuk apa wanita itu repot-repot mendatanginya ke kantor? Apakah masih terkait masalah semalam?
"Bagaimana, Pak? Saya suruh masuk atau gimana?" tanya Rani membuyarkan lamunan Fais.
"Suruh masuk saja."
Fais tak tahu, apakah keputusannya untuk membiarkan Ayla menemuinya benar atau tidak. Dalam hati paling dalam, Fais sangat ingin menjaga perasaan Diana. Namun, sudut hatinya yang lain juga mengatakan. Jika ketika menatap Ayla, kerinduannya terhadap Dara bisa tersalurkan. Karena sampai detik ini, sosok Dara masih menempati posisi paling atas daripada Diana.
* * *
Pagi itu, ponsel Bayu yang diletakkan di atas nakas berdenting. Saat ia hendak mengambilnya, sudut matanya menemukan sehelai saputangan yang tergeletak di atas lemari kecil tersebut.
Bayu memperhatikan benda di tangannya dengan saksama. Dia memang mempunyai banyak saputangan, tetapi tidak dengan motif bergaris biru seperti ini. Ditambah lagi pada salah satu sudut benda tersebut, ada noda merah yang sudah mengering. Bayu yang penasaran, memutuskan untuk membawanya keluar.
"La, Mas nemuin saputangan di nakas. Punya siapa, ya?" tanya Bayu ketika langkahnya yang dibantu dua buah tongkat sampai pada posisi Ayla yang sedang memasak di dapur.
"Siapa lagi kalau bukan punyamu, Mas. Kan, aku gak pernah nyimpan saputangan," jawab Ayla tanpa menolehkan kepala karena sibuk mengaduk-aduk nasi goreng dalam wajan.
"Tapi, Mas gak punya yang motifnya garis biru seperti ini. Mana ada noda darahnya lagi."
Gerakan tangan Ayla terhenti. Otaknya mulai berpikir, mencerna setiap kata yang suaminya ucapkan.
Ingatannya pun kembali ke waktu semalam. Saat ia dengan sengaja mencuri saputangan milik Fais dan berharap dengan benda itu mereka akan bertemu lagi untuk kesekian kalinya.
Sialnya, ia lupa menyembunyikan dari Bayu sampai-sampai laki-laki itu malah menemukannya.
"Oh, kayaknya punya temanku, deh, Mas. Gak sengaja kebawa dalam tas aku semalam." Ayla beralasan dengan harapan Bayu akan mempercayainya.
"Memangnya temanmu kenapa sampai-sampai di saputangannya ada darah begini, La?"
"Ya, mana aku taulah, Mas. Orang saputangan itu punya dia. Kalau itu punya aku, baru bisa kamu tanyain." Ayla berdecak kesal. Setelah mengangkat nasi goreng dan meletakkan di atas meja, ia menghampiri Bayu dan merampas saputangan tersebut dari tangannya.
"Sarapannya udah siap. Kamu makan duluan aja. Nanti aku susul setelah selesai cuci saputangan ini."
Namun, sudut hati Bayu seolah menolak jawaban Ayla. Ada sesuatu hal yang membuatnya tidak bisa mempercayai perkataan istrinya. Benarkah ada sebuah kebenaran yang Ayla sembunyikan darinya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Taufiqillah Alhaq
dengerin tuh nasihat mamah mu, biar gak jadi anak durhaka. Udah dzalim sama istri, durhaka sama mamanya lagi. Faiz, faiz
2023-12-10
0
Teteh Lia
3 iklan meluncur
2023-12-09
1
Teteh Lia
Bang Fais, dengerin tuh mamah ngomong.
2023-12-09
0