Bayu sedang memainkan ponsel pada teras rumah sewaktu sebuah mobil berwarna abu-abu terang berhenti tepat di depan rumahnya. Seorang laki-laki yang mengenakan jaket kulit cokelat keluar dan berjalan ke arah Bayu dengan muka masam.
"Berangkat sekarang?" tanyanya ketus.
Bayu tersenyum tipis lantaran wajah sahabat baiknya ini tampak kesal sekali karena diminta bantuan olehnya. "Iya."
Saat Bayu akan mendorong kursi rodanya sendiri, sabahatnya--Raka--langsung mengambil alih. Walaupun kesal karena Bayu baru saja mengganggu waktu santainya dengan meminta ditemani ke rumah sakit, tetap saja Raka tak kuasa melihat sahabatnya ini kesusahan seorang diri.
"Biar aku aja," ucapnya lalu mendorong kursi roda Bayu hingga ke mobil.
Setelah membantu Bayu naik sekaligus menyimpan kursi roda pada bagasi mobil, Raka pun mengambil tempat pada bagian kemudi.
"Beruntung kamu punya sahabat baik kayak aku. Kalau enggak, udah mampus kamu sendirian di rumah."
Bayu tertawa mendengar omelan Raka terhadapnya. Kalau sudah dalam mode marah-marah seperti ini, Bayu angkat tangan saja. Raka terlalu bahaya untuk dilawan.
"Emang istri kamu ke mana, sih? Sibuk apaan dia? Sibuk bagi-bagiin semua uang kamu ke ibunya?"
"Entahlah. Katanya ada urusan," jawab Bayu seadanya.
"Urusannya paling gak jelas banget. Belanja, ngumpul sama teman-teman dan saling pamer barang mahal. Udah hafal aku sama kebiasaan buruk istri kamu, Yu."
Lagi-lagi Bayu hanya tertawa. Tidak membantah ataupun mengelak.
"Heran aku sama kamu. Apa lagi, sih, yang kamu liat dari Ayla? Kenapa gak kamu ceraikan saja dia?"
"Emangnya kenapa aku harus cerai sama istri aku?" Bayu bertanya balik, membuat Raka refleks menoleh dengan bola mata membuntang tak percaya.
"Kamu masih tanya kenapa, Yu? Kamu buta atau gimana? Apa yang udah Ayla perbuat ke kamu itu benar-benar gila. Dia gak ngurus kamu lagi. Dia sering ngomong kasar dan gak sopan. Bahkan hari ini, dia juga nolak buat nemenin kamu kontrol ke rumah sakit. Itu yang kamu sebut sebagai istri?"
"Ayla cuma lagi marah, Ka. Dia lagi kecewa aja sama aku. Mungkin karena kondisi aku yang sekarang ini. Kamu liat, aku cacat. Aku gak bisa kerja. Gak bisa penuhin kebutuhan dia kayak dulu."
Raka memukul setir. Ini yang paling ia benci dari Bayu. Bodoh dan selalu menyalahkan diri sendiri.
"Itu artinya dia gak benar-benar cinta sama kamu. Dia cuma mau uang kamu aja. Kamu dengar baik-baik ucapan aku. Jika suatu hari nanti semua harta kamu habis, dia bakalan pergi dan cari laki-laki lain yang lebih kaya. Ayla itu gak setia, Yu. Jangan bodoh gara-gara cinta."
Setelah mengatakan kalimat penuh penekanan itu, mobil yang dikendarai Raka pun berhenti. Mereka sudah sampai pada sebuah rumah sakit yang menjadi tempat kontrol Bayu setiap minggu.
Lagi-lagi, Raka membantu Bayu untuk keluar sekaligus mendorong kursi rodanya pada koridor rumah sakit. Tak ada pembicaraan yang keluar dari bibir mereka. Keduanya sama-sama sibuk. Bayu sibuk karena memikirkan perkataan Raka, sedangkan Raka sibuk memikirkan tentang ekspresi apa yang harus ia gunakan saat bertemu mantannya nanti.
* * *
"Keadaan Mas Bayu sudah makin membaik. Kalau rutin terapi dan minum obat, insyaallah bakalan sembuh."
Bayu tersenyum senang mendengar perkataan Dokter Tissa. "Jadi, kapan saya boleh pakai tongkat?"
"Secepatnya, Mas. Nanti kita liat di pertemuan berikutnya, ya. Kalau bisa pakai tongkat, artinya kedua kaki Mas Bayu sudah makin kuat. Nanti kita coba pelan-pelan." Dokter Tissa menjeda kalimatnya. Tangan putih dengan jari-jari lentik itu tampak menulis sesuatu pada secarik kertas. "Ini resep obatnya, Mas. Saya tambahkan beberapa jenis obat baru."
"Baik, makasih banyak, ya. Saya permisi dulu."
Dokter Tissa mengangguk dan tersenyum sopan. Kedua matanya mencuri pandang ke arah sosok laki-laki yang sejak tadi hanya berdiri di depan pintu tanpa sedikit pun melangkah masuk.
"Mas Raka ...." gumamnya dengan harapan agar Raka untuk sekali saja menolehkan kepala ke arahnya.
Namun, sampai Bayu datang dan Raka mengambil alih mendorong kursi roda tersebut, sosok laki-laki dengan garis wajah tegas masih tidak menatap ke arahnya.
"Maafin Tissa, Mas. Tissa kangen sama Mas Raka."
Tissa tahu itu percuma. Raka ... sudah telanjur membencinya.
Raka dan Bayu selesai menebus obat di apotek. Kini, keduanya berada dalam perjalanan pulang.
Raka yang penasaran, memutuskan untuk bertanya-tanya tentang progres kesehatan Bayu. Setelah menjawab seperti apa yang Dokter Tissa katakan, Bayu pun balik melemparkan pertanyaan.
"Kamu masih belum maafin Tissa, Ka?"
"Jangan bahas itu, Yu," jawab Raka yang fokus menyetir mobil.
Namun, Bayu tak peduli. Saat di perjalanan ke rumah sakit, Raka tak henti-hentinya mengomeli tentang sikap buruk istrinya. Kini, Bayu ingin memutar balik keadaan.
"Kenapa, sih, Ka? Bukannya Tissa udah berulang kali minta maaf ke kamu? Apa salahnya dikasih kesempatan? Semua manusia juga punya salah, 'kan?"
Keadaan hening seketika. Lagu-lagu klasik yang sempat diputar, entah mengapa berhenti begitu saja. Mungkin radionya rusak, Raka pun tak tahu.
"Ka ...." Bayu memanggil. Kebungkaman Raka membuatnya geram sendiri.
"Kamu tau, Yu, di dunia ini, hanya ada dua jenis kesalahan manusia. Sengaja dan tidak sengaja. Bagi aku, tidak ada maaf untuk kesalahan yang disengaja. Terlepas dari dia menyesal atau tidak, tetap saja, dikhianati itu rasanya menyakitkan."
Cara bicara Raka tampak berbeda. Suaranya rendah, ekspresinya tegas, dan ketajaman caranya menatap terlihat begitu mematikan.
"Aku bukan kamu, Yu. Cara berpikir kita berbeda. Kamu punya sejuta maaf jika disakiti berulang kali, tapi aku tidak. Selama aku hidup, tidak ada tempat untuk seorang pengkhianat seperti dia."
Bayu tak tahu harus merespons seperti apa. Perkataan Raka memang ada benarnya. Namun, pendiriannya pun cukup tegas. Melihat bagaimana sorot penyesalan yang terpancar dari mata indah Tissa, rasanya Bayu jadi tak tega.
Sibuk memikirkan tentang kelanjutan hubungan Tissa dan Raka, Bayu tak sadar jika keduanya sudah sampai di rumah dengan selamat.
"Masuk dulu, yuk," ajak Bayu kepada Raka.
"Em, boleh, deh," sahut Raka seraya membantu Bayu untuk duduk di atas kursi roda dan mendorongnya hingga ke teras.
"Aku ganti baju dulu. Gerah."
"Oke. Aku tunggu di sini. Nanti jangan lupa bawain aku minum, ya. Haus ."
Bayu mengacungkan jempol kanan lalu mendorong kursi rodanya sendiri sampai ke dalam.
Sewaktu Raka mengambil ponsel untuk melihat kabar terbaru dari klien yang harus ditemuinya besok, sebuah mobil berhenti di halaman rumah tersebut.
Raka tersenyum sinis saat Ayla keluar dan melemparkan tatapan tajam ke arahnya. Kedua manik matanya mengarah ke arah tangan Ayla. Kosong.
"Tumben gak bawa pulang belanjaan? Kenapa? Uang yang dikasih Bayu habis, ya?" tanya Raka dengan pertanyaan paling kejam.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Muliana
Jahat, tapi karena kamu tidak menghargai diana sebagai istrimu.
2023-11-28
1
Teteh Lia
dibikin greget sama Ayla dan ibunya. 😬
2023-11-28
1
Teteh Lia
lanjut Kaka.
semakin seru.
2023-11-28
1