Baru saja Raka keluar dari salah satu kamar di mana rekan kerjanya dirawat di sana. Saat akan pulang, ia dikejutkan dengan kemunculan seorang perempuan yang berdiri tak jauh darinya.
Tatapan keduanya bertembung dan Raka sudah bersiap pergi jika seandainya Tissa tidak menghalangi langkahnya.
"Minggir." Singkat dan jelas. Sorot mata Raka menusuk bagaikan belati yang sangat tajam.
Sebenarnya Tissa takut. Nyalinya menciut karena raut wajah Raka yang selalu tegas dan keras. Namun, keyakinan dan tekad Tissa pun sudah mengakar kuat. Apa pun ceritanya, dia tidak akan membiarkan Raka pergi tanpa mendengarkan kata maaf darinya.
"Mas Raka, Tissa mau bicara. Sebentar saja, Mas. Tissa janji gak bakalan lama," mohon Tissa dengan manik mata berkaca-kaca.
"Aku gak ada waktu. Aku sibuk," jawab Raka dan bersiap-siap akan pergi.
Namun, dengan gerak cepat Tissa langsung menarik kedua tangan Raka dan menggenggamnya. Membuat Raka terhenti dan kembali memandangi mantan pacarnya itu.
"Mas Raka, Tissa mohon .... Sebentar saja. Ada yang harus Tissa jelaskan sama Mas Raka. Tissa mau--"
"Minta maaf, 'kan?" tebak Raka sebelum Tissa berhasil menyelesaikan kalimatnya. "Udah basi, Tissa. Maafmu sama sekali gak ada artinya buat aku. Maafmu gak bisa mengubah masa lalu kita. Maafmu gak bisa menyembuhkan sakit di hatiku."
"Tapi, Mas--"
"Jangan beralasan, Tissa. Padahal kamu tau aku paling benci dikhianati. Tapi, kenapa harus kamu yang melakukannya? Kenapa harus orang yang aku sayangi?"
Air mata Tissa sudah mengalir deras. Bibirnya bergetar dan hidungnya memerah.
Beruntung karena koridor tersebut terbilang cukup sepi. Jadi, tak ada yang melihat tangisan Tissa dan wajah tak tega Raka yang disembunyikan dengan rapat olehnya.
"Asal kamu tau--" Kalimat Raka terhenti. Ekspresi khawatir yang mati-matian disembunyikan olehnya akhirnya terlihat juga. Kedua matanya membola tak percaya. Dengan kepala sedikit direndahkan, Raka berusaha menyentuh pipi Tissa hanya untuk memastikan bahwa cairan merah yang mengalir dari hidung Tissa adalah darah. "Hi--hidung kamu berdarah. Kamu mimisan?"
Sama halnya seperti Raka, Tissa juga tampak sangat terkejut. Spontan saja dia menyentuh hidungnya untuk memastikan perkataan Raka. Dan, yang ia temukan beneran darah.
"Maaf, Mas. Tissa harus pergi."
"Tapi, Tissa--"
Dan, perempuan itu sudah berlari dari hadapannya. Raka berusaha mengejar, tetapi Tissa menghilang di belokan yang membawanya ke toilet. Tak ingin langsung pergi, Raka memutuskan untuk menunggu.
Begitu Tissa keluar, Raka dengan cepat melemparkannya sederet pertanyaan. "Kamu belum jawab pertanyaan aku. Kamu sakit?"
Tissa terdiam, tetapi dua detik kemudian menggelengkan kepalanya. "Tissa gak sakit, Mas. Tissa baik-baik aja."
"Kalau gak sakit kenapa kamu mimisan?" Raka tidak percaya. Dia tahu, Tissa pasti menyembunyikan sesuatu darinya.
"Ya, karena Tissa kelelahan. Tissa dari malam kemarin bergadang terus soalnya."
"Sejak kapan kamu gitu? Dulu bukannya gak pernah?"
Tissa yang bingung memberikan alasan apa lagi untuk menjawab pertanyaan Raka, mendadak menemukan sebuah ide jahil. Dia tersenyum penuh makna seraya menaik-turunkan kedua alisnya dengan cepat. "Mas Raka, kok, kepo gitu, sih? Mas Raka peduli banget, ya, sama Tissa?"
"Ya, iyalah aku peduli. Orang aku masih sa ...."
Kalimat Raka terhenti saat ia tersadar bahwa pengakuan seperti itu sudah tak pantas ia katakan.
"Masih apa, Mas? Masih sayang, ya?" tanya Tissa dengan berani. Ia terus mengubah topik pembahasan agar Raka tidak kembali membahas tentang dirinya.
"Ck, jangan ngaco kamu. Mana ada aku masih sayang sama kamu," ketus Raka yang mencoba untuk menyembunyikan perasaannya.
"Ya, udah, gapapa kalau gak sayang. Tapi, Tissa udah dimaafin, 'kan?"
Raka tidak langsung memberikan jawaban. Tatapannya jatuh, menekuri raut wajah dan sorot mata gadis yang pernah mematahkan hatinya.
Rasanya Raka masih tidak percaya bahwa gadis semanis Tissa mampu menorehkan luka yang begitu pahit untuknya. Raka seakan belum bisa menerima, perempuan yang pernah dan masih ia sayang sampai detik ini, nyatanya meninggalkan kenangan buruk yang tak bisa ia lupakan.
Masih segar dalam ingatan Raka sewaktu Tissa menghampiri dirinya dan mengatakan bahwa ia akan menikah dengan orang lain. Hanya karena Raka kalah harta, Tissa rela meninggalkan dirinya.
"Mas Raka," panggil Tissa lantaran tak sepatah kata pun keluar dari mulut Raka. "Tissa belum dimaafin, ya?"
"Aku gak tau. Lukanya belum sembuh soalnya."
* * *
Di kediaman Fais, Diana lagi-lagi dibuat heran dengan kehadiran Fais di rumah. Saat ia bertanya, katanya laki-laki itu kembali mengambil cuti untuk hari ini. Dan, pekerjaan di kantor, ia serahkan kepada Ruben.
"Kamu ingin ke mana hari ini?" tanya Fais saat Diana membawakan segelas kopi untuknya.
"Hm, ke mana, ya? Aku juga gak tau, Mas," jawab Diana seraya ikut duduk pada sebuah kursi yang diletakkan di tepi kolam berenang.
"Ya, udah. Kita liat nanti, ya. Yang penting, kita keluar dulu hari ini."
Fais kembali menatap layar ponsel. Sebenarnya memang ada pekerjaan yang harus ia urus langsung. Namun, untuk menyenangkan Diana, Fais meninggalkan pekerjaan itu sementara waktu.
Dalam hati, tekad Fais sudah bulat. Dia akan mencoba membuka dirinya untuk Diana. Terlepas berhasil atau tidak.
"Oh, iya, Mas. Kemarin aku liat, Amsterdam Cafe ada launching menu baru. Mas Fais mau ke sana gak?"
"Boleh," jawab Fais tanpa harus berpikir panjang.
"Ya, udah, aku siap-siap dulu, ya."
"Iya."
Diana kembali masuk ke dalam rumah dengan perasaan berbunga. Kemarin dan hari ini, adalah keadaan yang sangat membahagiakan dirinya. Diana seolah diguyur dengan beribu-ribu tetes kegembiraan. Perubahan Fais benar-benar terlihat nyata. Diana yakin, lambat laun Fais pasti akan mencintainya.
Diana telah siap dengan dress polos berwarna merah pekat. Sementara Fais tampak tampan dengan kemeja putih yang lengannya dilipat sampai siku yang dipadukan dengan celana hitam.
Perjalanan mereka memakan cukup banyak waktu. Hari libur membuat jalanan cukup macet. Sewaktu gedung Amsterdam Cafe terlihat di depan mata, Fais pun mematikan mesin mobilnya di parkiran.
"Mas Fais pernah ke sini gak sebelumnya?" tanya Diana memperhatikan Fais yang sedang melepaskan sabuk pengaman.
"Belum. Kamu pernah?"
"Pernah, sama Faira. Makanan di sini enak-enak, kok. Sesuai sama harganya yang selangit," jelas Diana dengan semangat.
Fais mengangguk lalu mengajak Diana untuk turun.
Begitu melewati pintu masuk, Fais akhirnya mengakui jika kafe ini memiliki standar yang cukup tinggi. Ornamen yang dipilih pun bukan sembarang pilihan. Semuanya seolah telah diseleksi. Hanya yang mahal dan bernilai tinggi saja yang boleh memasuki tempat ini.
"Duduk di sini aja, Mas." Diana menarik lengan Fais ke sebuah meja yang berhadapan langsung dengan dinding kaca yang menawarkan pemandangan keramaian kota.
Dua detik kemudian, Fais tiba-tiba berkata, "Ponsel saya sepertinya ketinggalan di mobil. Saya ambil dulu, ya."
"Oh, oke," sahut Diana dengan senyuman tipis dan lanjut menikmati lagu klasik yang dibawakan oleh seorang penyanyi dari atas panggung.
Saat sedang larut mendengarkan lembutnya suara penyanyi laki-laki tersebut, kedua manik mata Diana tak sengaja menangkap kehadiran seseorang yang sedang turun dari lantai dua. Diana mengenali wanita tersebut.
Wajahnya yang dingin. Rambut panjangnya yang tergerai. Dan, postur tubuhnya yang tinggi dan langsing.
Ya, tidak salah lagi. Itu adalah sahabatnya saat masih menduduki bangku SMA.
Tanpa menghiraukan kedatangan pelayan pada mejanya, Diana langsung saja berdiri dan berjalan cepat ke arah wanita tersebut yang tampaknya akan segera pergi.
"Siapa, sih?" ketus wanita itu saat tangannya dipegang oleh Diana.
"Ayla, 'kan?" tanya Diana lebih ke arah memastikan bahwa ini benar-benar seseorang yang pernah dekat dengannya. "Ini aku, La. Masa kamu lupa sama teman SMA sendiri."
"Eh, Diana, ya?"
Diana mengangguk. Perasaan bahagia meletup-letup lantaran Ayla tidak melupakan dirinya. "Kamu apa kabar? Lama banget kita gak jumpa. Udah makin cantik aja kamu sekarang."
Ayla tertawa singkat. Seketika muka judesnya berubah riang. "Kabarku baik. Kamu kabarnya gimana? Sehat? Masih tinggal sama orang tua angkat kamu yang kaya raya itu gak?"
"Masih, La. Tapi, aku udah bukan anak angkat Mama lagi."
"Kenapa? Mereka udah gak mau urus kamu lagi, Di? Kamu udah dibuang?" tanya Ayla penasaran. Dalam hati dia membatin. Mungkin saja Diana sudah dibuang oleh mereka. Dan, sekarang perempuan ini sudah tidak jelas hidupnya.
Ayla berharapnya, sih, begitu. Namun, melihat betapa mahalnya penampilan Diana, Ayla rasa itu tidak mungkin.
"Ya, enggaklah, La. Aku gak dibuang, tapi diangkat jadi menantu keluarga mereka."
"Eh, bentar-bentar. Kamu jadi menantu keluarga mereka? Berarti kamu udah nikah, dong, sama satu-satunya lelaki di keluarga itu?"
Pertanyaan Ayla dibenarkan dengan anggukan kepala dari Diana. Belum sempat ia melanjutkan kata, Fais akhirnya kembali dan berdiri tepat di belakang Diana.
"Diana," panggil Fais hanya untuk membuat Diana menatap ke arahnya.
"Mas Fais," Diana tersenyum lebar dan berkata, "Kenalin, ini Ayla. Teman sekolah aku dulu. Dan, Ayla, ini Mas Fais, suamiku."
Diperkenalkan langsung oleh Diana, keduanya kompak saling menatap mata. Jika Ayla mati-matian memaki dalam hati betapa beruntungnya Diana lantaran berhasil dinikahi suami tampan dan kaya raya, Fais pun nyaris membeliakkan mata.
Dara.
Hanya satu nama yang terlintas dalam hatinya saat matanya menatap sosok diperkenalkan oleh istrinya tersebut.
Ini adalah wanita yang kulihat kemarin di taksi itu. Dia ... benar-benar mirip dengan Dara.
"Ayla."
Lamunan Fais pecah sewaktu tangan Ayla terulur ke arahnya. Berusaha menahan gugup dan gemetar, Fais menyambut uluran tangan Ayla dengan sopan.
"Fais."
Wanita itu tersenyum. Membuat Fais refleks mengeratkan genggaman tangannya karena senyum itu benar-benar mengingatkannya akan sosok Dara.
Dan, sebelum Diana curiga akan sikapnya, Fais akhirnya melepaskan tangan itu. Walau dalam hatinya ada perasaan tak rela.
"Oh, iya, La. Aku sama Mas Fais mau cobain menu baru di sini. Kamu mau ikut gabung gak?"
Ayla berdeham untuk menormalkan suara dan raut wajahnya. "Enggak dulu, deh, Di. Soalnya aku juga baru makan di atas."
Sebenarnya Ayla sangat teringin untuk makan bersama untuk mencari tahu lebih banyak tentang suami dari sahabatnya. Namun, dia tidak ingin terburu-buru. Karena dari yang ia lihat, sepertinya suami Diana sedikit tertarik juga dengannya.
Ayla tahu jika dirinya ini sangat cantik. Kulitnya putih, matanya jernih, dan ia memiliki badan yang cukup tinggi dan langsing. Dilihat dari sudut manapun, Ayla tidak kekurangan satu apa pun. Hanya karena menikah dengan Bayu saja, membuat nilai dirinya menjadi sedikit berkurang.
Sepertinya sudah saatnya aku mengganti posisi Mas Bayu sebagai suami aku. Sekarang, bagaimana caranya aku mendapatkan lelaki ini?
Suara hati Ayla benar-benar menggila. Ayla tak henti-hentinya mencuri pandang terhadap Fais yang sesekali dibalas pula olehnya.
"Em, kamu udah nikah juga, La?"
Ck, sial. Mengapa Diana harus bertanya langsung tentang status dirinya, sih? Rasanya dia ingin berbohong saja. Apakah boleh, ya?
"Aku udah nikah. Tapi, begitulah. Aku gak bahagia. Suamiku baru kecelakaan dan kakinya lumpuh. Tiap hari kerjaannya marah-marah mulu. Ini aja aku lagi berusaha cari uang buat pengobatan suamiku. Tapi, tetap saja, di matanya aku tidak ada harganya."
"Ya, ampun, La."
Diana mendekat lalu memeluk Ayla dengan erat. Bertemu setelah sekian lama berpisah, Diana tidak menyangka jika kehidupan rumah tangga Ayla sebegitu pilunya. Dia pikir, sahabatnya ini bahagia. Ternyata apa yang Ayla rasakan jauh lebih buruk darinya.
"Aku minta nomor kamu, ya. Siapa tau, aku bisa bantu kamu nanti." Diana memutar kepala, menatap suaminya yang diam saja dan bertanya, "Mas Fais ngebolehin, kan, kalau aku nanti bantuin Ayla pas dia kesusahan?"
Fais mengangguk tanpa mendengarkan dengan benar pertanyaan apa yang Diana tanyakan. Sejak tadi, matanya benar-benar dibuat terpaku pada sosok yang sangat mirip dengan Dara, seseorang yang namanya masih ada dalam hatinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
💞Amie🍂🍃
Iklan dulu thor
2024-01-17
0
Teteh Lia
siapa ya kira2? 🤔
2023-12-06
0
Muliana
wah,, pertanda baik diana. Pertama pakai kalung, terus lagi terus lagi. sampai akhirnya faiz melirik mu.
2023-12-06
0