Sebuah rumah bergaya Eropa dengan pilar-pilar tinggi dan air mancur di tengahnya tampak indah lagi menawan dipandang mata. Suasana sunyi dan sepi. Selain beberapa orang penjaga yang hilir mudik pada setiap sudut halaman, tak ada kehidupan lain yang menandakan keberadaan si pemilik rumah.
Mobil hitam metalik keluaran terbaru tampak melaju ke arah gerbang rumah tersebut. Para penjaga mengenali jika itu adalah mobil milik majikan mereka. Tanpa berlama-lama, dua orang penjaga kompak membuka gerbang dan membiarkan mobil tersebut lewat dengan cepat.
Salah seorang penjaga yang bernama Amar sigap berlari untuk membuka pintu mobil. Namun, bukan majikan mereka yang keluar, melainkan Ruben--asisten pribadi Fais.
"Pak, tolong bantu saya membawa masuk Pak Fais ke dalam," kata Ruben kepada pria dengan tubuh tinggi, berotot tegap, dan rambut panjang disanggul rapi.
"Baik, Pak."
Bersama-sama mereka menuju pintu satunya lagi. Begitu membukanya, tampak Fais--majikan sekaligus pemilik rumah ini--terkapar tak berdaya. Bau alkohol menguar dari tubuhnya. Tak perlu bertanya, Amar sudah tahu apa yang terjadi pada majikannya itu.
Untuk mencapai pintu utama, baik Amar, Ruben, dan Fais--yang diapit di antara kedua orang tersebut--perlu menaiki beberapa anak tangga. Setelah itu, pintu bergaya klasik dengan ukiran-ukiran rumit terlihat jelas di depan mata.
Amar menekan bel yang terdapat di samping pintu. Kemudian, pintu besar tersebut dibuka dari dalam.
"Ya, Tuhan, apa yang terjadi sama Mas Fais?" pekik Diana yang terkejut melihat keadaan suaminya. Namun, belum pun Ruben memberikan penjelasan, hidungnya mencium bau minuman yang sangat pekat. "Mas Fais mabuk lagi?" tanyanya hati-hati dan Ruben menganggukkan kepala.
"Ya, sudah, tolong dibawa ke kamar, ya," lirihnya lagi seraya memberi jalan agar dua orang laki-laki tersebut bisa memapah suaminya ke kamar.
"Mas Fais, kenapa harus begini lagi?" Air mata Diana mengalir. Sebelum ada yang melihatnya, ia cepat-cepat menyekanya.
Setelah menutup pintu, Diana menyusul Ruben dan Amar yang baru saja selesai menidurkan Fais di kasur. Dengan sungkan, Amar lebih dulu berpamitan keluar.
Ruben juga mengambil langkah yang sama, tetapi di ambang pintu kamar, Diana mencegah langkahnya.
"Mas Fais kenapa bisa mabuk-mabukkan lagi? Emangnya gak kamu cegah?"
"Maaf, Bu. Saya sudah berusaha melarangnya, tapi malah saya yang kena marah," jawab Ruben sangat sopan.
"Ya, sudah. Makasih banyak udah nganterin Mas Fais ke sini. Nanti pulangnya minta diantar sama supir di sini aja. Pasti mobil kamu ditinggal lagi di sana, 'kan?"
Ruben mengangguk lalu berpamitan keluar setelah kata 'terima kasih' terlontar dari bibirnya.
Saat Ruben sudah benar-benar pergi, Diana kembali ke kamar. Matanya menatap lama ke arah Fais yang terkapar tak berdaya. Bahkan, dari jarak yang cukup jauh saja, bau alkohol tercium sama pekat. Diana tidak bisa menebak sebanyak apa suaminya ini menenggak minuman tersebut.
Tak membiarkan air matanya berjatuhan, Diana mendekat dan melepaskan sepatu lalu kaus kaki Fais yang masih melekat. Dia juga menanggalkan jas hitam yang Fais kenakan dengan sangat hati-hati. Diikuti dengan kemeja putih lalu celana berbahan kain dengan harga tak main-main.
Lagi dan lagi, Diana kembali mengurus Fais yang tidak sadarkan diri seperti ini. Bukan kali pertama dan bukan rahasia lagi baginya. Sejak mereka menikah setahun yang lalu, beberapa bulan sekali Fais pasti akan seperti ini.
Diana bersabar, mengabdi pada sosok suami yang tersenyum saja sangat jarang untuknya. Dia yakin jika suatu hari nanti, Fais pasti akan mencintainya.
Setelah mengelap seluruh badan dan mengganti pakaian dengan baju tidur, Diana pun turun dari kasur. Namun, belum sempat ia melangkah, lengannya dicekal dan mata Fais yang setengah terbuka mengarah ke arahnya.
"Mau ke mana?" tanya Fais pelan. Suaranya rendah dan serak. Pertanda bahwa tak ada tenaga yang tersisa.
"Mau ke dapur sebentar. Kenapa? Mas mau dibawain minum?" tanya Diana.
Fais menggeleng lemah. "Jangan ke mana-mana dulu. Di sini dulu sama aku. Aku mau tidur sambil peluk kamu."
Diana tercengang. Apa yang terjadi pada suaminya ini? Minuman jenis apa yang ia minum sampai-sampai permintaannya jadi aneh seperti ini?
"Dara, Sayang .... Kenapa diam aja? Kamu gak mau? Kamu mau pergi lagi, ya? Kamu mau nninggalin aku lagi?"
Jawabannya sudah Diana temukan.
Fais bukan sedang menginginkannya. Fais bahkan tidak menatapnya sebagai Diana--istri sahnya saat ini. Efek minuman yang Fais habiskan membuat pikiran sekaligus matanya menjadi buram.
"Ma--Mas ...." Suara Diana tercekat. Cukup sulit untuk sekadar mengeluarkan kalimat, 'Aku Diana, bukan Dara'.
"Dara, Sayang." Fais kembali memanggil. Kali ini, ia menarik lengan Diana dan membuat wanita itu duduk di sisi tubuhnya. "Aku cinta kamu. Jangan pergi-pergi lagi, ya. Aku gak tau mau cari kamu ke mana."
Air mata Diana meleleh dengan sendirinya. Hatinya terasa sakit dan sesak. Tenggorokannya perih, sulit mengucapkan kata-kata. Berkali-kali Diana membuka mulutnya, berkali-kali pula suaranya hilang entah ke mana. Dengan sesegukan, Diana menatap Fais yang juga sedang menatapnya.
Suaminya ini tersenyum senang. Entah senyum Dara yang bagaimana yang terlihat di matanya.
"Jangan pergi lagi, ya. Kamu sayang juga, kan, sama aku?" tanya Fais. Genggamannya makin erat dan kuat. Sangat takut jika Dara akan kembali pergi dari sisinya.
"Iya, Mas. Dara gak bakalan pergi. Dara bakalan tetap di samping Mas."
Fais tersenyum bahagia. Perlahan-lahan, ia menutup kedua matanya dan tertidur pulas begitu saja.
Diana yang masih menangis, dengan hati-hati sekali mengelus garis wajah Fais yang hanya bisa disentuh saat suaminya terlelap seperti ini. Jika ingin mencium pun, Diana harus menunggu sampai Fais tertidur. Karena Diana sadar, mereka tak pernah lebih dari ini.
Hati Fais masih tertinggal di masa lalu. Bertaut cukup erat pada seorang wanita yang telah tiada. Diana pun tahu, penyebab Fais mabuk-mabukan hanyalah untuk melampiaskan kerinduan kepada Dara.
"Selamat tidur, Suamiku. Semoga kamu bisa mencintaiku suatu hari nanti," ucap Diana sambil menatap suaminya yang tertidur sambil memegang tangannya.
Lalu dengan gerak yang cukup pelan, Diana merendahkan tubuh dan mengecup pipi Fais cukup lama. Rasanya menyenangkan. Walaupun masih ada sakit yang terselip di antaranya, Diana yakin semuanya akan baik-baik saja.
Ini hanya tentang waktu. Ia yakin, dirinya mampu bersaing dengan Dara.
Namun, keyakinan ini mendadak pudar. Diana kembali tak yakin akan hasil akhir yang diterima olehnya. Jika sampai ini pun, foto pernikahan Fais dan Dara masih tergantung dalam bingkai besar di dalam kamar mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Penikmat Novel 🥰
sedih jadi istri yang tak dianggap 😭
2024-02-08
0
💞Amie🍂🍃
Kasian bgt Weh,
2024-01-02
1
Taufiqillah Alhaq
penasaran sama kelanjutannya... next ya thor
2023-11-24
1