Jarum jam menunjukkan angka dua tepat sewaktu Fais selesai menyudahi rapat dengan para direksi di kantornya.
Orang-orang yang berpakaian formal tersebut, satu per satu meninggalkan ruang meeting seraya bersalaman dengan Fais selaku direktur utama kantor ini.
"Masih ada jadwal lagi, Ben?" tanya Fais sambil menatap Ruben yang sudah berdiri tegak tak jauh dari dirinya.
"Tidak ada, Pak."
"Baik, terima kasih. Saya pulang dulu kalau gitu."
Fais beranjak pergi dan Ruben mengikuti langkahnya. Tepat setelah keduanya keluar dari ruangan tersebut, baik Fais ataupun Ruben sama-sama menghentikan langkahnya.
"Faira, kok, kamu ke sini? Gak di kampus?" tanya Fais yang bingung lantaran menemukan adik perempuannya datang ke kantornya. Lama-kelamaan Fais jadi curiga. Sebagai mahasiswa semester akhir, Faira masih terlihat santai. Sebenarnya, anak ini serius tidak, sih, belajar di kampus?
"Kelas lagi kosong. Dan, karena aku belum makan siang, jadinya aku ke sini," jelas Faira yang membuat Fais dan Ruben jadi makin bingung.
"Jadi, kamu ke sini cuma buat numpang makan siang?" Fais memastikan.
"Ya, bukan, dong, Kak. Aku ke sini mau ketemu sama Pak Ben."
"Eh, saya?" tanya Ruben yang kaget karena namanya dibawa dalam obrolan kakak beradik itu.
"Emangnya di sini ada Pak Ben yang lain apa?"
"Tidak, sih," jawab Ruben setelah berpikir beberapa detik sembari menggelengkan kepala.
"Ya, udah. Ayo!" Faira menarik lengan Ruben, membuat laki-laki itu kaget dan refleks menatap Fais untuk meminta bantuan.
Fais yang peka, lantas menepis tangan Faira dari lengan asisten pribadinya itu. Dengan muka marah, ia bertanya kepada Faira, "Apa yang kamu lakukan, Faira? Ruben ini harus bekerja."
"Sebentar doang, Kak. Gak sampai sejam. Nanti kalau udah selesai, Pak Ben-nya aku balikin lagi."
Faira hampir kembali meraih lengan Ruben, tetapi Fais dengan gerak cepat berdiri di hadapannya.
"Tidak Kakak izinkan. Mendingan kamu pergi dari sini. Jangan ganggu Ruben dengan tingkahmu yang gak jelas itu," ucap Fais penuh penekanan.
"Aku gak ganggu Pak Ben, Kakak. Aku cuma minta ditemani maksi doang. Emang salah? Lagian Pak Ben juga keliatan lapar banget. Pasti jam segini, Pak Ben belum makan. Benar, kan, Pak?"
Ruben tergagap, kembali menatap Fais karena ragu untuk memberikan jawaban. Sebenarnya apa yang dikatakan Faira itu benar. Sudah jam dua siang, tetapi perutnya belum pun diisi dengan sesuap makanan. Pekerjaan yang diburu waktu menuntutnya untuk selalu siap. Namun, kalau diperebutkan seperti ini juga, rasanya sedikit aneh.
"Ruben bisa makan siang di kantor. Dan, kamu, jangan lagi ganggu dia. Memangnya teman-teman kamu pada ke mana? Kenapa kamu gak ikut sama mereka?"
"Mereka gak asik, Kak. Bocah banget. Mendingan sama Pak Ruben yang dewasa," cetus Faira yang membuat Fais tak habis pikir dengan jalan pikiran adiknya. "Boleh, ya, Kak. Sebentar doang. Pak Ben pasti mau, kok. Nanti kalau udah selesai, Pak Ben-nya aku balikin lagi. Emangnya Kakak gak sayang sama Pak Ben? Dia juga butuh makan bareng cewek cantik kayak aku. Biar gak melulu ditatap kertas-kertas. Yang ada bakalan stres sendiri."
Faira terus mendesak. Menatap Fais dengan tatapan memohon. Begitu ia melirik ke arah Ruben, dia malah dibuat tersenyum oleh tingkah Ruben yang sengaja memindahkan mata.
"Kamu yang udah stres," celetuk Fais sebelum mendorong Ruben ke arah adiknya.
* * *
Di dalam kamar, Diana tampak sedang memilih-milih baju yang hendak ia kenakan saat bertemu mertuanya nanti. Karena sudah lama sekali Fais tidak mengajaknya keluar, jadinya ia memutuskan mengenakan pilihan baju terbaik.
Diana mengambil dua dress bermotif floral lalu membawanya turun di mana Bi Marla tampak tengah membersihkan meja.
"Bi, mau nanya, dong. Kira-kira saya lebih cocoknya pakai dress yang ini atau yang ini?"
Bi Marla menghentikan gerakannya, beralih menatap sang majikan yang sedang memperlihatkan dua gaun berbeda warna. "Kalau menurut saya, yang bunganya biru, Nyonya. Itu keliatan anggun yang lembut."
Diana beralih menatap gaun pilihan Bi Marla, berikut tersenyum senang sambil mengucapkan 'terima kasih'.
"Nyonya mau keluar sama Tuan, ya?" tanya Bi Marla untuk menuntaskan rasa penasarannya. Pasalnya, dia sangat jarang melihat majikannya wanitanya ini tampak begitu bahagia. Bahkan, sampai meminta pendapatnya untuk memilih baju yang cocok.
"Iya, Bi. Mau ke rumah Mama."
"Oh, pantas keliatan bahagia banget." Sebagai ART yang paling lama bekerja di rumah ini, Bi Marla bukannya tidak tahu bagaimana sikap tuannya kepada Diana. Dingin dan tak tersentuh. Berbanding terbalik saat bersama Dara dulu.
Diana tertawa kecil dan berkata, "Iya, Bi. Saya bahagia banget. Jarang-jarang sekali Mas Fais ngajakin saya keluar. Saya bosan di rumah terus soalnya."
"Kalau bosan, kenapa Nyonya gak pernah keluar bareng teman-teman Nyonya? Kan, Tuan gak pernah melarang."
"Saya gak berani minta izin. Takut sama mukanya yang dingin itu," bisik Diana karena tak mau ART yang lain mendengar perkataannya.
Bi Marla terus tertawa. "Padahal Tuan gak segalak itu, lo, Nya. Emang bawaannya saja yang seperti itu. Aslinya baik banget malah."
"Ya, sudahlah, Bi. Saya mau kamar lagi, ya, buat siap-siap. Biar nanti pas Mas Fais pulang, saya udah selesai. Gak perlu ditungguin lama-lama, deh."
"Eh, iya, Nyonya. Aduh, udah tau Nyonya mau pergi, malah saya ajakin ngobrol."
Setelah kalimat Bi Marla selesai, Diana kembali menaiki anak tangga yang membawanya ke kamar paling besar di rumah bergaya Eropa ini. Cepat-cepat ia memasuki kamar mandi. Membersihkan tubuh lalu lanjut mengenakan gaun dan merias wajahnya dengan make up yang tidak terlalu tebal.
Di meja rias, Diana menatap foto pernikahan Dara dan Fais yang masih terpajang di kamar tersebut. Senyuman kecil terbit di sudut bibirnya. "Lihat saja, Mas. Setelah ini, bukan lagi Dara yang tertulis di hatimu. Tapi, aku--Diana Sari."
Tepat setelah Diana berkata dengan suaranya yang cukup rendah, pintu kamarnya dibuka dari luar. Spontan Diana menoleh dan mendapati Fais yang sedang berjalan dengan jas hitam disangkutkan pada lengan kanannya.
"Sudah siap?" tanya Fais lantaran melihat Diana yang sudah beres dengan riasan wajah.
"Eh, sedikit lagi, Mas." Diana pun mulai buru-buru merapikan beberapa bagian make up yang dinilai kurang rapi. Dia tidak ingin terlihat berantakan di depan Fais ataupun ibu mertuanya.
"Santai saja. Saya juga mau mandi sebentar."
Ucapan Fais menghentikan gerakan Diana. Dengan sedikit anggukan kepala, ia memperhatikan Fais yang menghilang di balik pintu kamar mandi.
Diana menghela napas. Jantungnya berdebar kencang. Pagi tadi, ia dengan berani mencium pipi Fais tanpa izin. Pikirnya Fais akan mengungkit kejadian itu. Ternyata tidak.
Kediaman Fais Diana artikan sebagai izin untuknya. Kalau sudah begini, Diana pasti akan sering melakukannya lagi. Itu pun kalau mentalnya siap. Jika tidak, jangankan mencium Fais, menatapnya saja ia ketar-ketir sendirian.
Kata 'sebentar' yang Fais ucapkan benar-benar terealisasikan. Kini, dia sudah siap dengan tubuh wangi dan segar. Pakaiannya pun sudah berganti ke celana kain hitam dengan atasan berwarna biru terang.
Diana tak tahu ini disengajakan oleh Fais atau tidak. Akan tetapi, mereka berdua terlihat benar-benar serasi.
Diam-diam Diana melirik suaminya yang sedang mengenakan jam tangan. Walau raut wajahnya datar seperti biasa, Fais masih terlihat tampan di matanya.
Mengimbangi penampilannya dengan gaun di bawah lutut, Diana mengambil salah satu kalung dari dalam kotak perhiasan. Namun, ia kesulitan sewaktu mengaitkan ujungnya.
"Ck, kenapa gak bisa-bisa, sih?" gerutu Diana setelah berkali-kali mencoba dan hasilnya selalu sama.
"Biar saya tolong."
"Eh?"
Diana nyaris saja berteriak kegirangan saat Fais berdiri di belakang tubuhnya untuk membantu memasang pengait kalung tersebut dengan benar. Wajahnya yang serius, tampak begitu memikat ketika Diana melihatnya melalui pantulan cermin di depan.
"Sudah."
Diana berbalik, melukis senyuman setelah berusaha cukup keras. Pasalnya, jantungnya masih berdebar sangat kencang. Semoga saja Fais tak sampai mendengarnya.
* * *
Setelah menghabiskan banyak waktu berkendara di jalan raya, akhirnya mobil milik Fais memasuki halaman sebuah rumah bertingkat dengan rumput hijau di sekelilingnya.
Fais mematikan mesin mobil dan menatap Diana yang sedang melepaskan sabuk pengaman. "Dengar, jangan katakan apa pun yang bisa membuat Mama kepikiran atau mengganggu kesehatannya. Saat ini, kesehatan Mama yang paling utama. Kamu mengerti?"
Diana mengangguk paham. Tidak disuruh pun, ia sudah biasa menyembunyikan semua rasa sakitnya.
Setelah memastikan segala hal aman di bawah kendali, Fais dan Diana kompak keluar dari mobil. Mereka disambut oleh ART yang saat itu sedang memarahi salah seorang supir.
Fais tidak mengenali pemuda itu. Mungkin orang baru, begitu pikirnya.
"Oalah, Den Fais. Gimana kabarnya? Sehat? Udah lama banget gak pulang ke sini. Mbok aja jadi kangen parah."
"Sehat, Mbok. Kabar Mbok gimana? Pinggangnya masih suka sakit-sakitan?" tanya Fais karena seingatnya, Mbok Sri pernah mengeluh sakit pinggang kepadanya.
Fais pun akhirnya membelikan obat sakit pinggang terbaik dan paling mahal untuk Mbok Sri. Selain itu, ia juga membawa wanita paruh baya itu ke tukung urut paling baik.
"Sudah gak lagi, Den. Obat yang Den Fais beli, ampuh bener ternyata. Mbok mau beli lagi. Tapi, gak tau tempatnya di mana."
"Biar saya aja yang belikan untuk Mbok nanti."
Mbok Sri tersenyum. Anak majikannya ini selain tampan, juga sangat baik perilakunya. "Non Diana, selamat sore. Gimana kabarnya? Makin cantik aja, sih. Mana bajunya couple gitu lagi."
"Saya sehat, Mbok. Makasih banyak," jawab Diana yang salah tingkah.
Fais akhirnya menyadari hal itu. Ia melirik ke arah bajunya dan gaun Diana secara bergantian. Dan, ternyata memang mirip seperti pasangan. "Mama ada, kan, Mbok?" Fais mengalihkan pembicaraan.
"Ada, Den, ada. Jam segini, Ibu biasanya lagi nyantai di halaman belakang."
Setelah mendapatkan informasi paling penting, keduanya pun melangkah ke dalam rumah dengan semua dinding hanya dicat putih saja.
Tak lama kemudian, sampailah keduanya pada pintu halaman belakang yang tampak terbuka. Memperlihat taman mini lengkap dengan air terjun buatan, serta puluhan bunga berbeda jenis dan kolam ikan pada sudut kanan.
Sebuah meja dengan empat kursi terlihat di sayap kiri halaman. Fais mendekat lalu mendekap sosok wanitanya dari belakang.
"Ma, maaf."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Teteh Lia
3 iklan buat Diana. 💪
2023-12-03
1
Teteh Lia
beneran berubah ya Ayla. Bayu sayang bgt loh sama kamu.
2023-12-03
1
Teteh Lia
jadi ikut sedih.. 😭
2023-12-03
1