Suara gorden yang dibuka, sinar matahari yang menembus jendela dan mengarah tepat ke matanya membuat tidur lelap Fais terusik. Ia tidak bisa membuka mata beberapa saat. Setelah berhasil menyesuaikan cahayanya, barulah kelopak mata yang dipayungi bulu-bulu lentik itu terbuka perlahan-lahan.
"Selamat pagi, Mas."
Sapaan itu membuat Fais sadar bahwa saat ini, dirinya tengah terbaring lemah di atas kasur, bukan di meja bar dengan botol-botol wiski yang ia habiskan seorang diri tanpa mau berbagi dengan Ruben sedikit pun.
Fais berusaha bangun dan sosok mungil dengan rambut yang panjangnya hanya sebahu itu terlihat olehnya.
Diana tersenyum manis, seperti biasanya. Dan, seperti biasanya pula, tak ada debaran ataupun getaran yang Fais rasakan.
"Gimana keadaannya? Apa yang Mas rasakan? Kepalanya pusing gak?" tanya Diana seraya mendekat dan berdiri di sebelah Fais.
"Kepala saya agak pengar," jawab Fais tak ingin menjelaskan lebih. Jika sudah bertanya seperti ini, tentu Diana tahu apa yang terjadi pada dirinya malam tadi.
"Bisa kerja gak, Mas? Kalau emang gak sanggup, jangan dipaksain." Diana khawatir.
"Bisa. Saya ke kamar mandi dulu."
Fais berlalu dengan langkah sempoyongan. Sementara itu, Diana hanya bisa menatapnya dengan senyum samar-samar.
Di meja makan, menu sarapan sudah ditata rapi oleh pelayan. Karena memang, rumah sebesar ini memiliki cukup banyak pelayan. Bahkan Diana sendiri sampai tidak hafal semua nama-nama mereka.
Fais sudah selesai membersihkan diri. Kini, dengan setelah jas lengkap, ia bergabung ke meja makan.
Diana tersenyum, menyambut kedatangan suaminya. Namun, Fais sendiri malah memasang wajah biasa-biasa saja.
"Semalam Mas dianterin Ruben ke sini," beritahu Diana supaya Fais tahu, tetapi Fais seolah tidak peduli.
Dia fokus menikmati makanan dalam piringnya. Tidak memberikan respons sama sekali.
Tak patah arang, Diana pun kembali mencoba peruntungan. Dia terus-terusan mencoba mengajak Fais berbicara. Entah pada pembahasan ke berapa, sepertinya Diana salah membawa topik.
"Mas, boleh gak kalau foto pernikahan Mas sama Mbak Dara yang di kamar kita dipindahin aja?"
"Kenapa?" tanya Fais seraya melirik Diana. Untuk sesaat gerakannya yang sedang menyendok makanan terhenti.
"Gapapa. Cuma aku agak kurang suka liatnya. Soalnya, kan, yang jadi istri Mas sekarang itu aku. Sementara Mbak Dara--"
"Dara kenapa? Dia udah meninggal maksud kamu? Kamu gak suka kalau foto Dara masih dipajang di kamar itu? Kamu terganggu?"
Diana tergagap. Ucapannya belum rampung, tetapi Fais sudah mencecarnya dengan banyak pertanyaan.
"Bukan gitu, Mas. Tapi, cobalah Mas fikirkan sebentar. Istri mana yang gak sakit hati kalau di kamarnya sendiri masih ada foto pernikahan suaminya dengan istrinya yang dulu? Karena kalau menurut aku, sudah saatnya Mas melupakan Mbak Dara. Bukankah sudah ada aku yang jadi istri Mas sekarang?" Diana berkata dengan sangat hati-hati. Kalimatnya tersusun rapi dan diucapkan dengan lembut pula.
Namun, bukannya mengerti, Fais malah menjatuhkan sendok dan garpunya ke piring dengan cukup kasar. Menimbulkan bunyi keras yang membuat Diana dan seluruh pelayan yang berdiri di sana menjadi terkejut. .
"Kalau kamu sakit hati sama fotonya Dara, kamu boleh pindah dari kamar itu." Setelah mengucapkan sederet kata dengan intonasi rendah dan penuh penekanan, Fais berdiri lalu berjalan ke arah luar.
Tinggallah Diana sendirian. Ia membuang napas panjang. Sampai kapan pun, ia tidak bisa menyaingi Dara.
* * *
"Masak apa, La? Harum banget. Sampai terbang wanginya ke kamar Mas."
Ayla menoleh sebentar, menatap kedatangan Bayu bersama kursi rodanya ke arahnya. "Sup ayam. Suka, 'kan?" tanyanya dan Bayu lantas menganggukkan kepala.
"Ada yang perlu Mas bantu gak, La?" Bayu menawarkan bantuan.
"Emangnya kamu bisa apa?"
"Apa aja. Aduk-aduk supnya Mas juga bisa."
"Ck, gak usah. Kamu aja pakai kursi roda. Nanti supnya tumpah, malah jadi masalah. Kamu tunggu di meja aja. Bentar lagi siap," kata Ayla sedikit tak ramah.
Bayu yang memang sudah biasa dengan cara berbicara Ayla yang seperti hanya bisa diam dan tersenyum pelan. Dia memutar haluan, menuju meja makan dan menunggu Ayla selesai tanpa sedikit pun mengacaukan.
"Kamu kapan, sih, sembuhnya? Kapan bisa digerakin lagi? Kalau kamu gini terus, bisa-bisa aku bakalan kehilangan Ayla buat selamanya," ucap Bayu pada kedua kakinya yang tampak baik-baik saja dari luar.
"Nah, udah siap." Ayla berseru lalu membawa semangkuk besar sup ayam ke meja makan. Dia juga menata beberapa menu lain. Semuanya terlihat enak dan menggiurkan.
Kemudian, Ayla mengalaskan nasi dan memberikan lauk-pauk beserta sup ayam ke piring Bayu. Dia juga menuangkan segelas air. Setelah siap, barulah ia mengambil bagiannya sendiri.
"Makasih, Sayang," ucap Bayu yang dibalas 'iya' oleh Ayla.
"Oh, ya, La, siang ini aku ada jadwal kontrol ke rumah sakit sekalian menjalani terapi. Kamu bakalan temenin Mas, 'kan?"
"Duh, gak bisa, Mas. Aku ada urusan. Kamu perginya sendiri aja, ya?"
"Urusan apa kalau boleh tau?" Bayu hati-hati sekali bertanya. Khawatir kalau kalimatnya akan melukai Ayla.
"Banyak. Kamu gak bakalan ngerti juga kalau aku kasih tau," jawab Ayla cuek.
"Tapi, untuk kali ini aja, Mas mohon kamu tinggalkan dulu urusan kamu yang banyak itu. Mas butuh kamu, La. Sebentar aja, gak bakalan lama."
"Gak lama apaan? Aku udah pernah, ya, temani kamu kontrol, Mas," bantah Ayla dengan berang.
"Dengar dulu, La--"
"Udahlah, Mas. Jangan atur-atur aku bisa gak, sih? Aku udah capek ngurusin kamu di rumah. Masa, sih, aku gak bisa cari kesenangan lain di luar? Sebenarnya kamu bisa ngerti aku gak, sih, Mas? Aku juga butuh waktu buat diri aku sendiri. Kamu pikir jadi istri dari suami yang cacat gini gak banyak nguras tenaga?"
Suara tinggi Ayla membuat Bayu terdiam seketika. Dia berusaha untuk terus mempertahankan pandangannya, menepis rasa sakit akan setiap kata Ayla ucapkan. "Maaf kalau selama ini Mas nyusahin kamu. Mas gak tau kalau kamu capek ngurusin Mas yang cacat gini."
Kalimat Bayu menjadi penutup acara sarapan mereka. Ayla pergi, naik ke lantai dua dan membanting pintu kamarnya dengan keras. Padahal suasana hatinya baik sekali pagi ini, tetapi Bayu mengacaukan semuanya.
Kembali ditinggal dengan emosi yang meledak-ledak, Bayu berusaha untuk melupakan semua perkataan Ayla. Dia membuat seolah semuanya baik-baik saja. Mengabaikan kepingan hatinya yang bertaburan dan hilang entah ke mana.
Bayu tidak ingin membuat Ayla kesusahan atau letih karena mengurusnya yang cacat ini. Jadi, sebisa mungkin Bayu membantu mengurangi pekerjaan rumah Ayla.
Seperti saat ini, dengan susah payah, Bayu berusaha mengumpulkan piring kotor dan membawanya untuk dicuci. Dia tampak kepayahan, tetapi Ayla yang menatapnya, memutuskan untuk memandangi sekilas lalu pergi begitu saja.
Suara mobil di luar rumah membuat Bayu menolehkan kepala. Ayla sudah pergi entah ke mana. Istrinya itu bahkan tidak berpamitan kepadanya.
"Maafin aku, La. Salah aku kenapa harus cacat gini." Lagi dan lagi, Bayu menyalahkan diri sendiri.
Ayla memacu mobilnya menuju rumah Bu Rosli. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Ayla langsung saja memasuki rumah minimalis tersebut dengan langkah kaki yang cukup keras.
Bu Rosli yang masih di dapur sampai kaget melihatnya. Dengan kening berkerut, ia bertanya, "Kenapa, sih, kamu? Masih pagi, kok, mukanya kusut gitu?"
"Aku kesel, Bu, sama Mas Bayu. Makin ke sini, dia makin suka ngatur. Udah cacat, banyak maunya lagi," ketus Ayla seraya menuangkan segelas air putih dan meneguknya hingga tandas. Dia sadar kalau dirinya tidak minum setelah sarapan tadi.
"Mau dengar saran dari Ibu gak, La?"
"Apa?" tanya Ayla sambil menatap wajah Bu Rosli yang tersenyum senang.
"Ceraikan Bayu."
"Ceraikan Mas Bayu? Ibu gak salah kasih saran?" tanya Ayla dengan alis berkerut bingung.
"Enggak, dong, La. Kamu gak liat kalau Bayu itu cacat? Dia bisa apa selain diam di rumah doang? Kerja aja gak bisa. Gimana caranya dia mau nafkahin kamu? Uang yang dia kasih ke Ibu kemarin aja cuma sedikit. Itu artinya, uang dia udah gak banyak lagi. Jadi, sebelum kamu benar-benar jatuh miskin sama dia, lebih baik kamu ceraikan saja lalu nikah sama pria lain yang lebih kaya."
Ayla menggeleng. Saran dari ibunya tidak bisa ia gunakan dalam situasi sekarang. "Gak bisa, Bu. Uang Mas Bayu masih banyak. Cuma dia perlu berhemat di kondisi yang sekarang ini. Kalau aku cerai sama Mas Bayu, aku bisa dapat apa? Yang atas nama aku cuma mobil doang, Bu. Rumah dan tanah-tanahnya yang lain masih atas namanya sendiri."
Bu Rosli terdiam, memikirkan perkataan Ayla seraya menarik sebuah kursi dan duduk di sebelahnya. "Hm, kalau gitu, kamu pertahankanlah dia dulu. Nanti Ibu pikir lagi caranya gimana. Ibu juga udah males banget liat dia. Uang yang dia kasih ke Ibu makin berkurang aja. Padahal kebutuhan Ibu, kan, banyak."
Ayla berdecak kesal. Ibunya ini mata duitan sekali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
💞Amie🍂🍃
aku mampir kakak, feedbacknya ya🤗
2024-01-09
1
💞Amie🍂🍃
bacanya nyicil ya kak😁
2024-01-02
1
Muliana
habis manis sepah di buang. begitulah, nasehat bu rosli
2023-11-24
1