Sesuai janji yang sudah dibuat, sore itu Ruben menjemput Faira di tempat kediamannya.
Sebelum membawa Faira pergi, Ruben lebih dulu meminta izin kepada Bu Maya. Dan, wanita paruh Bayu itu mengingatkan agar pulang jangan terlalu malam.
Bu Maya memang sudah percaya kepada Ruben. Bahkan dia juga menyukainya. Menurutnya, Ruben merupakan pemuda yang jujur. Walaupun ia hidup sendirian di ibu kota dan jauh dari orang tuanya, semangat Ruben tak pernah kalah dengan lainnya.
"Acaranya di mana, Non?" tanya Ruben sebelum mengatur persneling mobil dan memastikan Faira memasang sabuk pengaman dengan pas.
"Di SkyLine. Tau, kan, Pak?"
"Tau," jawab Ruben menganggukkan kepala.
Ia mengarahkan mobilnya dengan kecepatan sedang. Dikarenakan ini jam pulang kantor, jalanan yang mereka lewati tampak ramai dan macet. Ruben harus pintar-pintar mengatur kecepatan. Dia tidak ingin, Faira terlambat sampai di acara reunian sekolahnya.
"Pak Ben udah punya pacar belum, sih?" tanya Faira yang pada dasarnya memang tidak bisa diam dalam waktu yang cukup lama.
"Belum."
"Kenapa belum pacaran? Bukan karena gak ada yang mau, 'kan?"
Dan, Ruben pun dibuat tertawa oleh pertanyaan Faira. "Bukanlah, tapi saya masih ingin sendiri dulu dan fokus sama pekerjaan saya. Soalnya ada orang tua yang masih harus saya bahagiakan."
"Aku juga mau, kok, bantuin Pak Ben buat membahagiakan mereka. Kalau Pak Ben setuju, hari ini langsung kita pacaran, Pak."
Ruben tersedak napasnya sendiri. Perkataan Faira benar-benar membuat pikirannya seolah berhenti berjalan.
"Kita sudah sampai. Mau langsung turun?"
Faira sadar jika Ruben tengah mengalihkan topik pembicaraan. Dan, untuk membuat laki-laki itu nyaman dengannya, Faira pun tidak melanjutkan pembahasan yang sebelumnya. "Mau, dong. Masa iya, sih, kita di sini aja?"
Ruben turun terlebih dahulu lalu berjalan memutari bagian depan mobil untuk membuka pintu bagian Faira.
Senyum cerah pun terbit di wajah gadis itu. Dia tampak begitu bahagia.
"Makasih, Pak Ben. Jadi makin cinta, deh," ucap Faira sambil tertawa-tawa tak jelas.
Saat Ruben hendak berjalan di belakang Faira, gadis itu seketika menarik lengannya dan berkata dengan raut wajah yang sangat serius. "Gak usah jalan di belakang aku, Pak. Aku minta Pak Ben buat nemenin aku. Bukan buat dijadiin bodyguard."
"I--iya," gugup Ruben yang berusaha melepaskan tangan Faira darinya. Akan tetapi, cengkaman gadis itu malah makin kuat. Membuat jantung Ruben berdetak tidak normal.
"Kenapa, Pak? Gugup, ya? Santai aja. Anggap ini sebagai pemanasan."
Tanpa tahu maksud dari perkataan Faira, tangan Ruben malah ditarik dan dibawa berjalan olehnya. Ruben mengusahakan diri untuk mensejajarkan langkah dan membuatnya terlihat seperti biasa.
Acara reuni tersebut diadakan di lantai paling atas, tepatnya pada rooftop yang disulap sedemikian rupa dengan sangat indahnya. Sekali lagi Faira menarik Ruben agar ikut dengannya. Dia membawa laki-laki itu ke setiap sudut, diperkenalkan ke semua teman-temannya bahwa Ruben ini adalah pacarnya.
Faira bangga sekali, dong. Apalagi kebanyakan temannya itu mengatakan jika mereka sangatlah cocok dan serasi. Sepanjang acara, Faira merasa bahagia. Oleh Ruben, dia merasa begitu dijaga. Tidak ada satu pun lelaki yang berani menyentuhnya. Makanan dan minuman yang hendak Faira ambil pun, mesti diperiksa dulu oleh Ruben.
"Pak, pacaran, yuk!" ajak Faira saat keduanya sudah pulang, tetapi Faira belum mau turun dari mobil kepunyaan Ruben.
Melihat Ruben yang hanya diam saja, Faira kembali mengulangi kalimatnya.
"Mau, ya, Pak, jadi pacar aku. Aku janji gak bakalan nyusahin Pak Ben lagi. Janji kalau aku bakalan belajar lebih giat biar bisa lulus dengan nilai baik," bujuk Faira dengan sejurus andalannya. Namun, sepertinya Ruben bukanlah laki-laki yang mudah tergoda. Dia hanya bergeming, mencengkeram setir kuat-kuat.
"Ya, udah, deh, kalau gak mau dijadiin pacar. Mungkin suatu hari nanti bakalan langsung dijadiin istri."
Ruben terbatuk-batuk, tetapi Faira malah menderaikan tawanya.
* * *
Baru saja Fais akan memejamkan mata, ponsel yang sudah ia simpan di atas nakas terdengar berdering.
"Iya, Ma? Kenapa?" tanya Fais yang tidak bisa mengabaikan telepon mamanya di malam hari.
"Fais, Mama kangen," ucap Bu Maya dengan suara rendah, "Kamu bisa pulang gak besok?"
"Sepertinya bisa. Tapi, agak sorean dikit gapapa? Soalnya pagi sampai siang Fais ada meeting."
"Iya, gapapa. Sebisa kamu aja. Mama ingin lihat wajah kamu soalnya. Rindu Mama sama kamu, Nak."
"Iya, Ma. Sekarang Mama tidur, ya. Udah malam."
Keesokan harinya, sebelum tancap gas ke rumah Bu Maya, Fais lebih dulu menjemput Diana di rumah. Soalnya Diana juga ingin bertemu mertuanya.
"Mama beneran gapapa, kan, Mas?" tanya Diana cemas.
"Gapapa, juga pengen ketemu karena lama gak mampir," jelas Fais seraya fokus mengendarai kendaraannya di jalan raya.
Saat melewati sebuah taman lengkap dengan danau buatan, Diana mendadak meminta Fais untuk menghentikan mobil.
"Kita foto dulu di sana, ya, Mas. Sebentar doang. Aku dari dulu pengen banget ke sana bareng Mas Fais."
"Waktu pulang aja bisa gak, Di? Setelah kita ketemu Mama." Fais memberikan pengertian.
"Kalau pas pulang, sunsetnya hilang, dong, Mas. Udah gak bagus lagi fotonya. Sebentar aja, kok. Janji gak bakalan lama."
"Tapi--"
"Mas Fais udah janji, lo, bakalan bawa aku jalan-jalan. Karena kemarin janjinya batal, aku tagih hari ini. Lagian Mama cuma ingin ketemu, kan, Mas? Nanti kita bisa lama-lama di sana. Tapi, kalau ke sini barang Mas Fais, kayaknya gak ada kesempatan dua kali."
Melihat kesungguhan Diana, mau tak mau Fais pun menuruti keinginannya. Dia akhirnya turun dari mobil, menemani wanita itu ke beberapa spot foto dengan pencahayaan yang pas. Sesekali, Diana juga memintanya untuk ikut berfoto bersama.
"Sudah cukup belum?" tanya Fais lantaran keduanya sudah terlalu lama berada di sana. Diana pun telah banyak mendapatkan foto bagus.
"Bentar lagi, ya, Mas. Pakai ponsel Mas Fais dulu. Punyaku lowbat soalnya."
Sekali lagi, Fais mengalah. Semua ini dia lakukan hanya untuk menebus janjinya kemarin. Saat Diana masih tengah menggunakan ponsel pintar tersebut, telepon dari Faira pun muncul di layar.
Fais dengan cepat mengangkatnya. Entah mengapa, perasaannya menjadi tak enak.
"Kakak di mana aja, sih? Kok, gak datang-datang?" tanya Faira bersama emosinya yang meninggi.
Fais saja jadi dibuat terkejut. Pasalnya, Faira tak pernah diajarkan berbicara kasar dengannya. "Kakak masih dalam perjalanan, Fai. Kenapa?"
"Mama udah nungguin Kakak dari tadi. Ma--Mama ... Mama ...."
"Mama kenapa, Fai? Mama kenapa?"
"Ma--Mama sekarat! Cepat pulang, Kak. Mama dari tadi panggil-panggil Kakak terus. Aku takut ...."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
💞Amie🍂🍃
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2024-01-25
1
Taufiqillah Alhaq
cieee, yang udah di terima. semoga samawa ya untuk faiz dan diana
2023-12-17
0
Muliana
next ya thor
2023-12-15
0