Chapter 6

“Ibu, dimana Lina?”

“Ah.. dia bilang tadi pergi bermain dengan Morcant dan Petronella. Tapi aku juga penasaran kenapa dia belum pulang.” Ibu melihat pintu dengan wajah cemas.

“Haruskah aku mencarinya?” Aku juga menjadi cemas ketika melihat wajah Ibu, jadi aku berinisiatif untuk mencari Lina.

“Tidak jangan, ini sudah malam. Kita tunggu Ayahmu pulang, jika Lina belum pulang kita akan mencari bersamanya.”

“Baiklah.”

Aku dan Ibu duduk di meja makan, menyatukan tangan kami dengan rasa cemas yang menyelimuti hati. Namun tidak lama kemudian pintu rumah kami terbuka dan kami melihat sosok yang familiar.

“Ayah!” Aku beranjak dari tempat dudukku dan seketika rasa cemasku berkurang.

“Sayang!.” Ibu bangun dan berlari ke arah Ayah, menarik baju Ayah dengan wajah ketakutan. “Lina, dia belum pulang, kita harus mencarinya.”

Ayah tampak terkejut ketika Ibu menjadi gelisah seperti ini, Ayah mencoba melepaskan cengkraman tangan Ibu dari bajunya dan memeluknya.

Aku tidak pernah melihat Ibu sesedih ini, dia tampak tidak berdaya.

“Aku rasa itu tidak perlu dilakukan.” Ayah melepas pelukannya dan menggerakan tangannya ke balik tembok.

Dari balik tembok itu perlahan muncul seorang anak kecil, itu adalah Lina. Namun Lina tampak sangat kotor, seluruh tubuhnya tertutupi oleh lumpur dan tanah.

Rambut-rambut Lina yang biasanya mulus seperti sutra sekarang menjadi satu dengan tanah.

Ibu terkejut ketika melihat Lina dan langsung berlutut di depan Lina, Ibu memegang bahu Lina dan melihat keadaannya.

Setelah melihat seluruh tubuh Lina, Lina tidak hanya membawa lumpur dan tanah di badannya. Namun juga beberapa luka memar dan goresan.

“Apa yang terjadi denganmu? Dari mana saja kamu?” Ibu bersyukur bahwa Lina sudah pulang, namun kegelisahan di hati Ibu belum menghilang.

Lina tidak menjawab dan terus menundukkan pandangannya seperti seseorang yang takut dimarahi,

“Lina Ibumu bertanya.” Kata Ayah.

Lina menaikan kepalanya dan melihat Ayah, matanya kemudian melihat ke arahku dan ke arah Ibu.

“Aku tadi bermain di hutan bersama Morcant dan Petronella, tiba-tiba kami melihat kelinci melompat-lompat. Aku ingin menangkapnya, tapi aku tidak memperhatikan langkahku dan terpeleset ke dalam kubangan lumpur.”

“Dia terpeleset di tanah longsor.” Ayah masuk ke dalam percakapan itu.

“Apa? Lalu bagaimana kau bisa keluar!” Ibu berteriak terkejut.

“Morcant dan Petronella mencoba membawa Lina ke atas tapi mereka tidak bisa melakukannya. Akhirnya mereka berinisiatif mencari bantuan dewasa dan beruntung menemukanku saat aku berada di hutan, mereka bilang Lina terjatuh. Aku langsung berlari ke sana.” Jelas Ayah.

“Maafkan aku Ibu, aku tidak akan mengulanginya lagi.” Lina terus memegang baju kotornya, menundukan pandangannya dengan rasa menyesal.

Ibu kemudian memeluk Lina dan berbisik “Tidak apa-apa, yang terpenting kamu sudah pulang.”

Ibu merangkul Lina dan mendorongnya masuk perlahan. “Ayo kita mandikan dulu dirimu.”

Ibu melihat ke arahku dan Ayah, karena dirinya tidak enak meminta kita untuk menunggu. Akhirnya ibu menyuruh kami makan duluan.

Aku dan Ayah mengangguk mengiyakan perkataan Ibu, namun kami hanya duduk di meja makan dengan bermaksud menunggu Ibu dan Lina agar bisa makan bersama.

Aku dan Ayah duduk bersebrangan seperti biasanya, karena Ayah selalu duduk di samping Lina dan aku duduk di samping Ibu.

Saat itu Ayah menyatukan tangannya ke atas, menutupi mulut dan hidungnya. Pandangannya kosong, namun tidak jarang beberapa kali Ayah melirikku.

“Lisa.”

Ayah memanggilku dengan pelan dan menurunkan tangannya, tapi setelah itu tangan Ayah mengepal dengan sangat keras hingga urat-urat tangannya terlihat.

“Ada apa Ayah?”

Aku menaikkan pandanganku dan mulai bergerak mendekatkan kursiku.

“Jika.. jika kau jadi pergi dan kau berhasil untuk tinggal di sana. Jangan pernah dekati stasiun kereta Lothar yang berada di barat istana, memang tempatnya mungkin cukup jauh dengan kediaman istana. Namun aku mendengar beberapa rumor aneh di sana.”

“Rumor apa?” Aku menjadi sangat penasaran, Ayah berbicara seperti orang yang sedang sangat waspada.

“Mereka bilang jika kamu berjalan sedikit lagi setelah melewati stasiun itu, kau akan menemukan jalan seperti jalan setapak. Namun banyak orang yang bilang tempat itu sangat gelap dan tidak ada cahaya apapun di sana, bahkan walau di siang hari tempat itu tidak dimasuki oleh sinar matahari. Sebisa mungkin jangan pernah menginjakan kakimu ke sana, aku berkata seperti ini karena kamu adalah putriku yang selalu penasaran akan sesuatu. Namun saat Ini aku peringatkan tolong jangan coba-coba masuk ke tempat itu, bahkan jika bisa kau juga jangan pernah berjalan ke stasiun Lothar.”

Ayah berkata seperti ini karena saat itu aku memasuki hutan sendirian karena banyak orang bilang hutan selalu muncul monster pada malam hari, jadi saat itu aku, Betha dan Selova masuk ke hutan untuk mencari kebenarannya. Tapi kami tersesat dan seluruh orang desa mencari kami, beruntung kami bertemu mereka dan tidak masuk ke hutan lebih jauh lagi.

Aku juga pernah mendengar rumor itu, namun aku tidak mempercayainya. Itu seperti cerita orang-orang dewasa yang dibuat untuk menakuti anak-anak mereka agar tidak tersesat dalam kegelapan. Lagipula bagaimana bisa ada tempat terbuka yang tidak bisa dijangkau oleh sinar matahari, bukankah itu tidak masuk akal?

Memang aku juga mendengar bahwa sebelum mereka melarang semua orang untuk menginjakan kaki di sana, sempat ada beberapa orang hilang dan banyak saksi mengatakan bahwa mereka terakhir terlihat memasuki jalan itu.

Bagaimana bisa 5 orang dewasa hilang dan tidak kembali lagi, bahkan walaupun seluruh orang di kota saat itu mencarinya mereka tidak berhasil menemukan apapun. Mereka tahu bahwa ada satu tempat yang belum mereka sisi, yaitu jalanan gelap itu. Namun orang-orang saat itu tidak ada yang berani masuk ke sana dan menyebarkan rumor aneh-aneh.

“Lisa, Lisa, Lisa.” Panggil Ayah beberapa kali.

Ayah mengguncang tanganku, aku saat itu yang sedang bertengkar dengar pikiranku menjadi kembali sadar.

“Ya Ayah?” Jawabku dengan perasaan bingung.

“Kenapa kau tiba-tiba melamun? Apa kau dengan apa yang kukatakan?”

“I-iya Ayah, tenang saja aku tidak akan mendekati tempat itu. Lagipula saat aku sudah menjadi pelayan nanti aku tidak akan keluar istana dan akan selalu berada di sana.”

“Baguslah kalau kamu mengerti.” Ayah tersenyum lega, bagaimanapun sebagai seorang Ayah dia ingin anak-anaknya tetap aman walaupun mereka jauh darinya.

Ibu sudah selesai memandikan Lina, Lina saat ini tampak bersih dan cantik. Rambut panjangnya yang sedikit basah membuat dirinya terlihat lebih segar.

“Aiyoo kenapa kalian tidak makan?” Ibu mempercepat langkahnya karena merasa tidak enak dengan aku dan Ayah.

“Tidak apa-apa, kami hanya sedang mengobrol. Lagipula aku belum terlalu lapar tadi.”

Lina berlari dan memeluk tubuh Ayah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!