Aku tidak keberatan tentang memotong tomat dan wortel, namun memotong daging yang merupakan pengalaman pertama bagiku itu menjijikan.
Tekstur daging yang kenyal namun keras disaat bersamaan, darah yang keluar ketika aku memotong dan menekannya. Aku sangat tidak terbiasa dengan itu, namun mau tidak mau aku harus terbiasa karena yang aku tau adalah orang-orang berkelas tinggi selalu memakan daging untuk asupan tubuh mereka.
Aku menatap Ibu yang sedang menyiapkan api.
Aku tidak habis pikir ibu selalu bangun sepagi ini, bahkan matahari saja belum menunjukkan sinarnya.
Menyiapkan makanan untuk Ayah, aku dan Lina yang mana ketika kami bangun makanan akan selalu siap di atas meja.
Aku yang penasaran membuat mulutku tiba-tiba membuka dengan sendirinya tanpa berpikir.
“Ibu, apakah ibu bahagia?” Aku bertanya namun pandanganku tidak menatap ibu.
Ibu memalingkan pandangannya ke arahku, walaupun aku tidak melihatnya aku bisa merasakan energi dari tatapan Ibu ke arahku.
“Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti?” Tatap Ibu dengan heran.
“Tidak, Ibu selalu menyiapkan makanan untuk kita pagi-pagi seperti ini setiap hari. Aku juga tidak pernah mendengar sekalipun ibu mengeluhkan tentang ini, Ibu selalu menyiapkan segalanya sendirian. Apa Ibu tidur dengan cukup?” Aku bahkan sudah menguap berkali-kali dan pandanganku terkadang menjadi samar karena kantuk masih menyerang tubuhku.
Mendengar pertanyaanku Ibu tersenyum, di memegang kedua pundakku dengan tangannya. Dengan sedikit kekuatan dia membalikkan tubuhku agar sejajar dengan dirinya.
Ibu tersenyum tipis, senyum itu adalah senyum paling tulus yang pernah aku lihat.
“Tentu saja Ibu bahagia, Ibu sangat bahagia karena memiliki kalian yang sekarang ada di samping Ibu. Ibu bahagia karena ketika kalian memakan masakan Ibu kalian selalu tersenyum, senyuman kalian itulah yang selalu membuat Ibu bahagia.”
Perkataan Ibu seketika membuatku berpikir, ternyata Ibu sungguh aneh. Bagaimana bisa Ibu menjadi bahagia hanya karena melihat kami tersenyum karena memakan masakannya, bahkan dia selalu mengerjakan pekerjaan rumah sendirian tanpa ada yang membantunya. Apa Ibu adalah malaikat?
Namun anehnya, tidak tau mengapa mendengar jawaban dari Ibu membuatku sangat puas.
“Tapi, kenapa kamu kemarin tiba-tiba meminta Ibu mengajarimu memasak?”
Ibu sebenernya ingin menanyakan ini kemarin, ketika aku yang tiba-tiba memintanya mengajariku memasak. Namun pikirannya berpikir lain saat itu, Ibu berpikir bahwa aku memintanya mengajari aku memasak karena aku sudah menyadari bahwa diriku bukan anak kecil lagi. Oleh sebab itu ibu langsung mengiyakan permintaanku.
“Itu.. saat aku bermain di luar kemarin aku mendengar Ibu-Ibu membicarakan bahwa Raja Leofwine akan mencari beberapa pelayan dan ksatria.”
Aku menjawab dengan suara pelan, entah kenapa pertanyaan itu membuat diriku tiba-tiba merasa tidak nyaman. Aku juga merasa bersalah karena tidak mengatakan niatku yang sebenarnya.
“Ah.. begitukah? Kau ingin keluar dari desa ini?” Seketika senyum hangat ibu berubah menjadi senyum sedih, matanya hanya bengong menatap perapian. Namun aku tidak bisa tidak melihat bahwa mata Ibu sedang berkaca-kaca.
“Tidak.. aku..” Mulutku terasa berat, aku bahkan tidak bisa menyelesaikan perkataanku.
“Tidak apa-apa, nanti ketika semua sudah bangun. Kita akan membicarakannya.”
Mendengar Ibu berkata seperti itu aku tidak bisa berkata-kata dan hanya mengangguk mengiyakan perkataannya.
Setelah makanan selesai dibuat dan dihidangkan di atas meja, Ayah bangun karena mencium baunya yang harum. Bagaimanapun juga Ayah selalu terbangun saat makanan sudah terhidangkan di meja.
“Masakan buatanmu selalu membuatku terbangun sayang.” Kaya Ayah dengan suara yang lucu sambil menguap, matanya yang setengah sadar membuat dirinya tidak melihatku dengan jelas.
Dia memeluk Ibu dari belakang dan mencium leher Ibu, mendekap tubuh Ibu dengan sangat erat. Ibu mencoba melepaskan dekapan Ayah namun dekapan Ayah semakin kuat.
“Sayang.. liatlah sekelilingmu.” Dengan suara lirih ibu mencoba berbicara kepada Ayah.
Akhirnya setelah menggosok matanya dia melihatku yang sedang jongkok dekat perapian.
“Oh.. Ehem, Lisa.” Ayah membersihkan tenggorokannya untuk mengubah suaranya.
“Kau sudah bangun rupanya.” Lanjutnya.
Aku tidak habis pikir dengan orang tuaku, kenapa mereka malu-malu untuk bermesraan didepan anak mereka sendiri. Bukankah itu hal yang wajar untuk dilakukan oleh pasangan yang saling mencintai.
Ibu bahkan hampir berani mengatakan apapun kepada Ayah, namun aku tau Ibu saat ini sedang malu-malu karena wajahnya memerah dan tatapannya melirikku seakan berisyarat kepada Ayah untuk mengatakan bahwa aku sedang berada di sini.
Aku mengerti situasi ini, akhirnya aku memutuskan mencari alasan untuk pergi.
“Tidak apa, kalian lanjutkanlah. Aku tidak tahu jika setiap pagi kalian seperti ini, aku akan membangunkan Lina.”
Aku berdiri dan berjalan ke kamar, melihat adikku yang sedang tertidur dengan pulas aku memiliki ide jahil dalam kepalaku.
Aku berlari ke arah kasur dan melompat ke atas tubuhnya, Lina yang terkejut sontak bangun dengan perasaan kesal.
“Aduh.” Teriak Lina, dia mencoba menyingkirkanku dari tubuhnya namun aku melawan. Aku memeluk dirinya dengat erat dan tidak melepaskannya.
“Ibu! Kakak!” Lina berteriak meminta bantuan Ibu, namun aku tetap tidak mau melepaskannya dan menggelitik tubuhnya. Saat dirasa sudah puas aku bangun dan melepaskannya.
“Hahaha” Aku tertawa sambil keluar kamar dengan puas.
“Ada apa? Kenapa adikmu berteriak?” Tanya Ibu.
“Hehehe tidak apa-apa dia hanya berlebihan.” Jawabku sambil cekikikan.
Ternyata Lina mengejarku dan memukul punggungku dengan lumayan keras.
“Ibu! Kakak membangunkanku dengan mengejutkanku.” Lina Mengadu dengan wajah cemberut.
“Hohoho kedua putri manis Ayah sudah bangun, ayo kita makan.”
Ayah dan Ibu sudah duduk di meja makan menunggu kami. Aku dan Lina berjalan menghampiri mereka.
Ayah mengusap kepalaku dan mencubit pipi Lina, ini sudah menjadi rutinitas Ayah setiap sebelum menyantap sarapan.
Kami makan dengan lahap, karena hari ini kami bisa memakan hidangan kesukaan kami yaitu Frumenty.
Frumenty adalah bubur sereal yang terbuat dari gandum dan juga jelai, bertekstur padat dan kental dengan cita rasa gurih dan juga sedikit manis.
Karena kemarin kebetulan Ayah membawa daging hasil buruan maka Ibu berpikir membuat Frumenty menggunakan kaldu dari daging rusa adalah hal yang bagus untuk sarapan.
“Em.. ini enak.” Ayah makan dengan cepat, mengais seluruh makanan di mangkuknya hingga tidak bersisa. Bahkan walaupun mangkuk Ayah sudah terlihat bersih, Ayah mengais mangkuknya dan menjilat sendoknya.
“Sayang, jorok.” Ibu menarik wajahnya dengan ekspresi sedikit jijik.
Ayah hanya tertawa dan menyodorkan mangkuknya.
“Apa ada lagi?” Tanya Ayah.
Ibu mengambil Frumenty yang ada di panci dan menuangkannya di mangkuk Ayah.
Saat Ibu memberikan mangkuk berisi Frumenty kepada Ayah, Ibu melirikku dan menunjuk Ayah dengan matanya. Dia memberikan isyarat bahwa aku harus berbicara kepada Ayah.
Aku menelan ludahku dengan berat, aku menarik nafas dalam dan menahannya untuk mengumpukan keberanian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments