Part 5

Hari ini juga aku langsung pergi menuju ke kampung halaman Mas Damar. Aku harus menemui kedua orang tua suamiku. Walaupun mereka tidak pernah merestui pernikahan kami, tetapi mereka juga tidak pernah menolak kedatanganku apalagi bila datang bersama dengan Faqih.

Jantungku rasanya berdebar sangat kencang. Jujur saja, Aku tidak terlalu dekat dengan keluarga suamiku yang bisa di katakan berasal dari keluarga sederhana. Tapi, di kampung ini mereka termasuk jadi tetua. Ayah mertuaku yang merupakan seorang imam menjadi penyebabnya.

"Assalamualaikum," Aku mengucapkan salam begitu sampai di halaman rumah orang tua Mas Damar.

Rumah ini terlihat sepi. Aku lihat Faqih sudah kelelahan dan terlelap dalam tidur sejak di bus tadi. Perjalanan 8 jam memang membuat lelah tubuh anakku yang masih kecil.

Aku meletakkan Faqih di bale-bela yang biasanya digunakan oleh kedua mertuaku untuk mengobrol.

"Kemana mereka? Kenapa sepi sekali?" aku bertanya dalam kebingungan karena melihat rumah yang terlihat kotor dan tampak sudah lama tidak ditempati.

Saat melihat tetangga yang ada di samping rumah mertuaku, aku pun menanyakan keberadaan mereka.

"Oh mereka sudah tidak tinggal di sini lagi ada sekitar 1 tahun lamanya. Katanya sih ikut anak mereka yang sekarang tinggal di Jakarta. Kamu siapa ya?" tanya ibu itu sambil mengerutkan keningnya dan melihatku secara mendetail.

Dia menepuk jidatnya ketika dia mengingat siapa diriku, "Ya ampun! Kamu bukannya istrinya Mas Damar ya?" tanya beliau dengan antusias.

Aku hanya mengangguk. "Setahun yang lalu Damar pulang kemari dengan membawa mobil mewah dan mengajak kedua orang tuanya untuk pindah bersama dia. Apa kamu gak tahu?" sontak tubuhku gemetar mendengarkan kabar ini.

"Setahun yang lalu Mas Damar datang ke rumah ini dan menjemput kedua orang tuanya untuk tinggal di Jakarta bersama kami?" tanyaku bingung.

Padahal aku tidak tinggal di Jakarta tetapi di Bandung. Suamiku juga tidak tinggal di Jakarta tetapi merantau ke Kalimantan bersama temannya.

Tiba-tiba saja kepalaku rasanya begitu pening memikirkan semua masalah ini. 'Tuhanku, apa yang harus aku lakukan sekarang? Kalau aku tidak bisa menemukan mereka berdua itu artinya aku tidak bisa melakukan identifikasi terhadap Sukma. Kedua orang tua Mas Damar pasti bisa mengetahui ciri-ciri anaknya yang tidak aku ketahui!' batinku.

Aku berpamitan kepada wanita baik yang sudah mau memberikan keterangan tentang keberadaan kedua mertuaku yang entah ada di mana.

"Sebaiknya istirahat saja dulu di rumah saya. Nanti kita bisa bicara lebih detail lagi tentang keluarga mertuamu. Aku lihat kamu lelah sekali dan anakmu juga terlihat begitu lelap." Aku kemudian mengikuti beliau untuk istirahat. Selain itu aku juga harus menggali lebih banyak informasi tentang Mas Damar dan keluarganya.

Setelah membaringkan Faqih di kamar tamu, aku kemudian menemui Bu Nurul, wanita baik yang bersedia menampungku selama berada di kampung halaman suamiku.

"Bu, apakah Mas Damar memiliki saudara kembar? Sebagai tetangga, saya yakin ibu pasti tahu sesuatu soal suamiku bukan?" tanyaku kepada Bu Nurul ketika kami berbicara kembali.

"Setahu ibu, Mas Damar itu anak tunggal. Dia tidak memiliki saudara yang lain. Waktu dia datang setahun lalu untuk menjemput kedua orang tuanya. Dia terlihat begitu sukses dan bahagia." aku terhenyak mendengar berita ini.

Kalau setahun yang lalu suamiku bisa datang ke kampung halaman ini dan menjemput kedua orang tuanya, kenapa dia tidak datang menemuiku juga? Apakah ada sesuatu yang tidak aku ketahui tentang mereka? Tapi apa? Seingatku, saat aku menjadi istri Mas Damar tidak punya masalah apapun dengan suamiku maupun kedua mertuaku yang memang sejak dulu tidak merestui pernikahan kami.

Setelah merasa cukup untuk beristirahat aku pun berpamitan kepada Bu Nurul yang sudah baik sekali mau menerima kedatanganku, aku tidak bisa berlama-lama berada di kampung ini karena begitu banyak hal yang harus aku urus untuk membuka tabir misteri ini. Aku harus menemukan suamiku.

"Terima kasih bu, atas semuanya. Saya pamit pulang," walaupun saat ini sudah tergolong malam tetapi aku harus segera kembali ke Bandung.

Aku tidak mau kalau Sukma dan Alina meninggalkan rumah Bu Sakinah. Aku harus meminta kepada Sukma untuk melakukan tes DNA bersama Faqih.

Aku harus membuktikan apakah benar laki-laki itu bukan Mas Damar. Aku gak akan diam saja kalau ada konspirasi jahat yang ingin memisahkanku dengan suamiku.

Hatiku sesak sekali saat sampai di Bandung ternyata mereka sudah tidak ada. Lemas sekali rasanya.

"Ya Allah! Kenapa sulit sekali untuk menemukan fakta tentang suamiku?" aku luruh di lantai dengan tatapan Bu Sakinah yang merasa iba padaku.

Bu Sakinah memelukku karena dia merasa kasihan dengan perjuanganku yang dia tahu telah lama sekali menunggu kepulangan suamiku.

"Aku akan memberikan alamat mereka di Jakarta. Supaya kau bisa mengobati rasa penasaranmu soal menantuku. Aku harap setelah kamu menemukan bukti otentik bahwa Sukma bukan Mas Damar, aku harap Bu Marissa tidak akan lagi mengganggu rumah tangga anakku." Aku menatap lekat ke arah Bu Sakinah yang terlihat galau.

Aku bisa merasakan perasaan yang saat ini dirasakan. Dia juga pasti sama bingungnya denganku ketika melihat foto-foto kebersamaanku dengan Mas Damar.

"Ya, Bu! Saya janji tidak akan mengganggu keluarga Alina kalau terbukti Sukma memang bukan Mas Damar. Saya akan melupakan tentang mereka." air mata yang terus menetes tanpa henti aku hapus dengan kedua tanganku.

Aku merasa senang karena akhirnya ada setitik harapan untuk aku bisa menemukan suamiku yang sudah lama menghilang. Walaupun itu hanya setipis kulit ari, aku tetap akan memperjuangkannya.

Setelah mendapatkan alamat beserta nomor telepon milik Sukma, aku segera berpamitan dan bersiap untuk pergi ke Jakarta hari itu juga.

Aku tidak boleh menunda waktu lagi. Aku takut kalau Sukma dan Alina akan pergi ke Korea. Mengingat Alina dan Sukma memang bekerja dan menetap di sana. Jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya karena memburu waktu.

"Mama kita mau ke mana lagi? Baru saja kita sampai di rumah, udah pergi lagi. Aku lelah, Mah. Mau bobo di kasurku," Faqih yang terlihat begitu lelah bertanya padaku dengan mata mengantuk.

"Kita akan mencari ayahmu yang hilang. Mama tidak akan membiarkan Ayahmu pergi begitu saja tanpa tanggung jawab. Mama akan membuktikan kalau Om Sukma benar-benar ayahmu." Faqih tampak berbinar mendengarkan apa yang kukatakan.

"Hore! Faqih akan ketemu ayah!" hatiku merasa tercubit rasanya melihat kebahagiaan di wajah anakku yang sudah lama sekali merindukan ayah yang tidak pernah dia temui sekali pun.

Aku berusaha sekuat tenaga menahan air mata yang berusaha untuk keluar dari kelopak mataku.

Bagaimanapun juga aku tidak mau kalau sampai Faqih melihat aku lemah dan sedih. Anakku harus tahu bahwa ibunya adalah wanita yang kuat dan tegar dalam menghadapi masalah kami saat ini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!