Citra mengusap kepala Riang dengan penuh kasih sayang. Di kecupnya berulang-ulang puncak kepala gadis kecil itu.
"Riang mau papa...Ma. Riang mau kasih tahu teman-teman kalo Riang bukan anak ilang. Riang punya papa kaya mereka! Riang ngga mau di bilang kalo mama sama Riang mau rebut papa mereka ma....Riang ngga mau!!!", Riang menenggelamkan wajahnya di dada Citra.
Citra mendongakkan kepalanya menatap langit-langit kamar rawat Riang. Dia tidak pernah tahu jika sang putri menanggung beban sedalam itu.
Astaghfirullah... ampunilah dosaku ya Allah....! Tetesan bening membasahi pipi Citra.
"Riang mau papa, Ma...mau papa! Riang mau peluk papa! Hiks...hiks....!"
Citra semakin erat merengkuh bahu kecil itu. Akhirnya Citra mengangguk pelan.
"Iya sayang, insyaallah besok papa ke sini lagi!", kata Citra. Padahal dia sendiri tak tahu apa Ziyad akan datang lagi atau tidak. Apalagi...dia sudah meminta Ziyad untuk menutup kasus yang menimpa dirinya.
Mendengar ucapan sang mama, Riang mulai tenang. Ia mulai menghapus air matanya. Lalu ia melepaskan pelukannya dari tubuh Citra.
"Sekarang Riang bobo lagi ya?!", kata Citra. Dilihatnya jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Itu artinya dia sudah hampir ketinggalan solat magrib.
"Riang ngga bisa bobo lagi! Riang mau papa sekarang aja, Ma!", Riang kembali merengek. Jiwa kanak-kanaknya kembali.
Dan itulah yang membuat Citra semakin kalut. Perubahan mood Riang yang mudah sekali berganti.
"Telpon papa sekarang Ma...!", rengek Riang kembali terisak.
"Mama ngga punya nomor teleponnya sayang....!", kata Citra lirih. Riang berkedip perlahan menahan pandangannya agar tak teralihkan dari sang mama. Ia mencari kejujuran di mata Citra. Tapi Riang sadar betul jika mamanya bukan pembohong.
Riang kembali diam. Tak merengek seperti tadi. Raut wajahnya berubah datar seolah tadi tak terjadi apa-apa. Dan hal itu yang membuat Citra takut dengan kondisi Riang.
"Mama sholat saja dulu!", pinta Riang. Lalu gadis kecil itu kembali merebahkan tubuhnya sambil membenarkan selimutnya.
Citra tergugu melihat perubahan sikap Riang yang tiba-tiba bahkan dalam hitungan menit.
"Iya...mama sholat dulu ya!", pamit Citra. Hanya anggukan kecil yang Riang berikan sebagai jawaban.
Citra mengambil wudhu di kamar mandi ruangan tersebut. Tak butuh waktu lama hingga ia menyelesaikan kewajiban tiga rakaatnya. Citra mendekati Riang yang diam menatap langit ruangan tersebut.
"Sayang....!", Citra berbicara selembut mungkin.
"Apa cuma mama ya yang sayang sama Riang?", tanya Riang tanpa menatap mamanya.
"Sssttt... Riang anak baik, semua sayang sama Riang!", jawab Citra menggenggam tangan Riang.
"Riang juga besok mau sekolah yang tinggi biar pintar dan jadi polisi seperti papa. Tapi... Riang ngga mau ninggalin Mama sendirian!", kata Riang.
"Heum! Apa pun cita-cita Riang, insyaallah mama akan dukung dan mama akan berusaha untuk memenuhi semua kebutuhan Riang sampai dewasa."
Riang mengangguk. Mood nya sudah kembali membaik.
"Makan malam dulu ya, nanti tinggal minum obat. Besok pagi kita pulang!", Citra tersenyum mengatakan demikian.
"Pulang?", tanya Riang. Citra mengangguk pelan lalu tangannya menyendok nasi untuk disuapkan ke Riang.
"Riang ngga mau pulang ke sana, Mama. Orang-orang jahat sama kita."
"Ssssttt ...anak pintar ngga boleh bicara seperti itu. Mereka baik kok sama kita, cuma..."
"Baik apa Ma? Mereka selalu ngatain Riang ngga punya papa!", kata Riang dengan tenang. Tapi terselip emosi di dalamnya.
"Ya sudah, besok sementara kita pulang ke sana. Habis itu kita cari kontrakan baru, biar Riang suka!", tawar Citra.
"Memangnya mama punya uang? Sudah berapa hari kan mama ngga jualan? Apa ... tabungan mama di pakai buat biaya kita di sini ya Ma?", tanya Riang dengan sendu.
"Ngga apa-apa Riang. Insyaallah nanti kita bisa nabung lagi buat pendidikan Riang nanti. Oke? Ayo sekarang makan dulu lanjut minum obat."
Akhirnya Riang mau makan dengan perlahan dari suapan sang mama. Selesai makan, Riang pun bersedia minum obat.
Dan setengah jam kemudian gadis itu pun kembali tertidur. Mungkin karena efek samping obat yang ia minum. Bahkan saat visit dokter pun, Riang tak menyadari kedatangan dokternya.
Tapi tak sampai satu jam kemudian, gadis kecil itu mengigau. Riang memanggil-manggil papanya. Citra di buat bingung dengan kondisi sang putri saat ini. Bagaimana ia akan menghubungi Ziyad?
Dia saja tak tahu nomor telepon papa kandung putrinya! Sekalipun tahu, apakah dia tidak menggangu Ziyad dan keluarganya???
Apa...aku hubungi Tante Aisyah? Tapi... bagaimana jika dia menanyakan ada kepentingan apa aku menghubungi Ziyad??? Batin Citra.
"Papa! Papa jangan pergi lagi! Riang mau sama papa hiks...hiks...!", mata Riang terpejam tapi mulutnya meracau.
Citra mengambil nafas dalam-dalam beberapa saat hingga akhirnya ia memutuskan untuk menghubungkan Aisyah.
[Hallo, assalamualaikum?]
Citra tak langsung menjawabnya. Dia sedikit ragu, benarkah itu nomor ponsel Aisyah atau bukan????
.
.
.
Di kediaman keluarga orang tua Ziyad....
"Maaf ya mas, kami datang mendadak!", kata ayahnya Naya.
"Ngga apa-apa mas. Seharusnya kami yang minta maaf, justru kami baru pulang ini!", Ahmad menimpali ucapan besannya tersebut.
Aisyah sendiri mengobrol dengan menantu dan besannya.
Obrolan mereka terjeda karena azan magrib berkumandang. Bersamaan pula dengan Ziyad yang baru tiba di rumah.
Ia menyapa kedua mertuanya dengan senyuman. Meski sebenarnya ia sedang merasa sangat lelah, tapi ia harus menghormati mertuanya sebagaimana ia menghormati orang tua kandungnya sendiri.
"Mas, mau mandi sekarang apa mau sholat dulu?", tanya Naya yang berada di kamar dengan suaminya.
"Mandi dulu!", jawab Ziyad singkat. Lelaki tampan itu pun masuk ke dalam kamar mandi. Seperti biasa, Naya menyiapkan pakaian ganti untuk suaminya.
Sepuluh menit berlalu, Ziyad yang mandi kilat pun selesai. Dia langsung mendirikan kewajibannya.
"Ayo mas, kita makan malam! Kasian orang tua kita menunggu kelamaan!", ajak Naya tersenyum.
Ziyad menghela nafas berat. Tapi meskipun begitu, ia menuruti permintaan istrinya tersebut.
Keduanya menuruni tangga menuju ke meja makan yang mana disana sudah ada dua pasang suami istri. Mereka pun mengobrol banyak hal bahkan hal-hal random.
Usai makan malam, mereka berenam kembali mengobrol di ruang tengah. Naya yang memang dekat dengan ibu mertuanya pun tak canggung sama sekali berada di situasi seperti itu. Berbeda dengan Ziyad. Dia kurang pandai untuk membuka obrolan dengan mertuanya tersebut.
"Sebentar ya, Naya ambil cemilan dulu di belakang!", pamit Naya.
Setelah itu, perempuan cantik itu pun mengambil makanan yang ada di meja dapur. Art sudah menyiapkannya sejak tadi.
"Eh...ponsel mama di sini!", monolog Naya.
Saat Naya menyiapkan makanan di nampan, ponsel mama mertuanya berdering. Ada nama yang tertera di kontak panggilan tersebut.
Citra? Siapa? Batin Naya.
Tak berapa lama kemudian, Naya melihat mama mertuanya masuk ke kamar mandi.
"Mama ada telpon!", teriak Naya.
"Angkat aja Nay, mama mau ke toilet dulu!", sahut Aisyah.
Karena mama mertuanya sudah mengijinkan, akhirnya Naya mengangkat panggilan tersebut.
[Hallo, assalamualaikum?]
Hening, tak ada sahutan apapun.
[Hallo?] Ulang Naya.
[Wa-walaikumsalam. Maaf, ini nomor Tante Aisyah?]
[Oh iya benar, tapi maaf mamanya lagi ke kamar mandi. Ada pesan? Biar nanti saya sampaikan?]
Naya menjawabnya dengan ramah.
[Mama...mama telpon papa ya? Papa mau ke sini sekarang kan Ma?]
Sayup-sayup Naya mendengar suara anak kecil yang menanyakan papanya.
[Bukan sayang. Sebentar ya ...mama bicara dulu!]
Naya malah mendengar suara Citra dan anak kecil itu. Tapi beberapa saat kemudian, Aisyah keluar dari kamar mandi.
"Siapa Nay?", tanya Aisyah.
"Dari Citra, Ma!", Naya menyerahkan ponsel mertuanya. Tanpa merasa bagaimana-bagaimana, Aisyah menerima ponsel itu.
[Hallo Citra?]
[Hallo Tante. Maaf mengganggu....]
[Mama...kapan papa datang hiks...hiks ...]
Riang kembali merengek. Citra mengusap wajahnya kasar. Dalam hati ia juga terus beristighfar.
[Ada apa Citra? Itu ... Riang yang nangis?]
Entah kenapa Aisyah merasa cemas secara tiba-tiba.
Riang?? batin Naya yang masih ada di dekat mertuanya. Ia sedang mengaduk teh.
[Iya Tante. Eum...maaf sekali, eum ...boleh saya minta nomor ponsel Ziyad, Tante?]
Suara Citra terdengar terbata-bata.
Aisyah cukup bingung, kenapa tiba-tiba Citra meminta nomor ponsel Ziyad?
[Oh ...bo-boleh!]
Aisyah menoleh ke arah menantunya yang bergeming di meja dapur.
[Maaf sekali Tante, sudah mengganggu waktunya. Terimakasih sebelumnya]
[Ah...iya. Tante kirim sekarang!]
[Iya Tante, makasih. Assalamualaikum]
[Walaikumsalam]
Aisyah pun mengirimkan nomor ponsel Ziyad pada Citra. Setelah itu ia mendekati menantunya.
"Mama bantu bawa ya!", kata Aisyah. Naya pun mengangguk dan tersenyum tipis. Tak lama kemudian, keduanya tiba diruangan di mana mereka semua berkumpul.
"Jadi bagaimana kasus pelecehan kemarin itu Zi? Sudah ada titik temu?", tanya mertua Ziyad.
"Belum selesai, Yah!", jawab Ziyad. Aisyah dan Naya meletakkan cangkir teh dan beberapa kudapan di meja.
Selang beberapa detik kemudian, ponsel Ziyad berdering. Lelaki itu mengambilnya dari saku kemejanya. Ada nomor asing di sana. Bahkan foto profilnya hanya gambar daun jati.
"Angkat aja dulu, barangkali penting!", titah Ahmad. Ziyad pun mengangkat panggilan tersebut tanpa meninggalkan mereka yang ada disana.
Jika memang urusan pekerjaan, dia pasti akan menyingkir lebih dulu.
[Hallo?]
[Hallo? Papa? Ini Riang? Papa bisa ke sini ngga? Riang mau peluk papa hiks ...hiks ...]
Deg!!! Jantung Ziyad berdegup dengan cepat. Mungkin lebih cepat di banding saat dia berolahraga.
[Ri... Riang?]
Ucap Ziyad terbata.
Kini semua mata tertuju pada Ziyad yang terpaku. Ahmad, Aisyah dan Naya mengenal nama itu. Bahkan tadi Aisyah pun menyebut nama gadis kecil itu.
[Papa! Riang mau sama papa! Riang bukan anak ilang. Riang punya papa! Hiks...hiks...]
Ponsel Ziyad merosot. Untung saja Ahmad dengan cekatan mengambil ponsel itu. Ia menempelkan benda pipih tersebut ke telinganya.
[Sudah ya Riang, papa pasti sedang sibuk. Besok lagi ya telponnya. Ya sayang?]
Ahmad mendengar percakapan tersebut. Lelaki itu seperti mengenal suara perempuan yang ada di seberang sana.
[Citra!!!]
[Om... Ahmad! Maaf Om, assalamualaikum]
Panggilan itu pun langsung di matikan sepihak. Ahmad menatap sang putra dengan tatapan yang sulit di artikan.
Melihat hawa yang tidak mengenakkan, orang tua Naya pun akhirnya pamit pulang. Tinggallah dua pasang suami istri di sana.
"Ada yang ingin kamu jelaskan pada kami, Ziyad Albiruni!", tanya Ahmad dengan wajah memerah.
Dia bukan laki-laki bodoh!
******
To be continued ✌️✌️✌️✌️✌️
Terimakasih 🙏🙏🙏🙏
16.42
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 226 Episodes
Comments
andi hastutty
lebih menyakitkan kisah riang dibanding Sham
2024-01-23
0
🌺zahro🌺
ternyata kisahmu pilu ya riang citra,pantas riang pendiam seaktu sekolah sama syam kemarin,kamu anak kuat,pemberani
2023-12-15
1
🌷💚SITI.R💚🌷
lanjuuut aja thoor
2023-11-11
0