Tama mengetuk pintu luar rumah Mitha beberapa kali hingga pintu itu terbuka. Melda yang membukanya, ia tersenyum melihat Tama di sana.
"Eh Tama, mau ketemu Mitha, ya?" tanya Melda pada Tama.
"Iya, Tante. Mithanya ada?" tanya balik Tama.
Kemudahan Melda mengatakan bahwa Mita ada Ia pun mempersilahkan terutama untuk masuk dan menunggu sebentar sampai minta keluar Sebab mereka sebenarnya sudah janjian untuk pergi malam itu.
Tama pun meminta izin pada Melda untuk membawa Mitha keluar jalan-jalan.
"Boleh kok, kenapa enggak, malah kasihan Mitha kalau di rumah terus, pasti ia bosen banget," kata Melda.
Tak lama kemudian Mitha pun keluar dari kamarnya dengan pakaian rapi kemudian keduanya berpamitan pada Melda untuk pergi malam itu berjalan-jalan.
Keduanya masuk ke dalam mobil kemudian meninggalkan rumah milik Mitha itu sementara itu Melda melambai untuk kepergian anak dan kekasih anaknya itu namun sebelumnya Melda mengatakan bahwa Mita harus pulang tepat waktu tidak boleh melewati batas tengah malam.
"Tumben, kamu gak sibuk kerja?" Begitu tanya Mitha saat keduanya berada di dalam mobil saat ini.
"Aku dua hari ini lagi libur dong, jadi aku gak kerja dulu," jawab Mitha. "Kenapa? Kamu gak suka aku ajak jalan mendadak gini?"
"Suka aja, gak ada masalah untukku. Aku kan cuma tanya aja, takutnya kamu lagi capek-capeknya kerja, kan. Trus malah buang waktu jalan-jalan, harusnya kamu istirahat."
"Jalan sama kamu juga istirahat kok, istirahat yang membuatku nyaman," kata Tama berusaha menggombal pada Mitha.
"Halah, bisa aja kamu." Mitha memukul pelan lengan kiri Tama.
Bagaimana mungkin Tama bisa melepaskan perempuan yang begitu menggemaskan dan cantik yang sudah selama dua tahun ini bersama dengannya.
Ini memang semua kesalahannya tetapi apa ia harus tanggung jawab dengan menikahi seorang perempuan yang tidak dicintainya.
Ia hanya ingin menikahi Mitha bersama dengan perempuan itu saja sudah rumput yang bahagia bagaimana jika nanti ia menikah dengannya pasti dia akan menjadi seorang laki-laki yang paling beruntung di dunia ini.
Namun waktu yang ditentukan oleh Debi tinggal menghitung hari saja sampai semua hal itu benar-benar terjadi. Tama mungkin melepaskan Mitha begitu saja, karena baginya saat ini Mitha adalah segalanya perempuan yang sangat dicintainya.
Ia akan melakukan apapun untuk bisa bersama dengan Mitha karena itu sudah menjadi janjinya selama ini jika tidak dengan Mita maka jika tidak dengan perempuan lain.
"Kita mau makan di mana?" tanya Mitha kemudian.
Sudah saja keluar dari rumah Tadi mereka berkeliling menikmati malam minggu yang memang waktunya untuk berpacaran bagi sepasang kekasih namun keduanya belum menyadari bahwa mereka belum makan sama sekali maka dari itu Mitha bertanya.
"Ah iya, kok aku gak ingat ya. Kamu maunya makan apa?" tanya balik Tama.
"Gimana kalau makanan Chinese aja, kayaknya enak deh," jawab Mitha.
Mendengar jawaban dari berita itu membuat lama Langsung menatap Mitha dengan mata yang disipitkan agar seolah begitu tajam.
"Kenapa kamu lihat aku begitu?" sambung Mitha sambil bertanya.
"Kamu bukan perempuan, kan?"
"Kenapa gitu ngomongnya? Aneh banget deh."
"Soalnya kalau perempuan kalau ditanya dia mau makan apa pasti jawabannya terserah makanya aku tanya kamu bukan perempuan kan."
"Itu mah perempuannya nggak punya pendirian kalau aku merasa aku lapar dan bikin sesuatu ya aku ngomong nggak perlu pakai kode-kodean. Lagian aku Kalau ngajak makan juga nggak mahal-mahal banget aku tahu kapasitasmu untuk membayar makananku atau aku juga bisa membayar untuk diriku sendiri," papar Mitha.
"Enggak perlu, aku masih punya uang untuk bayarin kamu sekedar makan aja. Jangan terlalu independen nanti kamu nggak butuh aku lagi."
Mitha maulah senyum dengan jawaban yang diberikan Tama itu.
Lalu kemudian Tama membawa mobil miliknya itu menuju salah satu restoran Chinese seperti yang diinginkan Mitha tadi.
Tak lama kemudian mereka pun sampai. Keduanya masuk ke restoran itu lalu memesan makanan dengan cepat agar mereka bisa menikmatinya, karena keduanya juga sudah lapar.
"Gimana keadaan Tante Melda, pas kita ketemu kemarin katanya habis kontrol?" tanya Tama kemudian saat mereka sudah berada di restoran itu.
"Kata dokter, ya Mama sudah baikan cuma harus tetap jaga diri jaga pola makan dan jangan ada pikiran yang membebankannya kalau sampai itu terjadi ya sudah mungkin bisa kambuh lagi."
"Syukurlah kalau gitu aku juga berdoa semoga Tante lebih baik lagi dan lebih sehat."
Kemudian keduanya saling berbicara satu sama lain untuk menikmati malam itu bersama, meskipun sebenarnya Mitha ingin menanyakan kebenaran pertemuannya dengan Tama saat di rumah sakit, suatu hal yang masih mengganggunya hingga saat ini. Namun, ia urungkan karena ia pikir saat ini adalah keadaan yang baik untuk mereka membangun hubungan.
Lagi pula sebenarnya memang tidak ada yang mencurigakan dari Tama maka dari itu Mitha tak berhak cemburu tidak ada alasan untuknya melakukan hal itu.
"Kamu sendiri bagaiamana kerjaanmu? Kabar keluargamu? Mama kemarin sempat mengkhawatirkanmu," tanya Mitha pada Tama.
Tama kemudian menjawab bahwa dirinya baik-baik saja, tetapi tidak dengan kedua orang tuanya yang saat ini sedang memutuskan untuk bercerai, Tama tak peduli dengan hal itu sebab bersama ataupun tidak mereka itu tidak mengganggu dirinya.
"Luna tahu hal itu?" tanya Mitha lagi.
"Udah aku kasih tahu, tapi harus sama kayak apa yang aku rasain ya karena memang kami sejak lama sudah kehilangan sosok mereka Jadi ya biasa aja."
Dengan hal itu Mitha pun mencoba menenangkan sang kekasih dengan berbagai cara.
"Untung aja ada kamu sama tante Melda aku nggak pernah kehilangan lagi sosok keluarga dan orang tua, Tante Melda baik banget sama aku aku dianggap anak sendiri."
"Iya, gak masalah itu. Mama juga seneng soal itu, dan katanya Mama setuju kalau kita nikah."
"Ohya?" tanya Tama meyakinkan ucapan Mitha itu.
"Aku mencoba berbicara dengan Mama, kalau katanya boleh saja, nikah kalau memang aku lulus sekolah, karena jodoh itu sudah takdir mau muda atau tua kalau memang jodoh, kenapa tidak?"
"Jadi kapan kamu bilang kalau kita lulus?"
"Dua sampai tiga bulan lagi."
"Lama, kenapa gak cepatin?"
"Gak bisa dong, kan aku perlu mengatur drama persiapan ujian baru lulus."
"Begitu," kata Tama sambil mengangguk.
Begini begitu Tama begitu lama sebab jadwal pernikahannya dengan Debi saja sekitar beberapa hari ke depan padahal jika bisa menikah dengan minta dipercepat maka ia ada alasan untuk tidak menikahi Debi.
Namun, bagaimanapun ia tidak bisa memaksakan kehendak meskipun dia sangat berharap.
Setelah sesi makan, perbincangan dan hal-hal lain yang mengganggu pikiran masing-masing, mereka pun memutuskan untuk menyudahinya dan keluar dari resto itu, tetapi mereka tidak pulang malah berkeliling kota.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments