"Tumben Ma, lemes banget," ujar Pram pada Lia-istrinya yang duduk di sofa ruang tengah. Pram saat itu datang sambil membawa segelas air putih. "Ada masalah di resto?"
Lia menyambut gelas itu dan meneguk air putihnya hinga isi di dalamnya habis.
"Ada sedikit dan bikin capek aja, Pa. Biasalah resto kalau gak diawasi pasti ada masalah, managernya habis aku pecat tadi," jawab Lia.
"Lho kok gitu?" tanya Pram lagi.
"Gimana gak aku pecat. Aku udah pilihin juru masak terbaik dua orang, masa dikeluarin. Katanya masakan mereka gak enak, kan gak mungkin sedangkan juru masaknya aja orang-orang yang udah sekolah di bidangnya bertahun-tahun," ucap Lia. "Terus diganti sama anak yang baru lulus sekolah tata boga kemarin, kan aneh. Masakannya gak enak sampai aku diomeli pelanggan tadi."
Sambil bercerita Lia sedikit bersungut, ia masih bisa membayangkan bagaimana yang terjadi di restonya tadi sore.
Dua perempuan mengomelinya mengatakan bahwa masakan di restonya tidak enak dan rasanya aneh, setelah ia icipi ternyata benar rasanya tidak menggugah selera sama sekali, bahkan itu tidak layak disebut sebagai masakan resto kelas atas.
Setelah selesai mendengar omelan itu dan Lia meminta maaf dengan mengganti rugi, Lia memecat managernya bersama juru masak bawaannya dan meminta dua orang juru masak barunya untuk kembali. Masalah selesai sebenarnya, tetapi tidak secepat yang dibayangkan sama sekali.
"Ya sudahlah, Ma. Itu hal wajar, Mama juga sudah tahukan dunia bisnis ada saja masalahnya." Pram berusaha menenangkan Lia.
"Iya juga, Pa." Lia berkata seadanya. "Alden mana, Pa?"
"Udah tidur dari sore, padahal dia minta es krim tadi, udah aku belikan banyak malah dianya tidur," ujar Pram.
"Biar aja dia tidur, mungkin dia capek seharian main sama pengurusnya," kata Lia.
Lia kemudian bangkit berdiri meninggal Pram untuk menuju kamarnya untuk membersihkan diri, sebelum itu ia sedikit mengintip kamar Alden yang tak pernah terkunci. Ia melihat anak laki-lakinya yang kini sudah berusia 28 tahun, tumbuh tinggi dan tampan. Namun, ia tak sempurna seperti laki-laki seharusnya.
Sejak usia beberapa tahun dari kelahirannya, dokter mengatakan bahwa Alden mengalami autisme-yang membuatnya begitu istimewa.
Alden tumbuh dengan baik bahkan dia begitu tampan dan bertubuh ideal.
Namun, dari semua itu Alden memiliki dunia sendiri yang tak siapapun mengerti. Kadang jika penyakit Alden kambuh ia akan seperti anak kecil yang tantrum, memiliki keinginan yang kuat terhadap satu hal.
Ketika masih kecil hingga usia remaja ia sering sekali marah tak terkendali bahkan bisa menyakiti dirinya sendiri, tetapi kini saat sudah beranjak dewasa ia lebih bisa menahan dirinya. Kadang bersikap wajar dan bisa mengerti, cara bicaranya pun baik.
Setelah memperhatikan Alden-sang anak, Lia pun bergegas pergi dari sana untuk membersihkan dirinya, karena dia sudah merasa lelah dengan semua pekerjaan yang menyita banyak waktunya, tetapi mau bagaimana lagi karena ia sangat suka bisnis dan tentang kuliner.
Setengah jam berlalu, sekitar pukul sembilan malam. Lia keluar dari kamar menuju dapur untuk menikmati makan malam yang kelewat malam bersama dengan Pram. Pram tak akan makan lebih dulu jika tidak dengan Lia.
Kini Lia dan Pram sudah duduk di depan meja makan, Pram yang menyiapkannya sendiri padahal mereka memiliki asisten rumah tangga, tetapi karena sudah begitu malam mereka tak ingin mengganggunya.
Asisten rumah tanggannya sudah berusia lanjut, sebenarnya mereka ingin memberhentikan sejak lama, tetapi belum menemukan pengganti yang cocok.
Bi Parmi panggilan asisten rumah tangganya sudah bekerja cukup lama sejak Alden masih berusia enam tahun, beberapa kali Alden berganti pengurus, tetapi Bi Parmi tetap berada di sana.
"Alden sudah waktunya kontrol kan, Ma?" tanya Pram pada Lia di sela-sela mereka makan.
"Seingat Mama besok kalau gak lusa, nanti Mama cek jadwalnya," jawab Lia.
"Harus lebih rutin Ma, kalau bisa tiap sebulan sekali Alden diperiksa," kata Pram. Lia mengangguk. "Oh iya, Rama bilang mau ke Afrika untuk urusan bisnis beberapa hari, mungkin gak bisa menghubungi dulu."
"Kenapa? Dia gak lagi mau bangun perusahaan di pedalaman savana, kan? Tentu masih ada jaringan kalau di kota," ucap Lia.
"Namanya sibuk sama kerjaan, Ma. Lagian kita gak tahu etos kerja di sana. Rama melakukan itu juga untuk kehidupannya dan perusahaan Papamu. Itu kan yang kamu mau?" ujar Pram, sembari bertanya diakhir kalimat.
"Itu yang Papa mau, bukan aku. Dari kecil Rama di sana, sekolah dan kerja di sana, pulang ke Indonesia seolah dia sedang liburan." Lia menggerutu sambil terus menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.
Pram tak menjawab perkataan Lia itu. Sudah beberapa kali setiap membahas tentang Rama, Lia pasti menggerutu dan mengatakan bahwa dirinya ingin Rama kembali pulang ke Indonesia dan tinggal di negara orang tuanya sendiri karena sejak kecil hingga kini berusia 29 tahun Rama berada di Amerika Serikat.
Saat keduanya sedang berbincang sambil menikmati makan yang hampir tengah malam itu, Alden keluar dari kamar dan langsung menuju dapur, membuka pintu kulkas tanpa mempedulikan orang tuanya yang berada di sana.
Lia dan Pram hanya bisa memerhatikan Alden yang memang sudah biasa melakukan hal itu. Alden sepertinya terbangun karena dia ingat meminta es krim pada Pram-papanya.
"Es krim. Alden, mau es krim," kata Alden sambil mengeluarkan satu per satu es krim yang tadinya ada di dalam kulkas.
"Iya, itu semua es krim Alden, makannya besok saja ya, kan udah malam begini, dingin lho, nanti pilek lagi," ucap Lia memberitahu Alden.
"Es krim. Alden, mau es krim," ujar Alden lagi dengan kata-kata yang masih sama.
Setelah itu Alden berlalu pergi ke kamarnya membawa beberapa bungkus es krim yang ia dekap di dadanya dengan kedua lengan.
Pram dan Lia tak bisa berbuat apa-apa, mereka juga tak mungkin mencegahnya. Jika mereka mengatakan 'tidak', Alden bisa saja mengamuk dan emosinya di luar kendali, tak enak menganggu tetangga malam-malam seperti ini. Lagi pula Alden bukan anak kecil lagi yang akan mudah sakit hanya karena sebuah es krim di malam hari.
"Dalam waktu dekat aku ada kerjaan keluar kota, ngurus proyek pembangunan di sana. Aku tinggal beberapa hari gak apa-apa, kan'?" kata Pram sambil bertanya dan meminta izin pada Lia.
"Berapa lama?" tanya Lia.
"Paling tiga hari, gak lama itu," kata Pram lagi.
Lia mengangguk. "Lagi pula dari sebelum aku mengandung anak-anakmu, aku juga sering ditinggal sendiri. Gak ada gitu niatan kamu ngajak aku."
"Kalau kamu kuajak, siapa yang ngurus rumah sama bisnismu, kasihan Bi Parmi kalau sendirian jaga Alden," ucap Pram.
Lia lagi-lagi hanya bisa mengangguk dengan semua ucapan Pram itu. Jika Lia tak melakukannya dia juga tak mungkin memaksa untuk ikut. Alden tak ada yang mengurus, Bi Parmi sudah cukup tua sedangkan pengurus Alden kemarin baru saja mengundurkan diri.
"Perlu gak sih kita cari pengurus baru, kalau tidak perempuan, laki-laki juga boleh?" tanya Lia.
"Kenapa?" tanya Pram balik.
"Kamu lihat anakmu yang sudah sebesar itu, tinggi badannya lebih tinggi darimu, besarnya pun hampir menyamaimu, pengurus perempuan tak kuat kalau dia lagi tantrum," ujar Lia.
"Terserahmu saja gimana. Kalau memang mau menyewa yang memiliki badan kuat aku bisa usahakan militer dan guru SLB," kata Pram.
"Dia lagi gak latihan militer, ya." Lia merungut, dia pikir Pram sedang bercanda.
"Kita pikirkan nanti."
Setelah Pram mengatakan itu, dia pun meninggalkan meja makan, Lia membersihkannya dan menaruh piring kotor di tempat cuci, biar besok Bi Parmi yang mengurusnya.
Kemudian Lia menyusul Pram untuk masuk ke kamar dan tidur. Memang sudah cukup malam mereka harusnya mengistirahatkan diri agar besok bisa bekerja lebih baik dan siap dengan dunia yang Alden punya.
Pram sebagai seorang ayah dan suami harus memikirkan segalanya dengan matang, untung saja Lia begitu paham dan cepat mengerti.
Keadaan Alden yang berbeda dari lelaki pada umumnya bukan kesalahan siapapun, meskipun ia sekali-sekali berharap anaknya bisa tumbuh normal dan mengambil alih Wijaya Group suatu saat nanti jika dirinya telah tiada.
Namun, sepertinya hal itu cukup sulit untuk dilakukan melihat kondisi Alden yang begitu.
Rama tak mungkin menggantikannya karena di Amerika saja dia sudah mengurus kantor milik orang tua Lia yang tak lain kakek dari Rama. Jika dipindahkan tangan bukan pada keluarganya itu akan sangat berbahaya bagi Alden dan yang lain.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments