Bab 09

Perjalanan panjang untuk beberapa jam menuju kota tujuan, Pram dan Mitha habiskan hanya berdiam diri saja, sambil memikir apa yang ada di otak masing-masing.

Hingga tak lama kemudian Pram berucap, "Anak saya memiliki kebutuhan khusus sejak kecil, usianya saat ini mungkin seumuranmu, tapi ia tidak sama denganmu."

Mitha terdiam sesaat mendengar ucapan dari Pram itu, ia mulai berpikir tentang pertemuannya dengan anak Pram untuk pertama kalinya setelah beberapa tahun menjadi karyawannya.

Jujur saja ada sedikit terbesit dipikirannya tentang hal itu, tetapi Mitha adalah tipikal orang tak ingin ikut campur urusan orang lain.

Namun, wajar saja jika ia penasaran dengan laki-laki yang dipanggil Pram dengan sebutan Alden, yang tak lain anaknya itu.

Padahal dari banyak hal yang Alden miliki, bagi Mitha ia sempurna, tampan, berbadan tinggi, tetap, bahkan jika Mitha jujur Alden sedikit lebih tampan dari Tama.

"Maaf kalau boleh tahu, anak Bapak sakit apa ya?" tanya Mitha kemudian yang ia tak ingin menerka.

Kemudian Pram menjawab pertanyaan Mita bahwa Alden sejak kecil sudah didiagnosis menderita penyakit autisme berat, meskipun sebenarnya Alden sudah berulang kali melakukan terapi, tetapi sampai saat ini Alden juga belum sembuh.

Pram mengatakan bahwa ia dan Mama Alden sudah berusaha sekuat tenaga, tetapi belum berhasil. Akhirnya mereka memutuskan untuk membiarkan Alden di rumah, diterapi sambil homeschooling.

"Selama 28 tahun ini saya berusaha menyimpan tentang keberadaan Alden dari banyak orang, bukan saya malu, hanya saja saya tak ingin orang-orang sibuk mengurusi hidup Alden," kata Pram sambil berusaha mengakhiri ceritanya.

Mitha tak tahu harus mengatakan apa, jadi ia hanya bisa diam saja sambil mendengarkan cerita Pram. Padahal ia selama ini pikir Pram tak memiliki anak, karena Mitha tak pernah tahu.

Namun, jika kenyataannya Pram memiliki anak berkebutuhan khusus, Mitha paham dengan alasan kenapa Pram sampai berusaha menutupinya dan membuat semua orang seolah berpikir bahwa ia tak memiliki anak.

"Tapi sepertinya Alden, begitu menurut sama Bapak," kata Mitha kemudian.

"Hanya waktu-waktu tertentu saja, jika sudah masuk waktunya kacau maka saya pun akan sulit menghentikannya, kamu tahu kan anak berkebutuhan khusus seperti dia memiliki dunianya sendiri," papar Pram lagi.

Mitha kini mengangguk mengerti dengan ucapan dari Pram.

Sulit juga ternyata memiliki kehidupan seperti Pram, maka dari itu Mitha kini mulai mengerti mengapa Pram sering sekali terlihat marah.

Meskipun Pram sering bilang bahwa pekerjaan dan rumah tidak boleh digabung, tetapi jika masalahnya seberat milik Pram mungkin hal itu wajar.

"Padahal harusnya seumur Alden ia sudah menikah, tetapi perempuan mana yang mau sama dia," ujar Pram. "Kamu mau nikah sama dia?"

"Hah? Eh gimana maksudnya, Pak?" tanya Mitha dengan tergagap, ia sendiri bingung dengan pertanyaan dari Pram yang mendadak dan terkesan ambigu.

"Saya hanya bercanda, tak mungkin juga saya membiarkan kamu menikah dengan anak saya. Kamu perempuan sehat, akan sulit mengurus laki-laki seperti Alden."

Meskipun Pram bercanda, tetapi Mitha malah canggung sendiri. Jangankan hal itu, dalam satu mobil saja dengan Pram, Mitha sudah canggung apalagi mengobrol dan sampai bercanda begitu.

Bahkan Pram sendiri meskipun menyebut itu sebagi sebuah candaan, Pram tidak tertawa sama sekali, senyum saja tidak.

Kemudian pembicaraan mereka berakhir, hingga akhirnya mereka fokus dengan diri mereka sendiri.

Di dalam mobil yang hanya berdua itu saja, keadaan hening tanpa ada percakapan, selain deru suara mesin.

***

Perjalanan yang cukup panjang itu akhirnya mereka sampai di tempat tujuan.

"Saya mau pesan dua kamar," kata Pram pada seorang resepsionis hotel.

Setelah pemesanan itu si resepsionis memberikan kunci pada keduanya, karena beberapa barang yang harus dibawa ke kamar cukup banyak akhirnya seorang pegawai hotel membantu.

Selama berada di sana, mereka akan menginap disalah satu hotel dan pastinya mereka akan terpisah kamar.

Sebenarnya hal itu salah satu pengalaman baru bagi Mitha karena selama ini ia tidak pernah ikut Pram untuk melakukan pekerjaan di luar kantor karena memang tugasnya adalah sebagai seorang audit yang harus stand by di dalam kantor.

Namun, kemudian Mitha akhirnya sadar bahwa ikut bekerja ke luar kota tidak ada salahnya saya juga bisa sambil berlibur menikmati pekerjaan yang menyenangkan.

Begitu Mitha sampai di kamar ia langsung merebahkan dirinya karena selama beberapa jam di dalam mobil umumnya terasa nyeri tulang dan sendinya pasti kaku.

Dalam keadaan begitu Mitha sambil membuka ponselnya, memeriksa jika ada pesan masuk. Ternyata ada dari Tama dan juga sang Mama, yang keduanya menanyakan keadaanya.

Secara bergantian Mitha membalasnya dan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja, ia sampai dengan selamat.

Meskipun pada sang mama ia harus berbohong, sedangkan pada Tama ia berbicara seadanya.

Dalam keadaan seperti itu entah mengapa Mitha mengingat tentang ucapan Pram yang mengatakan bahwa Alden harus menikah.

Sebenarnya tak ada salahnya, karena memang Alden sudah cukup dewasa, meskipun memiliki keterbatasan, tetapi jika benar Pram ingin Mitha menikah dengan Alden itu seperti hal yang tidak mungkin.

Banyak alasan ia harus menolak, bukan hanya Alden memiliki keterbatasan, tetapi ia juga masih memiliki kekasih dan sudah berniat ingin menikah.

Lagi pula ia saja baru bertemu pertama kali dengan Alden dan tak ada perasaan suka dengannya.

Meskipun memang Pram mengatakan bahwa itu hanya sebuah candaan, tetapi Mitha masih memikirkan hal itu.

***

Keesokan paginya setelah sarapan, Pram mengajak Mitha untuk meninjau lahan yang akan digunakan untuk membangun cabang baru dan sekaligus bertemu dengan investor besar di perusahaan Pram.

"Asisten baru Pak Pram," ujar Investor itu pada Pram, Mitha mendengarnya dengan sangat jelas.

"Bukan, Pak. Asisten saya biasanya lagi cuti, ini karyawan yang lain," ujar Pram.

"Oalah, ini lebih cantik dari pada biasanya, lebih mantap sepertinya."

Mitha yang mendengar bahwa ia dipuji, ia mengulas senyum getir. Percakapan antara dua orang kaya ternyata tak lebih seperti percakapan antara bapak-bapak pada umumnya.

Mungkin ada sekitar satu jam lebih akhirnya pertemuan itu usai, Mitha dan Pram pun berlalu dari sana.

Mitha hanya mengikuti Pram dari belakang sambil membawakan beberapa berkas dan juga tas.

"Kita makan siang dulu, saya tahu kamu sudah lapar dan lelah," kata Pram.

Mereka menuju ke salah satu restoran yang ada, tak jauh dari pertemuan dengan investor tadi yang berada di kantornya.

Tak lama kemudian mereka pun sampai di sana dan memesan masing-masing makanan.

"Biasanya kalau ke luar kota begini, saya ajak Siska, tapi lebih sering sama istri saya kalau pengurus Alden ada, atau dia gak sibuk kerja di restonya," kata Pram. "Apalagi kalau di kota ini, soalnya saya serasa pulang, karena keluarga saya tinggal di sini."

Mitha mendengarkan cerita Pram sambil mengangguk-angguk saja, karena ia tak tahu harus melakukan apa. Sambil keduanya pun menikmati makanan yang sudah ada di depan mereka masing-masing.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!