Keesokan harinya Mitha tengah sibuk bekerja, ia belum sempat beristirahat sejak tadi karena pekerjaannya yang begitu menumpuk hari itu. Entah kenapa Pram senang sekali memberinya banyak pekerjaan, seolah hanya dia pegawa yang ada di sana.
Sementara itu Windy dengan santainya mengatakan jika hal itu terjadi lantaran Pram begitu percaya padanya, padahal terasa aneh dan tidak masuk akal sam sekali.
Namun, mau bagaimana lagi, dia tak mungkin menolak semua pekerjaan yang diberikan Pram itu, dia tak seberani itu untuk melawan bosnya.
Lagi pula jika dia pikir-pikir bayaran yang akan dia terima sama cukupnya dengan kerja keras yang dia lakukan selama ini. Bahkan saat lembur pun bayarannya juga memuaskan yang membuatnya tak perlu mengomel tentang apapun lagi.
Saat Mitha tengah bekerja itulah Windy mendekatinya.
"Eh Mitha, lihat deh," ujar Windy sambil menunjukkan layar ponsel pintarnya pada Mitha, tetapi Mitha tak bergerak sedikit pun dari monitor komputernya. "Lihat bentar deh, ini penting untuk masa depanku, Mitha. Jangan pura-pura sibuk deh kamu."
Mendengar apa yang dikatakan Windy itu membuat Mitha menarik napas kemudian mengebuskannya perlahan, ia mengalihkan pandangan dari monitor komputernya dan menatap Windy yang malah mengulas senyum manis. Seolah ia tak bermasalah karena telah mengganggu dirinya yang bekerja itu.
"Apa sih, Windy? Aku lagi kerja ini, gak lihat apa?" tanya Mitha dengan air muka lelah.
"Ini lho, kamu makan dulu. Tadi gak sempat makan kan kamu." Windy menyodorkan sekotak makanan pada Mitha.
"Tadi rasanya kamu mau nunjukin ponselmu sama aku, kok jadi nasi kotak," ujar Mitha.
"Udah itu nanti aja, lebih baik kamu makan dulu, kerjamu bisa nyusul, tapi soal sakit gak bakalan bisa," kata Windy. "Kalau sampai kamu sakit siapa yang nanti ngurus tante Melda."
"Iya deh, tapi aku mau sambil minum kopi. Temani ke kantin aja yuk, mumpung Pak Pram gak ada kan, di kantor."
"Nah gitu dong. Jangan memaksakan diri itu melakukan pekerjaan, itu tidak baik."
Setelah mengatakan hal itu Windy tersenyum, kemudian Mitha pun bangkit dari duduk untuk menuju kantin.
Tak lama kemudian mereka pun sampai di sana, setelah menunggu pesanan kopi mereka Mitha pun sambil menikmati makanannya yang tadi dibawakan Windy untuk dirinya.
"Tadi kamu mau nunjukin apa sama aku?" tanya Mitha kemudian pada Windy mengingat hal itu. Salah satu tujuan mereka datang ke kantin selain untuk makan dan mengopi adalah untuk mendengarkan cerita dari Windy, atau bisa juga itu gosip yang entah dari mana Windy dapatkan. Seputar anak-anak kantor lainnya.
"Ah iya lupa, lihat deh." Windy menunjukkan layar ponsel pintarnya pada Mitha, yang mana di sana menunjukkan foto seorang pria tampan.
"Siapa? Ganteng juga, kayak orang-orang Turki gitu, berewokan lagi, ya." Mitha mengatakan hal itu sambil mengunyah makanannya.
"Iya, kan? Aku juga pikir dia ganteng banget, geli-geli bikin kangen gitu brewoknya. Mama yang ngenalin dia ke aku, katanya sih anak rekan kerjanya, cuma kami belum sempat ketemu," papar Windy.
"Nunggu apa lagi, cepet ketemu, cepat kenalan, nikah, dan udah deh gak sendirian kamu," kata Mitha.
"Dih, enaknya ngomong. Semua butuh proses Cantik, gak semudah itu dong. Aku kan butuh yang namanya tahu sifatnya luar dan dalam, gak asal aja terus ternyata banyak hal yang gak aku suka dari diri. Itu akan jadi masalah nantinya," ucap Windy.
"Emang kata Mamamu dia kerja apa? Masih numpang kerjaan sama Papanya atau gimana?" tanya Mitha lagi.
"Kata Mama sih dia itu dokter spesialis gitu aku lupa namanya tapi soal tulang-tulang gitu lah, sekarang dinasnya di rumah sakit Sehat Sentosa kalau gak salah," jawab Windy. "Dia orangnya mandiri kata Mama, gak mau berpangku tangan sama orang tuanya."
"Bagus deh kalau gitu, kan gak ada salah berarti. Lagian rumah sakit Sehat Sentosa itu rumah sakit besar dan terkenal, gak akan jadi masalah deh kayaknya, Mamaku juga kan berobat di sana," kata Mitha. "Langsung aja ketemuan."
"Nanti malam sih dia ngajak ketemuan," ucap Windy. "Lihat deh chatan kami beberapa waktu ini."
Windy kembali menunjukkan layar ponsel pintarnya yang saat ini memperlihatkan beberapa pesan antara Windy dan laki-laki yang dia maksud tadi.
"Formal banget bahasa yang dia pakai, kayak pakai google translate," ucap Mitha setelah melihat itu.
"Dia dari Sekolah Dasar sampai jadi spesialis kan di luar negeri, jadi bahasa Indonesianya agar kurang fasih, beberapa kata dia pakai penerjemah otomatis deh," kata Windy sambil menarik ponsel pintarnya dari hadapan Mitha.
"Takutnya pas dia ngobrol sama aku nanti pakai bahasa Inggris lagi, tau sendiri kan bahasa Inggrisku kurang."
"Lagian aneh, nenek sama nakekmu asli Belgia, tapi kamu gak bisa Bahasa Inggris." Mitha mengingatkan Windy tentang keluarganya.
"Mereka gak pernah ngomong Inggris selama ini, mereka kan pakainya bahasa Prancis, kalau itu ya aku bisa."
Jika dipikir lagi memang selama ini Windy jarang sekali menggunakan bahasa Inggris, meskipun ia memiliki keturunan asli Eropa.
Maka dari itu Windy dipaksa menerima kenyataan bahwa bahasa Inggrisnya kurang lancar.
...***...
Di tempat yang berbeda, ada Lia dengan Alden yang tengah terlibat pembicaraan antara anak dan seorang ibu, yang tak seperti biasanya.
"Al, mau ke mana?"tanya Lia saat Alden berjalan di depannya begitu saja, keluar halaman.
Padahal saat itu Lia tengah berada di sofa ruang tamu, dengan bersantai.
"Alden mau main sama doggy-nya Kak Lussi,"jawab Alden menarik tubuhnya kembali ke hadapan sang mama.
"Ingat ya kalau main ..."Lia tak melanjutkan ucapannya.
"Ingat Alden Ingat. Alden gak boleh kasar, gak boleh pukul-pukul."
"Nah iya. Terus mainnya jangan lama-lama, setelah pulang langsung bersih-bersih, kalau gak ada Mama, sama Bi Parmi."Begitu pesan Lia pada Alden.
"Iya, Alden gak pulang lama,"kata Alden.
Setelah itu ia pun berlalu pergi dari sana meninggalkan Lia yang kini seorang diri.
Lia hanya bisa menggeleng kepala melihat tingkah Alden itu. Kadang anak itu bisa diajak bicara dengan baiknya jika hatinya sedang senang, tetapi jika sudah marah apapun akan ia lakukan sampai merusak barang dan memukul barang.
Hanya Pram yang bisa menghentikan kemarahan Alden, meskipun kadang Pram juga kalau kuat dengan tubuh Alden.
Setelah itu Lia bangkit dari duduknya dan mengambil tas, ia harus pergi ke resto untuk memeriksa keadaan di sana. Menjelang makan siang biasanya akan banyak pelanggan yang datang.
Setelah berpesan dengan Bi Parmi untuk mengawasi Alden, ia pun masuk ke mobilnya dan membawanya berlalu pergi dari sana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments