Bab 05

Pada menjelang malamnya, Mitha merapikan baju seragam sekolanya sesaat setelah mobil taksi yang membawanya pulang dari kantor berhenti di depan rumahnya. Didorongnya pintu taksi itu pelan, lalu membayar taksi sesuai argo yang tertera di sana.

Si supir tersenyum sambil menggelengkan kepalanya pelan, dia adalah langganan Mitha setiap pulang ke rumah.

Mitha sudah masuk ke dalam gerbang rumahnya, setelah taksi itu melaju pergi. Mitha berulang kali membereskan bajunya, memperhatikan setiap benda yang menempel di tubuhnya hingga sepatu hitam khas anak sekolah.

Beberapa kali dia mengucapkan salam, hingga membuka pintu ruang tamu, sang mama di ruang tengah menonton televisi acara malam, tanpa sedikit pun memperhatikan Mitha yang sudah berada di dekatnya.

"Ma, serius banget lihat televisinya, nonton apa sih? Gosip, ya?" kata Mitha kepalanya sudah bersandar di bahu sang mama, tangannya melingkar di lengan kanan mamanya.

Mamanya menoleh, diam sesaat tak merespon, Mitha berharap cemas sambil menelan salivanya yang kini naik turun, dia tak ingin mamanya mengamuk lagi dan mengusirnya dari rumah seperti beberapa kali yang sudah terulang.

"Mitha," ucap sang mama, "kok kamu baru pulang segini? Ini sudah jam enam lho."

Mitha mengembuskan napas leganya, sang mama bersikap wajar, mulai nyaman pikirannya.

"Mitha ada ekskul, Ma. Sebentar lagi ada lomba, jadi ekskul Mitha harus latihan," jawab Mitha berbohong, sepertinya bakat berbohongnya sudah mencapai puncak seperti aktris.

"Begitu. Yasudah kamu mandi gih, Mama sudah siapkan makanan di atas meja, makan yang banyak ya biar cepat besar." Sang mama mengacak pelan rambut panjang Mitha, Mitha tersenyum lalu mengangguk dan pergi untuk melakukan hal yang diperintahkan sang mama.

Lima belas menit berlalu, Mitha keluar dari kamarnya dengan menggunakan kaos dan celana sebatas lutut, menuju meja makan untuk menikmati makan malamnya, dia memang tak makan malam di luar hanya untuk bisa menikmati masakan mamanya setelah pulang bekerja.

Sementara sang mama belum beranjak dari depan televisi, menonton acara sore yang tak Mitha tahu mengapa sang mama begitu menikmatinya. Sambil makan, Mitha memperhatikan sang mama, usianya sudah lebih 50 tahun, memasuki fase lansia, di mana seharusnya beban pikiran berkurang, tapi sepertinya hal itu tak berpengaruh pada mamanya.

Delapan tahun lalu, papannya meninggal karena kecelakaan mobil, polisi mengatakan bahwa penyebab kecelakaan itu tak lain karena penyakit jantung sang papa kambuh. Sang mama stres berkepanjangan, hingga menimbulkan penyakit aneh.

Setiap kali sang mama berpikir bahwa Mitha adalah anak kecilnya yang tak akan tumbuh dewasa, saat Mitha pulang dari kantor tanpa seragam sekolahnya, sang mama akan berontak marah dan tak mengenalinya, bahkan mengusirnya.

Beberapa kali Mitha lupa, dan hal itu terus terjadi padanya. Dokter bilang, itu semua karena trauma akibat di tinggal sang papa.

Lalu Mitha memutuskan menggunakan baju seragam, sering berbohong tentang dirinya dan sekolahnya, hanya agar pikiran sang mama tak semakin kacau, jika pikiran itu kembali menyerang sang mama, keadaan memburuk dan membuatnya mama nampak kesakitan.

Sebegitu cintanyakah mama sama papa. Begitu pikir Mitha.

"Masakan Mama hari gimana?" tanya sang mama mendekati Mitha dan duduk di bangku kanannya.

"Enak, Ma. Resep baru, ya?" ucap Mitha, sang mama mengangguk.

"Iya, Mama baru lihat di internet. Takut kamu bosan sama masakan Mama yang biasanya," kata sang mama.

"Bosan? Enggak mungkin, Ma. Masakan seenak ini kok membuat bosan ya enggaklah. Mama masak apapun Mitha senang, asal bukan batu sama kayu." Mitha tersenyum memamerkan giginya yang rapi.

Sang mama ikut tersenyum pelan, lalu kembali mengendurkan bibirnya. "Coba kalau Papamu masih ada, Mama pasti lebih sering mencoba resep baru."

Mitha tersedak pelan, lalu berhenti mengunyah, pikiran itu kembali menghantui sang mama. "Mama, gak boleh begitu, itukan sudah takdir Tuhan, sekarang kan masih ada Mitha."

Sang mama mengangguk, lalu memperhatikan Mitha yang menikmati makanannya, Mitha menyadari hal itu tapi sang mama tak berespon apapun.

"Ma, Kalau Mitha lulus sekolah dan bekerja gimana?" sambung Mitha sambil bertanya.

Sang mama menggeleng pelan, "Mama gak mau kamu tumbuh dewasa, Mitha."

"Kenapa? Suatu saat kan Mitha pasti dewasa, Mah." Mitha bertanya sambil memastikan.

Mitha tahu pembicaraan seperti itu sebenarnya tidaklah penting, tetapi Mitha hanya ingin tahu bagaimana respon sang mama setelah dia bertanya seperti itu.

Mitha ingin tahu sejauh apa sakit sang mama, apa mamanya benar-benar tak ingin dia menjadi dewasa atau ada hal lain yang tak ingin terjadi.

"Jika kamu tumbuh dewasa, umurmu bertambah, dan bebanmu makin banyak, nanti kamu tertekan. Mama gak mau lihat kamu capek dan bingung dengan keadaan," ujar sang mama, Mitha menarik napasnya perlahan, menghentikan makannya, dan meletakkan sendok-garpu di atas piring kosong.

"Jika benar nanti Mitha tumbuh dewasa, pasti Mitha bisa melewatinya, seperti Mama sama Papa, kan," kata Mitha meyakinkan sang mama, menggenggam tangannya sambil berusaha tersenyum.

Namun, lagi-lagi sang mama hanya tersenyum sambil menggeleng, Mitha tak pernah tahu apa yang ada dalam pikiran mamanya. Sebenarnya sang mama sakit apa, dia juga tak begitu mengerti, selain dokter mengatakan mamanya trauma dan hal itu yang membuat semuanya terjadi.

“Oh iya, Tama sudah beberapa minggu ini tak ada ke sini, ke mana dia?” tanya sang mama kemudian, sepertinya ingin keluar dari pembahasan tadi.

“Tama sibuk, Ma. Katanya lagi belajar, sebentar lagi kan akan ada ujian, jadi dia harus belajar supaya dapat nilai yang bagus,” jawab Mitha. Ia berbohong lagi dengan sang mama.

“Bagus kalau gitu. Mitha juga harus belajar supaya bisa dapat nilai yang bagus nantinya.”

Mitha mengangguk lalu berpamitan pada sang mama untuk pergi ke kamarnya, sesampainya di kamar Mitha merebahkan tubuhnya. Rasa lelah bergelayut seketika saat mengingat banyak sekali pekerjaan yang dia lakukan hari ini. Mengurus keuangan, mengaudit dan banyak hal lainnya.

Pram terus memberikannya pekerja yang begitu banyak seolah karyawan di kantor itu hanya dirinya. Windy yang harusnya menemaninya saja malah sudah lebih dulu pulang dengan alasan akan melakukan kencan buta dengan dengan pria yang dia kenal di sosial media.

Mata Mitha hampir terpejam, saat ponsel pintarnya berbunyi, tumpukan pesan dari Tama dengan gombalan-gombalan dan emotikon berbentuk hati. Mitha tersenyum lalu mengirim stiker manis-manis sebagai balasannya.

Sudah lebih dari dua minggu mereka tak bertemu dengan alasan sama-sama sibuk, meskipun begitu mereka masih sering mengirim pesan singkat. Kadang bahkan saling menghubungi meskipun tak seromantis pasangan pada umumnya.

Walaupun jarang bertemu, bukan berarti hubungan mereka tak baik-baik saja, mereka melakukannya hanya diwaktu-waktu tertentu, sebab jika sudah sama-sama luang, mereka juga akan sering bertemu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!