Pernikahan Tanpa Syarat

Pernikahan Tanpa Syarat

Bab 01

“Aku gendutan gak sih?” tanya Windy sambil memegangi pipi dan tangan kiri memegang kaca.

Sementara Mitha baru saja duduk di kursi kerjanya, baru sampai kantor setelah bermacet ria di jalanan. Mendengar pertanyaan dari Windy membuatnya hanya bisa menggeleng.

“Kok gak dijawab sih, Mitha,” sambung Windy. Kini matanya menatap Mitha yang duduk di depannya.

"Enggak, Win. Kamu enggak gendutan. Perfect banget, cantik," ucap Mitha berusaha bermaksud biasa.

"Tapi bagian bawah rahang kayak ada timbunan lemak, pengen diet."

"Kamu mau diet, ngecilin apa? Tulang sama otak? Badanmu itu sudah bagus, lihat nih badanku melar kayak gini," kata Mitha sedikit meninggi, tidak sampai berteriak hanya menambah intonasi suaranya.

Windy adalah perempuan cantik keturunan Jawa-Eropa, memiliki kulit putih dan senyuman manis, ditambah rambut hitam panjang dan tubuh ideal.

Sejak kuliah Mitha berteman dengan Windy, tetapi semenjak bekerja Windy selalu merasa penampilannya kurang. Ingin melakukan diet, sedot lemak, operasi plastik, kadang mempertimbangkan untuk menyuntikkan botox.

"Paramitha, kok kamu gitu sih, aku kan mau tampil cantik biar ada laki-laki yang suka sama aku. Kamu tau kan umurku sudah 28 tahun dan aku masih single, kamu sih enak udah ada Tama," ucap Windy, Mitha menggerakkan alis kirinya ke atas sekali.

"Windyku yang cantik kayak barbie, kamu singlekan salahmu sendiri, kenapa banyak nolak cowok. Kamu terlalu pemilih," kata Mitha mendekati kearah Windy dan memegangi kedua pipinya.

Gemas sekali Mitha pada sahabatnya itu, saking gemasnya ingin rasanya Mitha menarik make-up tebal di wajah Windy.

“Mitha, riasanku rusak,” ujar Windy dengan bibir ke depan karena Mitha menekan pipinya. Tak lama Mitha melepaskan dengan menempelkan bedak ditelapak tangan. "Ih, aku mungkin harus dandan lagi."

Mitha mengulas senyum menahan tawanya, tingkah Windy memang selalu bisa membuatnya bahagia. Sarapan pagi dengan menu yang aneh bersama sahabatnya.

Setelah Windy mendiamkan ocehannya, Mitha membereskan berkas di mejanya yang bertumpuk, lalu menyalakan laptop.

Perkerjaannya masih banyak apalagi ini akhir semester, ada banyak audit keuangan yang menunggunya.

Saat Mitha sibuk dengan pekerjaan, Pram bosnya di kantor keluar dari ruangannya, berjalan menuju Mitha yang tak sedikit pun bergeming meski mendengar langkah kaki sang bos.

"Mit, ikut saya keruangan," kata sang bos, lalu berjalan kembali ke ruangannya. Entah kenapa dia tak menggunakan telepon saja atau menggedor kaca ruangan.

Mitha mengucap-iya, lalu membereskan pakaiannya dan berjalan mengekor sang bos. Windy melontarkan sekilas, sesaat setelah Mitha memanggil bosnya yang galak minta maaf jika pada karyawannya.

Pram adalah tipikal laki-laki dingin dan memiliki hati sekeras es batu balok, yang bakalan cair jika benar-benar di panaskan. Dengan menang tender misalnya.

Pram sampai di ruangannya, begitu juga Mitha yang sudah ikut masuk ke sana, seketika aroma wangi dari pengharum ruangan menyeruak pada lubang hidungnya, ditambah parfume mahal yang menjadi satu.

“Duduk,” perintah Pram pada Mitha. Mitha mengangguk lalu duduk, begitu juga Pram, lalu mengambil sesuatu di atas meja kerja itu. "Ini, Mit."

Mitha menatap bingung berkas audit yang sudah diberikannya pada sang bos minggu lalu, dengan ragu ia mengambilnya. Otaknya masih berpikir keras untuk apa berkas laporan itu.

“Untuk apa, Pak?” tanya Mitha bingung.

"Mitha, kamu sudah bekerja sama saya hampir lima tahun, pendidikanmu S2 pula, masa mengaudit laporan begini saja masih ada yang salah."

Dibukanya berkas laporan keuangan persemester itu dengan masih menyimpulkan tanda tanya, bagian mana yang salah? Menurut Mitha ia sudah melakukannya dengan baik.

"Kenapa? Kamu banyak tekanan saat bekerja?" sambung Pram sambil bertanya.

Mitha menggeleng. “Enggak, Pak.”

"Atau ada masalah pribadi di rumah? Kalau benar, saya mohon jangan bawa ke kantor. Bukan saya tidak simpati dengan masalah karyawan, tapi pisahkan ranah pribadi dan pekerjaan," ucap Pram.

Mitha mulai mengerti bagian mana yang membuat sang bos tampak tak suka, ternyata data dan laporan tidak valid, dan bagian keuangan tidak seimbang.

"Baik, Pak. Akan saya segera secepatnya," ujar Mitha, kemudian berpamitan untuk keluar dari ruangan sang bos.

Ditutupnya pintu ruangan Pram sambil sedikit meremas kertas berkas laporannya itu, berjalan mendekati Windy yang masih sibuk dengan make-upnya.

"Windy Puspitaku yang cantik, kurus, seksi dan semloheh, aku boleh minta tolong gak?" ucap Mitha yang duduk di atas meja kerja Windy, matanya berbinar menatap Windy sambil berlagak manis.

"Apa?" tanya Windy singkat, tumben sekali si Mitha bisa bermuka manis padanya. "Kamu pasti mau minta bantuan kan? Apa-apa? Kamu dimarahi bos lagi?"

"Kok tahu sih? Kamu paramerid ya?"

"Paranormal Paramitha. Apaan sih?" Windy gregetan dengan Mitha.

“Aku minta tolong auditin laporan persemesterku dong,” ucap Mitha kemudian.

"Gila ya, kamu akuntannya masa aku yang di suruh."

"Akuntan di kantor ini bukan hanya aku, kamu juga. Ayolah bantuin sahabat cantikmu ini, kutraktir deh nanti."

"Suapaanmu paling sepiring pangsit. Yaudah sini." Windy menarik berkas laporan itu dari tangan Mitha, yang langsung memberikannya tanpa melawan.

“Makasih Windyku yang cantik.” Setelah pemberitahuan sok imut pada Windy, Mitha kembali kemeja kerjanya.

Mitha tak ingin membuat laporan malam ini, karena ia sudah ada janji yang tak bisa diingkarinya, apalagi kalau janji itu menyangkut soal hati dan perasaan, tentang masa depannya. Siapa lagi bukan kekasihnya Aditama.

Selain itu ia belum izin pada sang mama untuk pulang terlambat hari ini, Mitha sudah melakukannya tempo hari, Mitha tak ingin hal itu terjadi, sebab semua akan kacau jika sampai sakit sang mama kambuh lagi.

Pekerjaan yang ia jalani sudah menguras banyak sekali pikiran, jika ditambah dengan sang mama, maka itu akan menambah rentetan masalah yang harus ia selesaikan.

Meskipun seharusnya ia terbiasa dengan hal itu, sebab sang mama sudah sakit cukup lama dan saat itu Mitha terus yang akan menjadi sasaran dari sakit sang mama.

Namun, untuk waktu yang tak dapat ditentukan Mitha, Mitha tak ingin seperti itu terulang lagi.

“Jangan ngelamun, ini kan aku sambil membantuin kamu,” kata Widya saat melihat Mitha.

“Aku gak melamun, cuma keingatan mamah aja tadi,” ujar Mitha.

“Kenapa dengan tante Melda, ada masalah?”

“Enggak sih, masalahnya sama penyakitnya itu aja.”

“Belum kamu bawa kontrol lagi apa, Mith?”

Mitha mengembuskan napasnya pelan. Seharusnya dalam waktu dekat ini, tetapi sepertinya sang mama enggan melakukannya, karena dia menganggap bahwa dirinya baik-baik saja.

"Niatnya emang mau aku bawa kontrol, tetapi salah saja dapat penolakan, katanya 'Mama itu sehat, kenapa juga dibawa ke rumah sakit terus'," jawab Mitha.

Memang tak bisa dipungkiri jika dilihat sang mama sehat, hanya saja pikirannya yang sakit dan berantakan.

Mendengar hal itu Windy hanya bisa menyemangati Mitha.

Terpopuler

Comments

Hidup untuk apa?

Hidup untuk apa?

ah suka kak. keren

2023-11-01

1

goresan_pena💕

goresan_pena💕

semangat....

2023-10-27

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!