Bab 02

Mitha bekerja hingga waktu menunjukkan pukul lima sore atau tujuh belas lewat sepuluh menit. Sesaat setelah Pram keluar dari ruangannya untuk pulang, Mitha mengikuti dari belakang dengan perlahan dan meninggalkan beberapa kerjanya setelah sebelumnya melambai manja dengan Windy yang masih terus bekerja.

Setelah dia melihat Pram dan mobilnya hilang dari sekitaran kantor, Mitha pun bernapas lega dan berjalan dengan santainya. Menegangkan memang jika harus menjadi ninja dengan bosnya sendiri yang menakutkannya minta ampun, apalagi seharusnya dia lembur mengerjakan laporan yang begitu banyak.

Mitha kini berdiri di depan gedung kantor menunggu taksi yang sudah dia pesan dari aplikasi online antar-jemput, pastinya bukan taksi yang biasa mengantarnya pulang karena sore ini dia ingin kencan terlebih dahulu dengan Tama.

Laki-laki itu mengatakan tak bisa menjemputnya karena satu-dua hal yang cukup masuk akal, lagi pula Mitha tak pernah mempermasalahkan hal sepele itu, tidak penting baginya.

Tama dan dirinya sudah menjalin hubungan lebih dari dua tahun, bisa dipastikan bahwa dirinya kenal dan paham laki-laki itu luar-dalam. Sifat dan sikapnya pun sudah sangat dia tahu.

Sedangkan kini yang sedikit membuat risau adalah sang mama, meskipun dia sudah mengatakan bahwa akan pulang malam karena ada ekstrakurikuler di sekolah dilanjutkan dengan kerja kelompok di salah satu rumah teman.

Mitha kadang sedikit lelah dengan semua yang tak bisa dia anggap sebagai psikologi itu, sebab jika tidak begitu dia mau bagaimana lagi, kondisi mamanya tak memungkinkan dia berkata jujur ​​saat ini.

Kadang-kadang dia berpikir ingin menceritakan pada mamanya tentang dirinya saat ini, seorang perempuan berusia 28 tahun lulusan S2 Bisnis dan Manajemen serta sudah bekerja menjadi seorang karyawan di perusahaan multinasional.

Namun, dokter yang menangani sang mama selalu mencegah dan mengatakan bahwa kondisi mamanya belum stabil bahkan lebih buruk dari satu tahun yang lalu.

Sedih dia mendengar hal itu, tetapi apa yang bisa dia lakukan, selalu terus berpura-pura menjadi anak SMA berseragam putih abu-abu yang sebenarnya sudah begitu ketat.

Lamunannya buyar seketika saat taksi yang dia pesan membunyikan klakson beberapa kali karena Mitha tak menjawab sama sekali saat dipanggil.

"Atas nama Mbak Paramitha ya?" tanya supir itu dari dalam mobil.

"Betul," jawab Mitha dengan lembut.

"Langsung naik Mbak."

Mitha mengindahkan ucapan sang supir, lalu masuk ke mobil itu dengan perlahan. Setelahnya mobil itu berjalan ke tempat yang sesuai dengan titik yang diminta Mitha tadi.

Selama dalam perjalanan Mitha diam saja dan bermain dengan ponsel miliknya.

Sekitar 15 menit mobil taksi dari aplikasi online antar-jemput itu berhenti di sebuah restoran cepat saji yang sudah Mitha dan Tama setujui.

Mitha keluar dan turun dari mobil sesaat setelah ia merapikan dandan sambil membayar biaya taksi tersebut, kemudian ia berjalan santai masuk.

Tama sebelumnya sudah mengatakan bahwa ia akan telat sekitar 30 menit dari janji yang sudah mereka setujui. Mitha kembali mencoba mengerti itu, mungkin pekerjaanya memaksakan dirinya sedikit terlambat, lagi pula hanya 30 menit bukan masalah berarti, keduanya sama-sama sudah dewasa mengerti bagaimana sibuknya pekerjaan masing-masing.

Kini Mitha sudah berada di dalam restoran, duduk di salah satu kursi sambil memainkan ponselnya untuk menghilangkan pikiran jenuhnya sambil menunggu Tama.

Tak sampai 30 menit kemudian, Tama datang membawa setangkai bunga mawar merah yang entah dia petik dari mana, biasanya lelaki itu memang sering mengambil barang-barang yang menurutnya tak bernilai seenaknya.

“Selamat sore, Nona cantik,” ujar Tama sambil memberikan bunga mawar itu pada Mitha.

Mitha mengulas senyum. "Mawar dari mana ini?"

"Kok dari mana, pastinya aku beli dong," kata Tama lagi.

“Enggak percaya, kamu kan hampir kayak orang klepto, ngambil barang orang,” sindir Mitha pada Tama.

"Sembarangan, aku gak maling ya. Aku beneran beli kok, tadi pas di lampu merah ada anak-anak kecil jualan bunga, itu harganya 5000 dapat dua, aku beli satu sama duit sisa parkir," papar Tama yang membuat Mitha semakin mengulas senyumnya dan tertawa kecil.

"Kamu belikan aku mawar pakai uang sisa parkir, 2500 rupiah lagi. Ini pun kayaknya bunga bekas hari valentine kemarin yang berserakan di luar hotel atau penginapan esek-esek," ucap Mitha menaruh bunga itu di atas meja.

“Sudahlah itu, berapapun harganya gak penting, yang penting ketulusan dan keikhlasannya. Bukan begitu, ibu Paramitha?”

"Benar sekali, Ustaz Aditama."

Setelah bercanda yang tak penting itu keduanya memesan makanan dan minuman. Tak sampai 15 menit makanan mereka sampai dan mereka pun menikmati sambil berbicara untuk mencairkan suasana.

Saat bersama Tama, Mitha terkadang bisa tertawa begitu lepas seolah beban pikiran di otaknya hilang dan gugur dengan mudahnya.

Meskipun terkadang Tama memiliki sifat keras kepala dan mudah sekali emosi jika menurutnya dia sedang kesal, tetapi Mitha menormalkan semua itu, biasanya dia juga begitu.

Setelah selesai makan mereka pun memutuskan untuk pulang. Keduanya berjalan bersama keluar dari restoran. Tama mengatakan dia akan mengantarkan Mitha pulang ke rumah sekaligus ingin bertemu dengan mamanya.

Sejak kali pertama mereka berpacaran Tama pun tahu bagaimana kondisi mama Mitha yang saat ini sedang sakit, bukan tubuhnya tetapi pikirannya. Hal itu yang membuat Mitha harus berpura-pura dia anak SMA. Apalagi kini di dalam mobilnya Mitha tengah berganti pakaian dengan seragam putih abu-abu.

"Tante Melda gak dibawa terapi lagi?" tanya Tama, dia memerhatikan Mitha dari cermin di atas setir.

“Sudah beberapa kali, kamu tahu sendirikan Mamah selalu nolak dan mengatakan kalau dia gak sakit,” ujar Mitha. “Aku coba menerapi sendiri dengan pulang tanpa baju seragam, tapi lagi-lagi Mamah bingung dan kambuh lagi sakitnya.”

Nampak jelas Tama mengembuskan napas beratnya beberapa kali.

“Aku sudah janji setahun dari sekarang akan menikahimu, kalau kondisi Mamamu seperti itu terus, bagaimana?” Nada bicara Tama berubah, Mitha mencoba mencari cara untuk menjawabnya. "Tapi mungkin nanti Tante Melda bisa sembuh kok, gak usah dipikirin apa yang aku omongin tadi ya."

Tama pembicaraan pembicaraan dan seolah-olah tak terjadi apapun, meskipun begitu Mitha tahu bahwa Tama hanya ingin menyembunyikannya. Karena memang Tama berniat untuk menikah denganya, namun Mitha masih menolak melihat kondisi mamanya yang masih begitu, untung saja Tama mengerti dan menerimanya.

“Aku tahu, aku juga mengusahakan Mamah cepat sembuh dan menerima semua itu, sepertinya dalam pikiran Mama dia tak mau aku tumbuh dewasa dan memiliki masalah yang begitu berat,” ujar Mitha.

"Iya. Sudah jangan berpikir terus, do'ain aja yang terbaik." Tama mencoba menenangkan Mitha dengan omongannya sendiri, padahal dia tadi yang membuat semuanya menjadi canggung.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!