Bab 08

"Windy ikut juga?" tanya Melda pada Windy pada pagi harinya.

Saat itu Mitha mengatakan bahwa ia akan keluar kota selama beberapa hari, karena ada tour dari sekolahnya, yang sebenarnya itu hanya alasan saja supaya ia pergi bersama dengan Pram.

"Enggak Tante, ini tour khusus untuk OSIS saja, Windy kan gak ikut jadi anggotanya," jawab Windy berbohong, karena ia harus ikut dalam drama antart Mitha dan sang mama.

Kemudian Melda hanya mengangguk-angguk saja mendengar ucapan Windy itu.

"Jadi ini Mitha ke sekolah dulu?" Kini Melda yang bertanya pada Mitha.

"Iya, Mah, bareng sama Windy kok. Nanti kalau Mitha udah mau berangkat tour Mitha kasih tau ya," kata Mitha, sang mama mengangguk.

Kemudian Mitha dan Windy pun berpamitan pada Melda, untuk berlalu pergi dari sana.

Keduanya bersama-sama pergi ke kantor, tetapi sebelum itu Windy harus pulang ke rumahnya untuk mengganti pakaiannya, sebab ia memang tak membawa pakaian kerja.

Saat masih berada di dalam mobil, Mitha mendapatkan sebuah pesan dari Pram.

"Eh Win, kata Pak Pram aku harus suruh langsung ke rumahnya nih," ujar Mitha setelah membaca pesan dari Pram itu.

"Sekarang?" tanya Windy memastikan.

"Iya, katanya berangkatnya dari sana, karena berkas penting ada di rumahnya. Kita ke rumahnya aja yuk."

Windy mengangguk sebagai tanda setuju, lalu kemudian ia membawa mobil miliknya menuju rumah Pram dengan petunjuk dari Mitha, sebab Windy memang tidak tahu di mana rumah Pram berada.

Sembari menuju ke sana Mitha sempatkan untuk menghubungi Tama yang memang sejak tadi malam mereka tak ada percakapan apapun baik pesan ataupun telepon.

Sebab Mitha mengatakan bahwa ia tengah bersama dengan Windy dan akan menghabiskan malam perempuan mereka.

Tama yang mengerti tak akan mengganggu dunia milik Mitha yang tak saat itu tak ada dirinya.

Setelah beberapa saat saling bertukar pesan, Tama pun menghubungi Mitha.

"Jadi berangkat jam berapa?" Begitu Tama langsung memulai percakapan dengan sebuah pertanyaan.

"Kurang tahu, soalnya aku harus ke tempat bosku dulu, habis itu nanti kami berangkat," jawab Mitha.

"Kalian hanya berdua saja?"

"Kan sudah aku bilang tadi, kami memang hanya berdua, tak akan ada masalah kok, kamu tenang aja, ya."

"Bukan begitu, aku kasihan sama bosmu, takutnya kamu ngerepotin." Terdengar Tama tertawa pelan dari tempatnya berada.

"Apaan sih, mana mungkin aku ngerepotin bosku sendiri."

"Mungkin saja. Ya sudah hati-hati nanti di sana, ya. Love you."

Mitha menutup percakapan itu setelah membalas perkataan Tama di akhir kalimat itu.

Percakapan yang jarang sekali terjadi jika keduanya sama-sama sibuk dengan pekerjaan mereka.

"Romantis ya kalian, jadi iri deh," ucap Windy setelah ia mendengar Mitha dan Tama selesai bermesraan.

"Makanya cari pacaran, cepet ajak Mas dokter pacaran deh, tembak aja dia." Mitha memberi saran.

"Mitha, mana mungkin sih. Aku kan perempuan, malu lah kalau memulai duluan." Windy menolak saran dari Mitha yang terkesan aneh.

"Malu? Bukannya kamu pendukung feminisme, bahwa perempuan dan laki-laki itu derajatnya sama. Kenapa jadi malu?"

"Sudah, Paramitha, diam. Aku mendukung feminisme dalam bagian pekerjaan dan sosial, tidak untuk percintaan."

"Oke." Ucapan singkat itu lalu membuat Mitha diam tak melanjutkan perkataannya.

Tak lama kemudian mereka pun sampai, Windy membunyikan klakson, hingga seorang perempuan paruh baya membukakan pintu gerbang.

"Aku langsung pulang ya, Mith," ucap Windy pada Mitha yang bersiap turun.

"Oke, hati-hati, ya."

Setelah mengatakan hal itu Mitha turun, tak lama kemudian Windy membawa mobilnya itu berlalu pergi dari sana. "Iya, Bi. Bapak yang nyuruh saya ke sini," jawab Mitha.

"Mari masuk, Mbak. Bapak sudah menunggu di dalam."

Mitha mengangguk dan mengikuti langkah Bi Parmi untuk masuk ke dalam area rumah milik keluarga Pram yang ternyata begitu besar.

Menurut Mitha rumah itu dua kali lipat dari luar area rumahnya, besar dan mewah, memang rumah milik orang kaya.

Saat Mitha menuju pintu masuk, ia melihat seorang laki-laki yang mungkin seusianya tengah duduk di teras, tak lama Pram muncul dari dalam rumah dan berdiri di ambang pintu.

"Sudah datang kamu, Mith," kata Pram sebagai kalimat sambutan untuk Mitha. Mitha hanya bisa mengangguk. "Saya ambil beberapa barang milik saya dulu, kamu duduk saja di sini."

Setelah mengatakan hal itu Pram kembali masuk, sedangkan Mitha mengindahkan ucapan Pram dan duduk di salah satu kursi yang ada di teras.

Mitha duduk berjarak dua kursi dari laki-laki yang dilihatnya tadi.

Laki-laki itu hanya diam saja tak bersuara, tetapi ia memukul pelan punggung tangannya dengan tangan yang lain.

Sikapnya sedikit aneh, yang membuat Mitha berpikir macam-macam.

Mitha sempat bertanya-tanya sendiri, siapa laki-laki yang ada di depannya itu, apa ia anak dari Pram atau keluarga yang lain? Karena selama ini ia tak pernah tahu bahwa bos-nya itu memiliki seorang anak.

Namun, jika diperhatikan lebih sepertinya ada sedikit guratan kemiripan antara Pram dan laki-laki itu.

Mitha memandangi lekat-lekat, hingga laki-laki itu menghentikan kegiatannya dan menatap Mitha dalam-dalam. Mitha sedikit bingung, tetapi ia sadar bahwa tatapan itu bukan tatapan yang mengancam atau berusaha untuk melakukan pelecehan padanya.

Setelah beberapa lama berpandangan, laki-laki yang tak lain Alden itu kembali menunduk, tetapi ia berucap pada Mitha, "Kakak siapa? Polisi?"

"Hah? Aku?" tanya balik Mitha malah bingung dengan pertanyaan itu, apalagi Alden memanggilnya dengan sebutan kakak.

Alden kembali sibuk dengan tangannya yang kini malah bermain dengan jari-jari dan kukunya.

"Kakak polisi? Tadi kata Papa, Papa mau manggil polisi kalau aku lempar-lempar barang lagi," kata Alden yang membuat Mitha semakin bingung.

Untung saja tak lama kemudian Pram keluar.

"Alden, jangan ganggu Kak Mitha. Kak Mitha ini karyawan Papa di kantor," kata Pram.

"Oh gitu, Alden kira kakak tadi polisi panggilan Papa," ujar Alden.

"Polisinya gak masuk, ngintai dari luar, nunggu Alden nakal lagi baru masuk." Begitu kata Pram.

Mitha bingung dengan percakapan keduanya yang membuat dirinya hanya bisa diam saja.

Setelah itu Pram berbicara dengan Alden dan pertamitan untuk pergi. Pram meminta Alden menjaga diri dan sikap selama Pram pergi ke luar kota untuk beberapa hari.

"Nanti Papa belikan es krim kalau udah pulang," kata Pram lagi.

"Enggak, kata mama es krim bikin pilek."

"Ya sudah nanti dibelikan kacang aja yang banyak."

Alden mengangguk mendengar hal itu. Pram berjalan menjauh dan Mitha pun mengikutinya.

Keduanya masuk ke dalam mobil milik Pram. Tak lama kemudian mobil itu berlalu pergi dari sana meninggalkan area rumah mewah milik Pram.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!