Windy dan Doni berbincang banyak hal, hingga tak terasa mereka sudah menghabiskan waktu lebih dari dua jam di sana.
Dari apa yang mereka bincangkan sepertinya mereka cukup menyambung dalam obrolan itu, meskipun sekali-sekali Windy hanya bisa mengangguk dan tersenyum, karena ada bagian tertentu di mana ia tidak mengerti apa yang dibicarakan Doni.
Sebab Doni Mungkin cukup pintar dengan statusnya sebagai seorang dokter spesialis tulang sementara dirinya hanyalah seorang auditor di sebuah perusahaan.
Namun, bagi Windy hal itu cukup bagus, mengingat ia sendiri sejak dulu menginginkan seorang seorang pasangan yang pintar dan memiliki pengetahuan yang luas karena menurutnya hal itu nanti bisa turun ke anak-anaknya.
"Ada niatan ambil kuliah S3?" tanya Doni kemudian.
"Belum sih untuk sekarang, Mas. Masih sibuk karir dulu aja," jawab Windy atas pertanyaan Doni itu. "Mas sendiri gimana?"
"Mungkin nanti, sekarang fokus dulu jadi dokter di sini, sambil nyari jodoh kalau ketemu." Doni mengatakan hal itu sambil tersenyum pada Windy sementara Windy hanya bisa malu-malu karena entah mengapa rasanya Doni mengutarakan semua itu untuk dirinya.
"Emang Mas nyari jodoh yang kayak gimana?"
"Kayak kamu." Sontak saja jawaban dari Doni itu semakin membuat Windy malu-malu dan tak bisa berkata apapun karena semua yang keluar dari mulut Doni adalah satu hal yang membahagiakan bagi Windy.
"Mas bisa aja, kita baru ketemu dua kali ini lho, masa Mas bisa-bisanya ngomong gitu."
Dengan semua pembicaraan mereka itu tak ada salahnya bukan jika Windy berpikir hal yang sama sebab bagi Windy pertemuan kedua itu belum bisa disebut sebagai hal istimewa karena akan banyak hal yang perlu dipertanyakan dan diperlihatkan nantinya.
"Dua kali bagiku sudah cukup untuk mengenalmu, lagi pula orang tua kita juga sama-sama kenal, aku yakin mereka mengerti sifat kita masing-masing jadi untuk menjodohkan kita itu bukanlah hal yang salah mau ditunggu apa lagi," papar Doni yang seolah meminta persetujuan dari Windy dengan apa yang keluar dari mulutnya.
Sebenarnya Windy mengiyakan dan menyetujui apa yang dikatakan Doni hanya saja entah mengapa ia merasa itu terlalu cepat untuk mereka apalagi mereka belum bertemu dan berkenan lebih dari satu bulan.
Harus ada pertemuan dan perkenalan selanjutnya dari ini, meskipun apa yang dikatakan Doni itu benar karena orang tua mereka tahu sifat masing-masing anaknya namun tak ada salahnya anaknya harus lebih memahami daripada orang tuanya.
"Masih terlalu cepat, Mas ... Aku bukan menolak hanya saja aku ingin Mas mengenal aku lebih dalam lagi begitu juga dengan Mas. Ada banyak sifatku yang seiring jalan nanti mungkin membuat Mas merasa aneh dan keberatan," tukas Windy.
Doni tak menyanggah apa yang dikatakan Windy itu ia paham apa yang dimaksud Windy makanya ia menerima semuanya pergi pulang apa yang dikatakan dengan dia memang benar adanya mereka tidak bisa melangsungkan pernikahan dalam waktu yang cepat meskipun duanya sudah sama-sama siap untuk memulai sebuah rumah tangga.
Setelah perbincangan yang cukup panjang itu akhirnya mereka pun memutuskan untuk pergi dari sana dan pulang karena malam sudah begitu larut Windy juga harus kembali ke rumah karena ia tak tidur di apartemen malam itu.
"Aku antar pulang ke rumah ya sekaligus mau ketemu sama Tante," ucap Doni saat mereka kini sudah berada di dalam mobil sedangkan Windy hanya tersenyum sambil mengangguk sebagai jawaban atas ucapan Doni.
Tak lama kemudian mobil yang Doni bawa baru pergi meninggalkan Kafe itu dan melaju di jalanan menuju rumah dari orang tua Windy.
Di dalam perjalanan tak ada hal-hal yang mereka bicarakan Karena Mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing, Doni yang sibuk menyetir sedangkan Windy sejak tadi bermain ponselnya mungkin sesekali bertegur tetapi selebihnya tidak sama sekali.
Beberapa saat kemudian mereka pun sampai di rumah dari orang tua Windy. Doni Tak Sampai singgah ke rumah hanya bersalaman dengan ibu dari Windy setelah itu Doni pun selalu pergi dari sama untuk pulang ke rumahnya.
"Gimana, udah ngerasa nyaman sama Doni? Baik kan anaknya?" tanya sang mama begitu Windy sudah duduk di sofa kini.
"Doni emang baik banget, obrolan kita juga nyambung cuma kan aku belum merasa apapun selain Dia mungkin aku mengagumi dari segi kepandaian dia dan cara dia memperlakukan seorang perempuan," jawab Windy.
"Nah itu banyak nilai plusnya apalagi yang ditunggu? Apa Doni belum mengatakan apapun sama kamu, misalnya mengajak kamu menikah?"
"Sudah ada dia bilang, katanya pengen nikahin aku cuma aku bilang sama dia, pikir-pikir dululah. Lagian kan kita baru kita bertemu. Bukan aku nggak suka sama dia, siapa sih perempuan yang nggak suka sama laki-laki sehebat Doni, tapi kan mengenal satu yang lain itu juga bagus."
"Apa yang kamu katakan benar, menikah itu seharusnya memang satu kali dalam seumur hidup. Makanya jangan salah memilih pasangan, apalagi seperti Mama sama Papamu dulu."
"Udah lah Ma, nggak usah dipikirin yang lalu biarlah berlalu, sekarang Mama, aku, sama Gio juga sudah memiliki hidup yang lebih layak. Mama sudah perfect dalam banyak hal termasuk menghidupi kami."
Windy tak ingin melihat raut kesedihan itu muncul di wajah sama mama ketika memikirkan apa yang terjadi dengan papanya maka dari itu dia berusaha untuk menerangkan pikiran sang mama.
"Bener juga ngapain Mama pikirkan, lagian juga sudah terlalu lama, Papamu juga memiliki kehidupan sendiri sekarangkan, ya meskipun baru keluar dari penjara tapi kan dia tidak tahu di mana keberadaan kita dan selama pikirannya jalan, pasti dia gak ganggu kita."
"Nah bener banget, ya udah sekarang mending kita tidur, beristirahat dengan nyenyak. Besok aku harus kerja lagi."
Sang mama hanya bisa mengangguk mendengar apa yang dikatakan Windy itu, lalu kemudian mereka pun masuk ke kamar masing-masing.
Windy mengistirahatkan badannya di atas tempat tidur sambil sekali-sekali membayangkan pertemuannya dengan Doni. Meskipun itu adalah pertemuan kedua, tetapi sangat membekas bagi dirinya karena ia menikmati pertemuan dengan laki-laki yang luar biasa.
Mengingat apa yang dikatakan sang Mama seharusnya Ia memiliki trauma dengan seorang laki-laki, karena peran papanya.
Namun, ia tak pernah berpikir hal sejauh itu, sebab bagaimanapun ia juga membutuhkan laki-laki nantinya. Mamanya juga selalu mengatakan bahwa ia harus memilih laki-laki yang baik untuk dirinya jangan seperti papanya yang dulu sering sekali berbuat kasar pada sang mama.
Alasan itulah yang membuat mama dan Papanya akhirnya memutuskan untuk bercerai. Berpisah dari sang Papa ternyata adalah pilihan yang tepat bagi mamanya, karena setelah itu banyak hal yang terjadi pada papanya hingga menyebabkan ia masuk ke dalam penjara dalam waktu yang cukup lama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments