Adrian duduk menunggu di ruang tamu yang ukurannya sama seperti ukuran rumahnya. Melihat pemandangan megah ini, Adrian sekali lagi hanya bisa menghela napas panjang merasa menyesal dan merasa sengsara.
Harusnya uang ini aku pakai saja kemarin!!
Harusnya … aku tak berpikir macam-macam kemarin karena uang dengan nilai hanya seperti uang saku harian bagi pemilik rumah ini!!
Harusnya … jika Ayah tidak berulah dan terlibat dengan wanita penggoda itu, mungkin hidup kami sekarang sudah sama dengan pemilik rumah ini!!
Harusnya …!
Harusnya …!
Benak Adrian terus membuat banyak pengandaian yang membuat hanya semakin merasa sengsara dengan kehidupannya saat ini.
“Selamat siang.” Pemilik rumah dengan wajah yang cukup tampan di usianya yang sekitar 50 tahunan, menyapa Adrian dengan senyum ramah di bibirnya.
“Se-selamat siang, P-Pak.”
“Jangan gugup begitu, Nak.” Pemilik rumah duduk sembari memberikan isyarat pada Adrian untuk duduk juga. “Silakan duduk, Nak.” Pemilik rumah itu melihat meja ruang tamunya yang kosong dan langsung mengangkat tangannya. Tidak butuh waktu lama, seorang wanita berusia sekitar 40 tahunan muncul.
“Ya, Pak.”
“Bisa tolong buatkan minuman untuk tamuku?”
“Ya, Pak.”
“Mau minum apa, Nak??” Pemilik rumah yang masih terlihat gagah itu, bertanya kepada Adrian sembari melirik ke jendela luar rumahnya yang terlihat terik karena sinar matahari. “Minuman dingin sepertinya akan sangat segar.”
Adrian menganggukkan kepalanya merasa sungkan. “Y-ya, Pak. Apa saja yang dingin, saya tidak keberatan.”
“Kopi, jus atau teh?” Kali ini … wanita yang terlihat seperti asisten rumah tangga itu bertanya kepada Adrian dan pemilik rumah.
“K-kopi saja.” Adrian menjawab dengan singkat.
“Tuan ingin apa??” tanya asisten rumah tangga.
“Teh hangat saja seperti biasa.”
“Baik, Pak.”
Setelah asisten rumah tangga itu pergi, pemilik rumah mulai mengenalkan dirinya kepada Adrian. “Perkenalkan namaku adalah Gumilar. Siapa namamu, Nak?”
“A-Adrian, Pak.”
“Ehm … “ Pemilik rumah yang bernama Gumilar itu menganggukkan kepalanya sembari melihat ke arah Adrian. Meski tidak secara langsung, pria itu memandang Adrian dari atas kepala hingga ke kakinya dengan cukup saksama seolah sedang menilai Adrian. “Kata satpam di depan kamu datang karena menemukan uang atas nama putriku??”
“Y-ya, Pak.” Adrian menganggukkan kepalanya sembari mengeluarkan uang yang masih terbungkus amplop coklat sama seperti kemarin. Yang berbeda hanyalah tali merah yang membungkus amplop itu tak lagi terpasang karena Adrian memasukkannya ke dalam amplop bersama dengan uang dan kartu nama Felicia. “Ini, Pak.”
“Tali merahnya, apa kamu yang membukanya??”
“Ya, Pak. Ada di dalam.”
Sekali lagi Gumilar-pemilik rumah menganggukkan kepalanya seperti sedang menilai Adrian. “Ehm … kenapa nggak pake uang itu dan jutsru mengembalikannya? Melihat rumah ini sangat besar, kamu pasti merasa menyesal telah mengembalikan uang ini kan??”
Glup. Adrian menelan ludahnya karena tebakan dari pemilik rumah yang benar-benar tepat dengan situasinya dari kemarin hingga saat ini. Benar, Adrian memang merasa menyesal tak menggunakan uang itu. Tapi … mungkin Adrian akan merasa bersalah karena menggunakan uang itu kemarin.
“I-itu, Pak. Seperti yang Bapak bilang saya memang menyesal tapi rasa penyesalan ini hanya sesaat saja saya rasakan dibandingkan rasa bersalah yang akan saya rasakan ketika menggunakan uang ini.”
“Kenapa begitu, Nak?”
“Perasaan menyesal saya datang karena melihat betapa besarnya rumah Bapak ini. Saya merasa menyesal karena pikiran saya mengatakan uang ini mungkin hanya uang dengan jumlah kecil untuk Bapak. Tapi … “ Adrian menelan ludahnya karena kerongkongannya yang kering. Beruntung asisten rumah tangga datang dan memberikan minuman untuk Adrian.
“Minum dulu, Nak.”
“Ya, Pak.” Cepat-cepat Adrian meminum kopi dinginnya dan membuat kerongkongannya yang sudah sangat kering basah oleh kopi dingin yang menyegarkan. Glup, glup. Segelas besar kopi dingin yang tidak terlalu manis itu langsung habis diteguk oleh Adrian.
“Kamu benar-benar haus, Nak.”
“Ma-maaf, Pak. Kebetulan dua hari ini cuaca di luar benar-benar panas sekali.” Adrian merasa sedikit malu dan sungkan.
“Jangan sungkan, Nak.” Pemilik rumah mengangkat tangannya lagi dan tidak lama kemudian asisten rumah tangga membawa segelas kopi dingin lagi untuk Adrian.
“Te-terima kasih, Pak.”
“Sama-sama, Nak. Jadi kurir bukan pekerjaan yang mudah, Nak.”
“I-itu memang benar, Pak. Tapi bukannya semua pekerjaan memang begitu?? Tak ada yang namanya mudah dalam sebuah pekerjaan.”
Pemilik rumah tersenyum mendengar ucapan Adrian. “Aku suka dengan pikiranmu itu, Nak. Memang tidak ada yang mudah dalam pekerjaan. Bisa tolong lanjutkan ucapanmu tadi, Nak.”
“Ah benar.” Adrian merasa gugup sejenak. Glup, glup. Adrian meminum sedikit kopi dingin barunya sebelum melanjutkan ucapannya yang sempat terhenti tadi. “Perasaan menyesal itu datang karena melihat rumah Bapak yang besar. Tapi seandainya yang saya datangi saat bukan rumah besar melainkan rumah reot, mungkin saya akan merasa sangat bersalah karena telah menggunakan uang ini, Pak.”
Gumilar mengambil amplop yang diberikan Adrian, memeriksa isinya, mengeluarkan tali merah di dalamnya dan meletakkan kembali amplop itu tanpa menghitung uang di dalamnya. “Aku senang dengan kejujuranmu, Nak. Karena itu, tolong berikan tanganmu, Nak.”
Adrian memberikan tangannya dengan wajah heran dan tidak paham. Apa yang mau dilakukannya dengan tanganku?
Set, set. Gumilar mengikatkan tali merah itu dipergelangan tangan Adrian, membuat tali merah itu seperti gelang di tangan Adrian. “Anggap ini sebagai benda keberuntunganmu, Nak. Bersama dengan gelang ini, kamu bisa mengambil uang di dalamnya, Nak.”
“Ba-Bapak memberikannya pada saya??” Adrian bertanya karena tidak percaya.
“Ya.”
“Kenapa, Pak?” Adrian tidak mengerti.
“Aku suka kejujuranmu, Nak. Itu saja.” Gumilar menjawab dengan senyum ramah di bibirnya. “Hanya saja … “
“Y-ya, Pak.”
“Jangan lepas gelang merah di tanganmu itu, Nak. Melihatmu yang memiliki wajah dan kulit yang bersih, jika aku tidak salah menebak pekerjaanmu sebelum ini berada di ruangan kan??” Gumilar bicara dengan nada santainya.
“Y-ya, Pak. Saya jadi kurir belum sampai dua minggu. Kebetulan saya dipecat karena alasan yang tidak bisa saja katakan.” Adrian menjawab dengan menundukkan kepalanya. Ayahnya adalah sesuatu yang tidak ingin Adrian katakan pada orang lain. Dari banyak pengalamannya selama ini, beberapa orang menganggap Adrian adalah anak yang tidak berbakti karena mengabaikan ayahnya yang terlibat hutang tanpa tahu hutang itu didapatkannya dari judi. Jadi … jika bukan teman baik, sebisa mungkin Adrian tidak ingin menceritakan hidupnya.
“Melihat raut wajahmu, aku merasa kamu sudah melewati banyak kemalangan. Karena itu … jangan lepaskan gelang itu dan kelak … kamu akan dapatkan keberuntungan.”
“Te-terima kasih.” Adrian menganggukkan kepalanya sembari melihat gelang merah di tangannya. Apa benar gelang ini akan mampu mengubah hidupku?? Kuharap jika sekali saja hidupku bisa berubah, aku ingin hidupku ini sedikit berubah. Bukan demi aku, tapi demi ibuku.
Setelah berpamitan, Adrian keluar dari rumah megah itu dan melanjutkan pekerjaannya hari ini. Tak seperti sebelumnya, rasa menyesal di dalam hati Adrian kini menghilang dan berubah jadi rasa senang. Aku bertemu dengan orang baik hari ini. Terima kasih padamu, Tuhan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments