Arsyila mengusap air matanya yang menetes begitu saja. Ia teringat ceramah dari Ustadzah saat acara pengajian tadi. Arsyila malu pada dirinya sendiri. Ia tak bisa menjaga mahkotanya yang paling berharga.
Suasana malam tampak hening. Arsyila fokus menatap bulan yang begitu terang dari jendela kamarnya. Sedangkan para santriwati lainnya sudah tidur semua. Entah kenapa Arsyila sama sekali tak mengantuk.
Dari kejauhan, terlihat Gus Ilham yang tak sengaja melihat keberadaan Arsyila. Kebetulan Gus Ilham sedang menemani para santri berpatroli di sekitar pesantren.
''Kalian lanjut duluan!'' pinta Gus Ilham kepada dua orang santri yang sejak tadi bersamanya.
''Baik, Gus,'' jawab mereka lalu lanjut berkeliling.
Gus Ilham mendekati jendela. Ia memberi jarak satu meter agar tak terlalu dekat dengan Arsyila.
''Ekhem ... Sudah malam, kenapa belum tidur?'' tanya Gus Ilham.
''Astaghfirullah'aladzim.'' Arsyila memegangi dadanya karena terkejut. ''Ngapain malam-malam disini, Gus?''
''Saya sedang berpatroli. Kamu tidurlah! Tidak baik anak gadis jam segini belum tidur. Apalagi nanti jam tiga harus sudah bangun loh,'' ujarnya mengingatkan.
'Anak gadis? Tapi sayang, aku bukan gadis lagi,' gumam Arsyila dalam hati.
''Kenapa melamun? Bahaya loh ini malam-malam,'' tegurnya.
''Maaf, Gus. Iya saya akan langsung tidur. Saya tutup dulu jendelanya. Assalamu'allaikum.'' Lalu Arsyila menutup jendela kamar dan menarik horden.
''Waalaikum'sallam,'' jawab Gus Ilham tetapi tak terdengar oleh Arsyila.
Arsyila langsung merebahkan diri di kasurnya. Suara Gus Ilham masih terngiang di pikirannya. Ia merasa Gus Ilham perhatian kepadanya. Walaupun sedikit menyebalkan.
Arsyila menggelang-gelengkan kepalanya. 'Kenapa aku memikirkannya? Bodoh bodoh bodoh. Jangan berpikiran yang tidak-tidak, mungkin Gus Ilham memang perhatian ke semua orang,' batin Arsyila.
Tak lama kemudian Arsyila terlelap juga. Entah apa yang ia mimpikan, tetapi terlihat jelas ia tersenyum saat tertidur. Mungkin ia memimpikan sesuau yang indah.
...
...
Pak Wira sedang duduk melamun sendirian memikirkan Arsyila. Ia baru mendapat kabar jika Arsyila tidak datang ke Semarang. Walaupun Arsyila sudah berbuat hal yang memalukan keluarga, tetapi Pak Wira tetap cemas kepada anak kandungnya itu.
''Pah, kenapa sejak tadi diam saja? Tuh kopinya masih utuh.'' Bu Fitri menepuk bahu suaminya, lalu duduk di sebelahnya.
''Papah kepikiran Arsyila, Mah. Papah takut dia kenapa-napa di luar saja,'' ucap Pak Wira.
''Sudahlah, Pah. Tidak usah memikirkan anak itu lagi. Dia sudah dewasa, jadi pasti bisa mengurus dirinya sendiri.''
''Tapi tetap saja papah khawatir, Mah. Apa mamah tak sedikit pun mengkhawatirkannya?'' Pak Wira menatap wajah istrinya yang terlihat tenang tampak biasa saja.
''Mamah biasa saja, Pah. Lagian antara Arsyila dan Rizka, mamah sama-sama memberikan kebebasan kepada mereka berdua,'' ucap Bu Fitri.
''Mah, jangan terlalu membebaskan anak-anak! Pantas saja Arsyila sampai melakukan hal itu, pasti karena mamah yang tak bisa mengurus anak-anak kita.''
''Papah jangan salahkan mamah dong! Mungkin Arsyila memang dari sananya kelakuannya seperti itu. lihatlah Riska, dia baik-baik aja tuh nggak bertingkah macam-macam,'' ucap Bu Fitri yang tak terima dengan tuduhan suaminya.
Pak Wira menghela napsnya. Selalu kalah jika berbicara dengan istrinya. Disaat perdebatan antara keduanya, terlihat Riska yang baru pulang sekolah.
''Riska, kenapa jalanmu seperti itu?'' tanya Bu Fitri kepada anaknya yang masih duduk di bangku SMA.
''Tadi Riska jatuh di toilet sekolah, Mah. Riska juga tidak sanggup bawa motor, jadi ditinggal di sekolah,'' jawabnya.
Bu Fitri percaya begitu saja dengan ucapan anaknya. Sedangkan Pak Wira, sama sekali tak berkomentar apa pun terhadap anak tirinya. Ia masih saja memikirkan Arsyila.
.
...
Arsyila yang sedang fokus membaca, dihampiri oleh Fatimah sahabatnya. ''Cila, ayo antar aku ke pasar beli jilbab!'' ajak Fatimah.
Arsyila menutup buku yang sedang ia pegang lalu meletakkannya ke atas kasur, tempat ia duduk saat ini. ''Pasarnya jauh tidak?''
''Tidak kok, hanya tiga puluh menit perjalanan jika pakai becak,'' ucap Fatimah.
''Boleh kalau gitu, sekalian nanti aku juga mau beli jajanan pasar.'' Arsyila menyetujui ajakan Fatimah.
Mereka berdua bersiap untuk pergi. Sepanjang jalan menuju keluar pesantren, Fatimah selalu mengoceh. Tiba-tiba langkah mereka terhenti saat ada yang memanggilnya dari arah belakang.
''Hey kalian berdua, mau kemana kalian?'' tanya Ustadzah Hana yang melihat dua santriwati itu hendak keluar gerbang.
''Kami mau ke pasar sebentar, ustadzah.'' Fatimah memperlihatkan deretan gigi putihnya.
''Jangan lama-lama! Sebelum dzuhur harus sudah kembali,'' ucapnya mengingatkan.
''Baik, Ustadzah,'' jawab mereka bersamaan.
Fatimah dan Arsyila menaiki becak menuju ke pasar. Tentu ini pengalaman pertama bagi Asyila. Selama di kota ia tak pernah sekali pun naik becak. Setelah sekarang mencobanya ternyata tak seburuk yang ia bayangkan. Malah dengan meniki becak ia bisa melihat langsung pemandangan di jalanan.
Baru setengah perjalanan, tiba-tiba ada segerombol preman yang menghadang mereka. Arsyila dan Fatimah tampak ketakutan. Preman itu mencoba memalak mereka.
''Berikan uang kalian! Tapi kalau nggak punya uang, sepertinya tubuh kalian juga boleh,'' ucap ketua preman sambil memandangi Fatimah dan Arsyila secraa bergantian.
''Jangan macam-macam!'' Arsyila terlihat ketakutan.
''Cila, kita kabur saja yuk!'' Fatimah berbisik di telinga Arsyila.
''Tidak segampang itu, Fa. Apalagi mereka itu laki-laki pasti mereka bisa mengejar kita dengan cepat.'' Arsyila ikut berbisik.
''Hey kalian, nggak usah pakai berunding segala! Cepat serahkan uang kalian!'' ketua preman semakin mendekati mereka, karena mereka tak juga memberikan uang, jadi kepala preman langsung menarik mereka sehingga turun dari atas becak.
Tukang becak yang mengantar mereka memilih kabur karena tak mau berurusan dengan preman yang memang selalu meresahkan masyarakat sekitar. Arsyila dan Fatimah semakin ketakutan. Mereka mencoba melepaskan cekalan tangannya dari ketua preman.
''Lepaskan mereka!'' terlihat Adam menghampiri mereka. Kebetulan Adam baru saja pulang jalan santai. Tak sengaja ia melihat santriwati yang sedang di hadang oleh preman.
''Eh ada pahlawan kesiangan rupanya,'' ucap ketua preman lalu memberikan kode kepada anak buahnya untuk menghajar Adam.
Dengan kemampuan ilmu bela dirinya, Adam mampu mengalahkan mereka semua. Bahkan ketua preman dibuat melongo karena melihat aksi Adam. Sedangkan Fatimah bersorak senang kagum dengan sosok Adam. Ketua preman kabur duluan karena takut kena pukul, sedangkan anak buahnya masih tergeletak di atas jalan. Mereka mencoba pergi dengan langkah kaki yang sedikit pincang.
''Kalian tidak apa-apa?'' Adam mendekati mereka berdua.
''Kami tidak apa-apa. Terima kasih, Kak Adam. Ternyata selain tampan, kakak juga pintar bela diri, ih jadi makin kagum deh.'' Fatimah tampak terang-terangan mengungkapkan kekagumannya di depan Adam.
''Itu hanya hal kecil. Ngomong-ngomong kalian mau kemana? Mau saya antar!'' tawarnya.
Sebenarnya Adam bersikap baik seperti itu hanya ingin mendapatkan simpati dari Arsyila.Ia tak mau kalah dari Gus Ilham yang selalu disebut lelaki sempurna oleh orang-orang.
''Tidak usah! Kebetulan kami mau ke pasar,'' tolak Arsyila.
''Boleh boleh, Kak Adam boleh kok ikut sama kita.'' Fatimah tampak kecentilan dihadapan Adam.
''Kamu apa-apaan sih, malu-maluin saja,'' bisik Arsyila di telinga sahabatnya.
''Sesekali boleh dong diantar cowok tampan,'' ucap Fatimah.
Akhirnya Adam mengantar mereka ke pasar. Mereka menaiki becak yang berbeda. Adam yakin dengan dia mengantar, pasti Arsyila menjadi kagum kepadanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
YA&NO
𝐻𝑚.𝑎𝑞 𝑏𝑎𝑟𝑢 𝑝𝑎ℎ𝑎𝑚 ceritanya😊
2023-10-26
0