Episode.16

Beberapa hari kemudian.

Arsyila yang baru bangun tidur merasa tubuhnya terasa hangat. Sepertinya ia demam. Baru juga akan turun dari tempat tidur, Arsyila hampir saja jatuh.

"Astagfirullah'aladzim. Kamu kenapa, Cil?" Fatimah membantu memegang tubuh Arsyila agar tidak jatuh.

"Aku hanya sedikit demam, Fa. Nanti juga kalau sudah minum obat pasti sembuh," ucap Arsyila.

"Ya udah kamu tidak usah ikut subuhan di masjid, tidak usah ngaji, tidak usah kuliah. Nanti biar aku yang meminta izin," ucap Fatimah.

"Iya, Fa. Tapi ini aku mau ke kamar mandi, mau wudhu. Kamu temani ya," pintanya.

"Baiklah. Ayo aku bantu." Fatimah membantu memapah Arsyila sampai ke kamar mandi.

Setelah selesai Shalat subuh di kamar, kini Arsyila kembali berbaring. Kepalanya masih saja terasa pusing seolah sedang berputar-putar.

Setelah selesai mengaji, Fatimah kembali ke kamar dengan membawa sarapan untuk Arsyila dan juga obat penurun panas. Walaupun tingkahnya terkadang menyebalkan, tetapi Fatimah adalah sahabat yang peduli kepada sesama.

"Cil, nih makan dulu!" Fatimah menaruh tempat makan yang ia bawa di atas karpet.

"Makasih ya, Fa. Kamu sudah repot-repot mengambilkan aku makan." Arsyila beranjak dari atas ranjang, lalu ikut duduk di atas karpet bersama Fatimah.

"Yuk kita makan bareng," ajaknya.

Fatimah sengaja membawa jatah makannya ke kamar karena ia ingin menemani Arsyila biar tidak makan sendirian. Sedangkan santri lain makan di aula depan dapur.

Setelah makan Arsyila langsung meminum obat yang tadi dikasih oleh Fatimah. Sedangkan Fatimah bersiap untuk berangkat kuliah.

"Cil, kamu tidak apa-apa kan aku tinggal?"

"Tidak apa-apa, Fa. Terima kasih ya kamu sudah memperhatikanku."

"Kita ini sahabat, sudah seharusnya memang saling membantu. Aku pergi dulu ya. Assalamu'alaikum."

"Waalaikum'salam," ucap Arsyila.

Setelah kepergian sahabatnya, Arsyila hanya duduk bersantai sambil membaca buku. Walaupun kepalanya masih terasa pusing, ia tak mau lagi berbaring. Setidaknya sampai menjelang siang nanti. Apalagi ia baru selesai makan, tak baik jika langsung berbaring.

...

...

"Cil, kamu tahu nggak kalau ada santri yang kehilangan uang," ucap Fatimah.

"Kok bisa? Memangnya siapa yang kehilangan?" tanya Arsyila.

Baru juga Fatimah akan menjawab, tak jadi saat mendengar ribut-ribut dari luar kamar. Beberapa teman satu kamar Arsyila mengecek ribut-ribut itu. Ternyata ada beberapa santri putri yang berdiri di depan pintu.

"Dimana Arsyila?" tanya Dinda dengan nada suara tak ramah.

"Kenapa cari aku?" Arsyila muncul di balik kerumunan itu. Kini ia berhadapan langsung dengan Dinda.

"Kamu maling kan? Ngaku saja deh. Kemarin kamu di asrama sendirian, pasti kamu berkeliaran di kamar sebelah," ujar Dinda menuduh.

"Aku tidak mencuri." Arsyila membela diri karena memang ia tak tahu apa-apa.

"Ngaku saja deh." Dinda terus menekan Arsyila.

"Benar tuh," sahut santri yang lain.

Dari semua santri, hanya beberapa yang ada di pihak Arsyila. Semuanya ikut menyalahkan Arsyila atas hasutan Dinda. Arsyila berlari dari kerumunan itu sambil menutupi telinganya. Ia tak tahan mendengar hujatan, hinaan yang di lontarkan Dinda.

Fatimah mengejar Arsyila. Ia berniat menenangkannya. Sedangkan Salma memanggil Ustadzah Hilya untuk meminta mengusut kasus kehilangan di kamar sebelah. Salma yakin jika yang mencuri bukanlah Arsyila.

Arsyila mengusap air matanya yang membasahi pipi. Ujian silih berganti ia hadapi. Sebisa mungkin ia berusaha tegar untuk menjalaninya.

"Cil, kamu yang sabar ya." Fatimah mengusap punggung Arsyila dengan pelan. "Nanti aku akan cari tahu siapa pelaku sebenarnya."

"Terima kasih karena masih percaya sama aku, Fa. Padahal kamu juga belum mengetahui kebenarannya."

"Aku yakin pasti ada yang sengaja memfitnah kamu, karena kemarin kamu di asrama sendirian," ujar Fatimah menduga.

"Jangan berburuk sangka dulu, Fa. Bisa jadi ini hanya kesalahpahaman saja." Arsyila mencoba berpikir positif. Ia tak ingin menyalahkan siapa pun atas tuduhan itu.

"Kamu sangatlah berhati mulia. Jika aku yang berada di posisimu belum tentu aku akan kuat menjalaninya," ucap Fatimah.

"Aku belajar dari semua masalah yang selama ini menimpaku. Aku yakin setiap masalah pasti ada jalan untuk menyelesaikannya. Jadi, aku akan menunggu saat itu."

"Kita hadapi sama-sama masalah ini. Jangan menangis lagi!" Fatimah mengusap pipi Arsyila yang basah.

"Tidak kok. Ayo kita kembali! Jika menghindar, yang ada mereka malah pada mengira jika akulah pencurinya."

Arsyila dan Fatimah sudah kembali ke kamar. Namun, ada yang aneh disana. Lemari tempat ia menyimpan pakaian tampak terbuka. Disana juga ada Ustadzah Hilya yang sedang duduk dengan Dinda di pinggir ranjangnya.

"Nah itu orangnya datang," ucap Dinda menunjuk Arsyila yang masih berdiri di depan pintu.

"Kenapa lemari Arsyila terbuka?" tanya Fatimah sambil menatap salah satu teman kamarnya. Namun, temannya itu menggelengkan kepala seolah enggan menjawab.

"Tadi saya habis menggeledahnya, dan saya menemukan dua dompet," ucap Ustadzah Hilya sambil memperlihatkan dua dompet di genggaman tangannya.

Arsyila mendekati Ustadzah Hilya. Ia mengambil satu dompet yang memang miliknya. Sedangkan dompet yang satunya lagi ia tak mengenalnya.

"Ini milikku, tapi yang itu aku tidak tahu milik siapa. Kenapa bisa ada di lemariku?" Arsyila terlihat bingung.

"Ini milik Ratna, santri yang kehilangan uang beserta dompetnya. Kamu mengaku saja deh kalau kamu yang mencuri," tuduh Dinda.

"Aku tidak mengambilnya. Bagaimana dompet itu ada ...," ucap Arsyila tetapi Ustadzah Hilya memotong perkataannya.

"Ini sudah ada buktinya. Kamu tidak bisa mengelak lagi! Sekarang ikut saya! Kamu harus di hukum, “ucap Ustadzah Hilya dengan tegas.

"Saya tidak setuju jika Cila di hukum. Ini tidak adil untuknya apalagi dia tidak bersalah. Harusnya Ustadzah selidiki dulu kebenarannya. Bisa saja ada yang sengaja menuduh dan menjebak Cila karena tidak suka dengannya," ujar Fatimah memberikan pendapat.

"Kamu jangan bela teman kamu atau kamu ikut kena hukum," ancam Ustadzah Hilya.

Arsyila menggenggam satu tangan Fatimah. "Sudah, Fa. Biarkan saja aku di hukum. Aku tidak apa-apa kok. Mungkin ini memang ujian yang harus aku jalani."

"Tapi ...." Fatimah tak melanjutkan perkataannya saat melihat Ustadzah Hilya menarik tangan Arsyila lalu pergi dari sana.

Beberapa santri putri mengikuti mereka. Sepanjang jalan Arsyila hanya menunduk. Entah hukuman apa yang akan diberikan kepadanya padahal ia tak bersalah. Namun, percuma saja jika ia membela dirinya. Mana mungkin ada yang percaya. Semua orang sudah menuduhnya.

Sesampainya di ruang pengurus pesantren, Arsyila di minta duduk disana. Sedangkan Ustadzah Hilya meminta rekannya untuk berkumpul. Arsyila memang harus diberikan sanksi.

"Maaf jika saya mengganggu waktu kalian. Jadi begini, Arsyila ketahuan mencuri uang salah satu santri putri. Saya menemukan dompet santri itu di lemari pakaian Arsyila," tutur Ustadzah Hilya.

"Apa Ustadzah Hilya sudah yakin jika Arsyila adalah pelakunya?" tanya salah satu Ustad.

"Saya yakin, karena saya mendapatkan buktinya sendiri," jawabnya.

"Nak Arsyila, apa kamu mau mengakui kesalahanmu?" sahut Abah Ahmad

"Saya terima jika memang harus di hukum, walaupun tuduhan itu belum tentu benar," ucap Arsyila.

Diantara para Ustad, hanya Gus Ilham yang masih percaya jika Arsyila tidak bersalah. Terlihat dari sorot kesedihan di matanya. Jika memang ia bersalah sudah pasti terlihat ketakutan, tetapi Arsyila tak terlihat ketakutan. Begitu juga dengan pandangan Ustadzah Yasmin yang beranggapan sama.

"Tunggu! Apa tidak sebaiknya kita selidiki lagi kejadian sebenarnya," ujar Gus Ilham memberikan saran.

"Gus Ilham bicara seperti itu karena pernah menjalin hubungan dengan Arsyila kan? Makannya Gus Ilham begitu mempercayainya?"

"Astaghfirullah'aladzim. Hilya, kamu tidak boleh berbicara seperti itu, Nak," tegur Abah Ahmad kepada anak angkatnya itu.

"Maaf, Abah." Ustadzah Hilya langsung menundukkan pandangannya.

"Maaf sebelumnya, saya menerima hukumannya. Walaupun saya tidak bersalah tetapi jika saya lolos dari hukuman maka para santri putri pasti akan protes," ucap Arsyila.

Abah Ahmad menatap sekilas Arsyila penuh kagum. Pantas saja Gus Ilham menaruh hati kepadanya, karena terlihat jelas jika Arsyila itu

wanita yang tulus dan suka mengikhlaskan.

"Baiklah jika begitu, Nak Arsyila di hukum menyapu halaman depan asrama putri saja," ucap Abah Ahmad.

Hilya ingin protes karena baginya hukuman itu kurang. Namun, ia tak mau jika nantinya semua orang memandangnya jelek. Jadi, ia setuju saja dengan usul dari Abah Ahmad.

"Baik, Abah," ucap Arsyila.

Arsyila berpamitan lalu bergegas pergi. Ia akan mengambil sapu lidi dan langsung menjalani hukumannya. Ia ikhlas menjalani semuanya, walaupun ia memang tak bersalah.

...

...

Terpopuler

Comments

Miftahul Jannah Maulida

Miftahul Jannah Maulida

semoga kebenaran tentang Arsyila terungkap

2023-11-03

0

Dek Raraaa

Dek Raraaa

huaaaa🥺🥺
kasiann beudd cilla . d tgl nikah ,di fitnah . bsok d apain lagi kak authorr . 😫😫
mengandung bawangg 🤧

2023-11-02

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!