Arsyila sudah mendapatkan pekerjaan sampingan yaitu menjadi tukang cuci piring di pesantren. Mungkin itu pekerjaan yang cukup melelahkan. Namun, ia tak punya pilihan lain karena saat ini sangat membutuhkan pekerjaan. Jam kerja Arsyila menyesuaikan kegiatan di pesantren, berhubung ia juga seorang santri. Apalagi saat malam, ia mencuci piring setelah selesai mengaji.
Arsyila di perbolehkan makan dan tinggal gratis karena ia termasuk pekerja di pesantren. Sekarang ia tinggal memikirkan bagaimana cara membiayai kuliah. Jika bergantung dengan uang tabungannya, lama kelamaan juga akan habis. Mungkin Arsyila akan mengikuti seleksi beasiswa.
Pukul sembilan malam semua santri baru selesai mengaji. Arsyila menitipkan alat tulis miliknya beserta mukena yang tadi ia pakai kepada Fatimah, sedangkan dirinya akan langsung pergi ke dapur. Disana pekerjaannya sudah menanti.
"Assalamu'allaikum," ucap Arsyila saat memasuki dapur.
"Waalaikum'sallam,''jawab kepala pekerja dapur yang saat ini sedang menyapu. "Mbak Cila baru selesai mengaji?"
"Iya nih, Bu. Em nanti lampu depan jangan dimatikan dulu ya, biar Cila saja yang mematikannya setelah selesai bekerja," ucap Arsyila.
"Baik, Mba Cila."
Arsyila bergerak cepat agar pekerjaannya cepat selesai. Ia hanya bekerja sendirian menggantikan Ambar yang baru saja keluar dari pekerjaan itu. Sebenarnya bukan hanya mencuci piring dan alat-alat dapur saja, Arsyila juga menggosok baju para santriwati lalu dapat upah. Hanya santriwati dari kota yang memakai jasanya, karena mereka memang tidak mau ribet menyetrika sendiri. Apalagi jadwal kuliah yang padat serta harus mengaji juga membuat mereka terkadang malas untuk melakukan apa pun lagi.
Gus Ilham memasuki dapur dengan membawa galon di bahunya. Tak sengaja ia melihat seseorang yang sedang mencuci piring sendirian. Namun, posisinya membelakanginya sehingga ia tak melihat wajahnya.
'Siapa dia? Apakah Mbak Ambar? Tapi, sejak kapan Mbak Ambar berubah ramping?' batin Gus Ilham.
Gus Ilham menggelengkan kepalanya. Ia berlalu pergi dari sana. Lagian tidak biasanya ia penasaran dengan hal yang tak penting.
Setelah lebih dari tiga puluh menit, akhirnya Arsyila selesai mengerjakan pekerjaannya. Ia hanya mencuci piring kotor bekas makan para pekerja dan juga pengurus pesantren. Dan juga alat-alat dapur yang kotor. Tak lupa ia mengelapnya dan menatanya.
....
Di sebuah ruangan, yaitu ruangan Gus Ilham sedang ada tamu. Mereka adalah sepasang suami istri yang tak lain paman dari Gus Ilham. Kedatangan mereka tentunya karena ingin menengok anak mereka yang baru tinggal beberapa hari di pesantren.
"Mana nih anak lama sekali?" keluh Pak Haris sambil menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Sabar, Pah. Segitunya papah kangen sama anak nakal itu," ucap Bu Ratih.
Sosok yang mereka tunggu-tunggu akhirnya muncul juga. Ia adalah Adam Al-kahfi, putra semata wayang mereka yang susah diatur.
"Adam, kalau masuk itu ucap salam," tegur Bu Ratih.
"Assalamu'allaikum," ucapnya tanpa semangat.
"Waalaikum'sallam," jawb mereka bersamaan.
"Ngapain mamah sama papah datang kesini? Apa kalian mau jemput Adam pulang? Bukankah kalian sudah mengusir Adam agar tinggal disini?" Adam menanyakan berbagai pertanyaan kepada orang tuanya.
"Kami mau pergi satu tahun ke luar negeri. Kami menitipkanmu sama Ilham. Awas saja kalau kamu berani coba kabur dari sini, itu tidak akan pernah bisa. Selama satu tahun kamu disini saja tidak usah pulang karena dirumah pasti nggak ada orang," ancam Bu Ratih.
"Ngapain pakai pamit segala? Kalau mau pergi ya pergi saja, nggak usah pamit segala," ucap Adam.
"Adam, kalau bicara sama orang tua itu pakai sopan santun," tegur Bu Ratih yang sudah jengah dengan sikap putranya.
"Dengarkan apa kata mamahmu, Dam. Kami pergi karena harus mengurus perusahaan yang disana," sahut Pak Haris.
Bu Ratih menatap Ilham yang duduk di hadapannya. "Nak Ilham, Tante minta tolong bersabar menghadapi Adam ya. Bimbing dia biar bisa sepertimu."
"Insya'allah, Bi. Bibi sama Paman tenang saja, sebisa mungkin Ilham akan berusaha membimbing Adam."
"Kami senang mendengarnya, Nak. Semoga saja Adam secepatnya bisa menjadi lelaki yang lebih baik lagi. Kami sudah lelah dengan kelakuannya," ujar Bu Ratih penuh harap.
Alasan Bu Ratih memasukkan anaknya ke pesantren sekaligus pindah kuliah, karena Adam yang memang susah diatur. Apalagi hobinya gonta-ganti pasangan. Bu Ratih tak ingin anaknya terjerumus lebih dalam lagi, maka dari itu mengirimnya untuk kuliah di tempat Ilham mengajar.
Adam keluar dari ruangan itu bersamaan dengan orang tuanya yang pamit pulang. Adam berjalan-jalan keliling pesantren sambil mengumpat dalam hatinya. Jujur ia masih kesal kepada orang tuanya. Beberapa santriwati yang berpapasan dengan Adam terlihat menunduk. Mereka tak berani menatap Adam. Walaupun Adam sangat tampan dan menjadi idola baru di kampus, tetapi di pesantren tak ada yang meliriknya. Bukan mereka tak tertarik, tetapi mereka hanya menjaga pandangan.
"Aneh sekali para gadis disini so suci. Berpapasan denganku saja menunduk," gumam Adam.
Adam menghadang dua santriwati yang lewat. Namun mereka menunduk, tak berani menatap wajah Adam. Adam semakin melangkah maju sehingga mereka berjalan mundur.
"Hei kamu jangan macam-macam!" terlihat Arsyila melangkah mendekati mereka.
Kedua santriwati itu langsung pergi, meninggalkan Arsyila bersama Adam. Arsyila menghela napasnya, ternyata lelaki yang berani menggoda santriwati adalah Adam. Pantas saja mereka terlihat takut dengan lelaki pemangsa yang satu ini. Ya, Arsyila mengecap Adam sebagai lelaki pemangsa wanita.
"Hm ada pahlawan kesiangan nih. Em mata kamu sangat indah nona." Adam memandangi mata indah milik Arsyila. Sepintas bayangan malam itu kembali ia ingat. Adam tahu jika wanita yang menghabiskan malam bersamanya juga memiliki mata berwarna biru. Jika saja Arsyila tidak memakai cadar, mungkin Adam langsung tahu jika itu dirinya.
"Jaga pandanganmu!"
“Kamu semakin membuatku penasaran, Nona. Apalagi suaramu seperti tak asing." Adam berniat membuka cadar Arsyila, tetapi Arsyila menepis tangannya.
"Wah galak juga ternyata." Adam menarik tangan Arsyila dan langsung memeluknya.
Arsyila berusaha memberontak karena baginya Adam sudah melakukan pelecehan. Apalagi jika ada yang melihat bisa salah paham terhadap keduanya. Arsyila menginjak kaki Adam dengan keras sehingga pelukan itu pun terlepas. Arsyila tak menyia-menyiakan kesempatan itu. Ia langsung saja lari dari sana, meninggalkan Adam yang sedang mengumpat.
Dari kejauhan Gus Ilham melihat Adam berpelukan dengan wanita yang belakangan ini memenuhi pikirannya. Gus Ilham memang jatuh hati kepada Arsyila sejak pertama kali melihatnya. Kecantikan dan kecerdasannya memang menjadi daya tariknya. Apalagi Gus Ilham pernah melihat foto Arsyila tanpa hijab.
Gus Ilham melangkah mendekati Adam. "Adam, jaga kelakuan kamu! Jangan memeluk sembarangan santriwati disini, apalagi itu Arsyila!" tegur Gus Ilham.
"Arsyila? Jadi wanita tadi namanya Arsyila? Sepertinya kakak menyukainya. Bisa nih kita bersaing untuk mendapatkannya." Adam tersenyum menyeringai. Mungkin sekarang saatnya ia mematahkan hati Gus Ilham. Selama ini keluarganya selalu membanggakan Gus Ilham. Apalagi orang tuanya yang selalu membandingkan antara keduanya.
"Jangan macam-macam kamu!" ancamnya.
Adam semakin senang melihat kecemburuan Gus Ilham. Mulai sekarang ia akan mencari cara agar bisa dekat dengan wanita yang bernama Arsyila itu. Jika ia mampu memiliki Arysila, maka ia yang akan memenangkannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Dek Raraaa
syemangattt kakak ❤️
2023-10-12
1