Mobil yang Arkan kendarai melaju tanpa hambatan, waktu masih cukup pagi hingga jalanan pun masih tampak lenggang.
"Tuan, turunkan saja aku di di depan mini market semalam," ujar Rania.
"Kenapa, bukannya kamu mau ke rumahku?" Tanya Arkan sedikit heran.
"Iya justru karena itu, masa saya berangkat bareng Tuan, gak mungkin." Rania tertawa pelan.
"Kenapa, gak mungkin?" Tatapan mata Arkan menuntut jawab.
"Ya karena...gak mungkin aku dan Tuan berangkat bareng, secara kita ini Tuan dan pelayan loh," Rania berusaha menjelaskan dengan caranya, walau Arkan masih tampak bingung.
"Ya, terus?" Dia masih tampak bingung.
Rania merasa gemas karena Arkan tak kunjung mengerti arti kata-katanya barusan, "orang akan mudah salah faham kalau melihat kita bersama-sama," jelasnya.
Arkan tergelak, "haha, kau sangat lucu. Aku dan kamu? Astaga," dia masih belum bisa menghentikan tawanya.
"Apa menurutmu itu lucu?" Rania melempar tatapan datar.
Tawa Arkan terhenti perlahan, "maaf, aku hanya tidak tahu harus berkata apa. Aku sudah bercerita banyak tentang diriku, jadi secara garis besar kau pasti sudah tahu, dalam hidup ini rasanya aku tidak akan lagi jatuh cinta pada siapa pun, cintaku sudah habis untuk istriku."
Nyut... Hati Rania amat sakit, andai dia percaya pada Arkan sebelumnya dan tak termakan hasutan Gwen, mungkin semua ini takkan terjadi. Awalnya, dia juga tak bermaksud untuk bunuh diri, dia hanya ingin mengancam Arkan, namun tiba-tiba ada truk yang seolah sengaja melaju kearahnya, bahkan jika di pikirkan, saat itu Allea masih berdiri di pinggir jalan dan tak menghalangi pergerakan truk tersebut. Tapi anehnya, Truk itu bisa menabraknya dan tak menghindar sama sekali.
"Maafkan aku juga, aku tak bermaksud berpikir macam-macam, hanya saja aku tak ingin mendapatkan masalah di rumah Tuan, dan begitu pun sebaliknya untuk Tuan." Jelas Rania.
"Itu bagus, aku suka sifatmu itu. Kebanyakan wanita ingin mendekatiku, tapi kamu tidak. Atau jangan-jangan kamu--?"
"Jangan-jangan apa? Aku ini normal oke," ralat Rania kesal.
"Haha, iya iya, aku hanya bercanda." Mobil Arkan terhenti di depan mini market semalam sesuai keinginan Rania.
"Kamu yakin ingin turun disini?" Arkan memastikan.
"Saya yakin."
"Baiklah, aku tunggu di rumah." Rania yang sebelumnya hendak keluar, menghentikan niatnya sejenak. Dia menoleh pada Arkan yang juga sama-sama melihat kearahnya.
'Jika aku katakan, kalau aku Allea, apa kamu akan percaya?' batinnya bergumam.
"Apa yang kau tunggu?" Teguran Arkan membuat lamunan Rania seketika buyar, dia lekas memalingkan wajah dan membuka pintu mobil.
"Terimakasih untuk semalam." Ujar Arkan saat Rania sudah turun dari mobil.
Rania hanya menganggukkan kepala sebagai Jawaban.
Rania meminta izin terlebih dahulu untuk mengambil sepedanya dari mini market tersebut, setelah itu ia pun berlalu. Sebelum berangkat kerja dia ingin pulang terlebih dahulu untuk berganti pakaian.
Di ujung pandangan, dia melihat orang-orang berkumpul di tepi jalan, ada kisaran 4 hingga lima orang, yang nampak tengah mengerumuni sesuatu atau justru seseorang, hati Rania bertanya-tanya, namun dia memilih untuk mengabaikannya tak ingin turut campur dengan urusan orang lain.
"Lihat dia, kenapa dia tidur di pinggir jalan? Apa dia orang gila? Apa sebaiknya kita laporkan pada pengurus setempat?" Ujar salah seorang wanita, Rania yang hendak berlalu merasa penasaran kemudian menghentikan laju sepedanya, lantas bertanya.
"Permisi, ini ada apa ya?"
"Itu, ada pemuda yang tidur di pinggir jalan. Kami sudah berusaha membangunkannya, tapi dia tidak bergeming, tatapannya terlihat kosong, bahkan dia tidak menjawab saat kami bertanya. Dan lagi di wajahnya ada luka lebam." Rania mengerutkan keningnya, dia lantas turun untuk melihat siapa kiranya orang tersebut.
Rania berjinjit untuk melihat orang itu, matanya membulat sempurna saat dia melihat ternyata itu, Ran.
"Kakak!" Pekiknya, membuat orang di sekitarnya sontak menoleh. Rania berlari menerobos barisan orang-orang tersebut dan berjongkok di samping Ran.
"Astaga, ada apa dengan Kakak?"
Secara tiba-tiba Ran terbangun dan mendudukkan dirinya saat mendengar sang Adik hadir disisinya, seolah kekuatannya pulih dalam sekejap.
"Adik, kamu darimana saja? Kakak sangat cemas?" Ran membawa Rania dalam dekapannya, memeluknya erat seakan, Rania adalah benda paling berharga dalam hidupnya.
"Justru aku yang harusnya bertanya, apa yang terjadi pada Kakak, kenapa Kakak tidur disini?" Desak Rania tak sabar, karena Ran tak kunjung menjawab pertanyaannya.
"Jadi dia Kakakmu, syukurlah kalau begitu. Sebaiknya kalian pulang dulu, tidak enak jika di lihat orang-orang yang lewat." Ujar Ibu yang Rania tanyai tadi, mengingatkan.
Rania pun mengangguk dan memutuskan untuk pulang terlebih dahulu dan berbicara dengan Ran di rumah.
***
Ran dan Rania sudah sampai di rumah.
"Sekarang katakan pada Kakak, kamu pergi kemana semalam? Apa kau tahu betapa khawatirnya aku?" Nada suara Ran sedikit meninggi.
"Nanti akan aku jelaskan, sini biar aku obati dulu luka Kakak," dalih Rania.
"Kakak tidak ingin di obati sebelum kamu jujur sama Kakak, darimana kamu semalam!" Ran bersikukuh, bahkan dia menepis tangan Rania yang terjulur hendak mengobati lukanya.
"Semalam aku... Pergi bersama Arkan," Rania menjeda ucapannya, dia melirik reaksi Ran terlebih dahulu, ekspresi wajahnya memang tak berubah, namun tangannya nampak mengepal kuat, "dia dalam masalah, aku hanya mencoba membantunya--,"
"Apa perlu membantunya hingga semalaman?" Sambar Ran, disertai amarah namun bibirnya menyeringai kesal.
"Arkan mabuk, dia tidak bisa membawa mobil sendiri, jadi aku yang membawanya. Tapi aku tidak tahu jalan, jadinya kami tersesat dan bensin pun habis," jelas Rania.
"Lalu kenapa kamu mematikan ponselmu?" Ran terus mengintrogasi Rania dengan kata dan tatapan tajam.
"Aku bukan sengaja mematikannya, baterai ponselku habis, aku lupa mengisi dayanya," Rania menjeda ucapannya, "sekarang giliran aku yang bertanya, mengapa Kakak tidur di tepi jalan tadi?"
"Kakak mencari kamu semalaman. Kakak pikir kamu di culik, atau mungkin kamu pergi meninggalkan Kakak sendiri," Ran menundukkan kepalanya, ekspresi wajahnya berubah sedih.
"Di culik," Rania tertawa pelan, "siapa yang akan menculik orang miskin sepertiku Kak, Kakak ada-ada saja. Dan lagi, mengapa aku akan meninggalkanmu?" Rania menyentuh kepala Ran mencoba menenangkan.
Ran menoleh, dia menatap mata Rania dengan netra bulat coklatnya, "berjanjilah, kamu tidak akan pernah meninggalkan Kakak."
Rania tak lantas menjawab, dia hendak menarik tangannya dari kepala Ran, namun Pria itu lekas menahannya, "berjanjilah Adik, meski apa pun yang terjadi, kamu tidak akan pernah meninggalkan Kakak!" Desaknya tak sabar.
Rania mengangguk disertai senyuman, "aku berjanji."
Ran balas tersenyum, dia membawa Rania dalam dekapannya, "aku pegang janjimu Adik."
Rania tak membalas kata-kata ataupun pelukan Ran, dia hanya diam saja, entah mengapa kata 'Janji' ini terasa berat Ia katakan. Dia takut, mungkin suatu hari dia tetap akan meninggalkan Ran, tapi entahlah.
Rania mengerutkan kening, pasalnya suhu tubuh Ran terasa lebih dari biasanya, "Kakak demam?" Rania melepas pelukan Ran, kemudian menyentuh dahinya.
Ran diam tak menjawab, matanya hanya fokus menatap wajah Rania, "astaga!" Pekik Rania saat dahi Ran memang benar-benar terasa panas, "sebaiknya Kakak istirahat, aku akan siapkan makanan dan obat."
Pada akhirnya Rania bolos kerja, selain waktu yang sudah terlanjur siang dia juga harus merawat Ran yang jatuh sakit karena masuk angin dan demam.
Haciu... Haciu...Suara beresin Ran yang terus menerus, "Kakak belum bilang kenapa Kakak bisa terluka?" Tunjuk Rania pada dahi Ran, saat dia tengah memberikan obat pereda demam padanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments